Kisahku

3.2K 22 2
                                    

Kisahku
Icha Oktaviani

Aku, ibu dari seorang batita yang sangat aktif bernama Qari. Awal menikah kuputuskan untuk berhenti bekerja, tetapi hal itu di tentang kuat oleh keluarga, terutama ibu, entah apa alasannya, akhirnya aku menurut dan menitipkan sang buah hati kepadanya.

Tapi itu dulu, kini di sinilah aku, diam di rumah mewujudkan mimpi menjadi seorang ibu rumah tangga. Mensyukuri berapa pun pemberian suami, dan selalu ada untuk anak bujangku dalam bermain dan belajar. Sungguh menyenangkan.

Bukan tanpa sebab aku bisa berhenti bekerja, tetap saja ibu menentang, tapi dikarenakan sedang hamil anak kedua, mau tak mau aku berhenti dengan alasan tidak mau merepotkannya dengan menitipkan dua orang anak.

Lelaki bertubuh tinggi dan berkulit gelap yang menikahiku tahun 2014 silam itu sangat bahagia dengan kehamilan kedua ini, jabang bayi yang aku kandung berjenis kelamin perempuan, itu yang dikatakan dokter saat kami USG di usia kandungan ke empat bulan, seolah tak percaya, kami USG lagi saat janin berumur enam bulan.

Sebenarnya awal USG hanya ingin mengetahui kondisi janin yang aku kandung, tetapi saat tahu jenis kelaminnya, suamiku sungguh bahagia, bagaimana tidak, di keluarganya tidak ada seorang pun anak perempuan. Mereka tiga kakak beradik semua laki-laki, dan dua keponakannya pun semua laki-laki.

******

Suasana di Bidan Lasmi cukup senggang, biasanya saat pemeriksaan rutin, aku harus mengantri cukup lama hingga bosan. Syukurlah kali ini tidak, begitu sampai aku sudah bisa di periksa bidan tanpa mengantri.

"Wah, tensi darahnya tinggi, 130...," ucap bu bidan dengan raut cemas.

"Padahal tidak ada riwayat darah tinggi, ya," ucapnya lagi sambil mengecek buku KIA milikku.

"Iya, kenapa ya, Bu?" tanyaku penasaran.

"Hmmm, apa Ibu setress?"

"Dia gak mungkin stress, Bu, orang kerjaannya cuma kandurak, makan, tidur, berak ...," ucap lelaki bermata sendu itu sambil tertawa.

Kulihat senyum di wajah bu bidan, sedangkan aku, mungkin muka ini sudah merah padam, campuran antara malu dan marah. Ingin rasanya melempar sesuatu ke lelaki berambut lebat di hadapanku ini, orang yang selalu meledekku di setiap kesempatan.

"Apa kurang tidur berpengaruh dengan tensi darah, Bu?" Akhir-akhir ini memang sulit sekali aku tidur, terkadang jam dua malam mata masih enggan terpejam.

"Bisa jadi, kemungkinan karena Ibu kurang istirahat, dan jangan banyak pikiran. Banyak juga kasus ibu hamil hanya mengalami tekanan darah tinggi di trisemester akhir."

"Ibu tidak ada riyawat darah tinggi, berdoa saja bulan depan turun, karena usia kehamilan juga baru tujuh bulan." Kulihat suamiku hanya mengangguk, entah karena mengerti atau mengantuk.

"Resikonya apa kalo darah tinggi, Bu?" Entah kenapa aku menanyakan itu, mungkin karena takut, tapi entah apa yang harus ditakuti.

"Harus operasi ...."

Jleb, sungguh jawaban yang membuat jantung berdetak lebih cepat, kulirik Bang Kiki suamiku, raut wajahnya berubah panik.

"Kenapa harus operasi, Bu?" Pertanyaan Bang Kiki benar- benar mewakili isi kepalaku.

"Kebanyakan pada kasus ibu hamil yang terkena darah tinggi mengalami kejang saat kontraksi, yang membahayakan ibu dan janinnya."

Penjelasan bu bidan semakin membuatku bertambah takut.

"TIdak bisakah normal, Bu?" Sedikit gugup aku mengajukan pertanyaan.

"Bisa...."

Sungguh jawaban yang melegakan.

"Bisa normal, kalo hasil test urinenya negatif. Lagipula yang harus operasi bila tensi darah di atas 150. Mulai sekarang istirahatnya dijaga, apalagi ibu tidak ada riwayat darah tinggi, jadi berdoa saja bulan depan turun, kan masih ada dua bulan lagi...." Penjelasan Bu Bidan benar - benar menenangkan, senyum pun mulai mengembang dari wajah kami berdua.

Setidaknya masih ada harapan untuk lahiran secara normal. Entah kenapa aku begitu takut harus melahirkan di meja operasi.

Jangankan membayangkannya, memikirkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.

****

Memasuki bulan kesembilan, tepat saat bulan Ramadhan, hari pertama aku mencoba berpuasa, tapi apa daya, rupanya si dedek selalu menendang hampir tiap waktu, mungkin dia lapar pikirku. Akhirnya tidak sampai beduk Magrib aku berbuka, karena badan benar-benar sangat lemas.

Aku berencana periksa ke dokter kandungan seminggu sebelum waktu Hpl tiba, agar bisa mengetahui bagaimana posisi dan letak janinku.

Hari rabu tanggal 30 Mei, kami pergi ke dokter kandungan, besar harapanku agar tensi darah kembali normal. Namun, terkadang keinginan tak sesuai harapan. Tensi darah yang kupikir akan turun, malah naik dengan drastis.

Aku sedikit panik saat masuk kedalam ruangan dokter. dr. Shiro pun tercengang melihat tensiku yang ditulis oleh perawat yang membantu cek tensi dan cek berat badan.

Setelah melakukan pemeriksaan, kami duduk berkonsultasi dengan dokter.

"Bahaya ini, tensinya tinggi banget," ucap dr. Shiro mengawali perbincangan.

"Terus gimana, Dok?" Suamiku bertanya dengan nada dan raut wajah yang panik.

"Kalo nunggu Hpl kelamaan, karena Hplnya tanggal 7 Juni. Ada BPJS' kan?"

Kami mengangguk.

"Saya kasih rujukan aja ya, rumah sakit mana yang dekat?" tanya Pak dokter sambil menulis rujukan untukku.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dr. Shiro memutuskan merujukku ke Rumah Sakit Bintang Amin, karena itulah yang terdekat.

"Harus sekarang ya, Dok?" tanyaku.

"Tidak mesti, sekarang pulang dulu, siapin perkakasnya, nanti malam saja, abis Isya biar buka puasa dulu suaminya. Yang pasti jangan terlalu lama, kasian ibu dan bayinya, tensinya sampai 155."

Kami mengangguk mengiyakan perkataan Dokter. Setelah puas konsultasi dan membayar biaya periksa, kami memutuskan untuk pulang, menyiapkan barang-barang untuk dibawa ke rumah sakit.

*****

Surat rujukan dari dokter sudah ditangan. Entah bagaimana menjelaskan perasaanku saat itu, yang pasti bercampur aduk.

Sebenarnya tidak masalah bila harus melakukan operasi, hanya saja bayangan buruk selalu menghantui. Sudah banyak kudengar tentang pasca operasi yang membuat ibu  susah bergerak. Masalahnya, pekerjaan Bang Kiki kadang mengharuskannya ke luar kota dalam beberapa hari. Lalu bagaimana caranya aku mengurus dua anak tanpa bantuan siapapun? Sementara ibu atau mertua tidak bisa menemani setiap hari.

Masih ada waktu bila menunggu Hpl tiba, perkiraan kelahiran jatuh di tanggal 7 juni. Namun mengingat perkataan Dokter membuatku bergidik ngeri.

"Mau langsung ke rumah sakit apa ke rumah mamah dulu, Dek?" Suamiku bertanya sambil membantu membereskan pakaian yang akan kami bawa.

"Terserah, Bang," jawabku lesu.

*****
Lalu bagaimana akhirnya?? Apakah sang ibu jadi operasi atau menunggu HPL?

Jangan lupa beli novel antologi nya, penerbit Yama Rose Publisher

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bunda BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang