(1) Permohonan

2.7K 31 2
                                    

Matahari sudah memanjat semakin tinggi. Sinarnya yang mulai menggatalkan kulit menerpa tanah yang lembab di bawah pohon-pohon kembang yang tumbuh di taman yang asri.

Angin yang lembut serasa berbisik lamat-lamat tentang perawan yang sedang berduka, yang duduk diatas sebuah lincak panjang disebelah sebatang kembang soka yang berwarna ungu muda.

Seorang gadis, puteri Kanjeng Adipati Wirakusuma, Adipati di Sendang Arum sedang merenungi luka di hatinya.

Biasanya ia duduk dan bercengkerama bersama ibundanya. Dan kadang-kadang bahkan bersama ayahandanya pula di taman. Kadang-kadang ibundanya sendiri merawat pohon-pohon bunga di taman itu. Bunga soka, bunga ceplok piring, bunga arum dalu dan yang mendapat perawatan khusus adalah segerumbul kembang melati di sudut taman, yang diberi berpagar kayu serta terawat rapi.

Tetapi hari itu Ririswari duduk sendiri. Meskipun jaraknya tidak lebih dari lima langkah, tetapi gadis itu seakan-akan tidak menyadari kehadiran seorang emban yang duduk mengamatinya.

"Puteri" emban itu bergeser mendekat. Perawan yang sedang berduka itu tidak berpaling kepadanya.

"Raden Ajeng Ririswari"

Ririswari masih saja berdiam diri.

"Puteri masih nampak selalu berduka" Ririswari menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia berpaling. Namun kemudian tatapan matanya kembali menerawang, memandang ke kejauhan.

"Sudahlan Puteri. Puteri jangan memperpanjang duka. Biarlah puteri berusaha menyembuhkan luka itu. Hamba tahu puteri, bahwa luka itu tentu terasa sangat pedih. Tetapi puteri tidak seharusnya membiarkan dirinya tersiksa oleh duka"

"Aku tidak dapat segera melupakannya, emban" sahut Ririswari tanpa berpaling "Ibunda pergi terlalu cepat"

"Tidak seorangpun dapat mengelak, puteri. Jika ALLAH Yang Maha Kuasa memanggilnya menghadap, maka kita, titahnya harus menghadap. Kapanpun
saat itu datang. Siang, malam, pagi dan senja hari pada saat candikala dipajang di langit"

"Aku mengerti, emban. Nalarku dapat berkata seperti yang kau katakan itu. Tetapi perasaanku sulit aku kendalikan. Kenapa tiba-tiba saja ibunda pergi untuk selamanya"

"Ampun puteri, jika hamba mengatakan bahwa ibunda memang dikehendaki oleh ALLAH Maha Agung kembali kepadanya. Karena itu, sebaiknya kita menyerahkannya dengan ikhlas"

"Apakah kau dapat berkata seperti itu jika biyung-mu yang dipanggil menghadap? Emban. Aku masih ingat ketika dua tahun yang lalu, nenekmu meninggal. Ketika seorang keluargamu datang memberitahukannya kepergian nenekmu itu, maka kau langsung menangis, berguling-guling di tanah tanpa dapat ditenangkan, sehingga akhirnya kau jatuh pingsan. Bukankah saat itu, bahkan ibunda sendiri berusaha menenangkan hatimu. Ibunda juga mengatakan sebagaimana kau katakan kepadaku"

"Hamba puteri. Tetapi waktu itu, berita meninggalnya nenek hamba itu datang dengan tiba-tiba. Hamba tidak pernah mendengar kabar bahwa nenek sakit. Sepanjang pengetahuan hamba, nenek itu selalu sehat. Bahkan sebulan sebelumnya, ketika hamba mendapat kesempatan pulang selama tiga hari, nenek masih pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Kemudian, seperti biasanya setiap nenek pergi ke sungai, maka di saat nenek pulang, tentu membawa sebuah batu. Bahkan nenek menganjurkan setiap anggauta keluarganya yang pergi ke sungai, supaya juga membawa sebuah batu sebesar buah kelapa"

"Batu?"

"Ya, puteri"

"Untuk apa?"

"Dalam setahun, nenek dapat membuat bebatur rumah dari batu yang telah kami kumpulkan. Sehari, tiga orang diantara keluarga kami pergi ke sungai, maka kami akan mengumpulkan tiga buah batu sebesar buah kelapa. Bahkan anak-anakpun telah dibiasakan melakukannya pula, yang tentu saja membawa bebatuan yang lebih kecil"

Kembang KecubungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang