"Hai," sapaku tegak di hadapan pemuda ini. Pemuda itu menegakkan kepalanya yang tertunduk dan memberikan sekilas senyuman membalas sapaanku. Setelah itu dia kembali ke posisinya. Menggerakkan kaki menggali-gali tanah dengan sepatunya.
"Boleh aku duduk di situ?" Tanganku menunjuk kursi di sebelahnya yang kosong. Ia hanya menggeser posisi duduknya pertanda mengizinkan kedatanganku. Dia masih saja bungkam dan setia dengan posisi kepalanya yang menunduk. Aku pun memilih untuk diam. Ya, setidaknya menikmati dulu masa ini sesaat.
"Aku tahu kau khawatir." Pemuda itu tetap tak bergeming. Kuperhatikan pakaian yang dikenakannya. Pakaian yang sama dengan yang kugunakan. Hanya bawahannya yang berbeda. Aku suka ketika dia menggunakan pakaian ini. Entahlah, hanya saja aku merasakan bahwa auranya terasa berbeda ketika ia menggunakan pakaian itu. Tidak spesial, hanya jaket biru yang kita miliki sekelas. Namun, tetap saja berbeda.
"Apa kau pernah main Rock, Paper, Scissors?" Kali ini dia mengalihkan perhatiannya padaku. Dia menatapku dengan tatapan heran sekaligus malas.
"Ini bukan saatnya bermain. Aku sedang sibuk."
"Cara bermainnya gampang. Kau hanya perlu membentuk tanganmu sesuai keinginanmu. Kertas, batu, ataupun gunting. Nanti kita akan melakukannya bersamaan. Kertas akan kalah dengan gunting, tetapi dia akan menang dengan batu. Batu akan menang melawan gunting, tapi kalah dengan kertas. Dan yang terakhir, gunting akan menang dengan kertas dan kalah dengan batu.
"Lalu, siapa pun yang menang akan memberikan suatu pertanyaan kepada yang kalah dan yang kalah harus menjawab apapun yang dikatakan oleh si pemenang." Kulirik jam sekilas, masih ada cukup waktu untuk melakukan ini. Pemuda itu masih saja tampak tidak tertarik dengan ajakanku.
"Rock, paper, scissors."
Aku membuka telapak tanganku menandakan bahwa aku memilih kertas. Tak ada balasan dari pemuda itu. Dia masih tetap dengan posisi duduknya.
"Rock, paper, scissors."
Masih tak ada balasan darinya. Aku terlihat seperti orang bodoh yang bermain dan berbicara sendiri. Tak masalah, aku akan terus mencobanya. Aku tahu kalau pemuda ini nantinya akan ikut bermain.
"Rock, paper, scissors."
"Rock, paper, scissors." Aku terus bermain dan membentuknya berganti-ganti. Masih menunggu sampai pemuda ini ikut bermain dengan permainan ini.
"Rock, paper, scissors." Aku membuka telapak tanganku, tanpa disadari sebuah tangan turut andil di sana. Ia menggunting tanganku, mengode bahwa dia yang menang. Aku tersenyum, aku tahu bahwa dia pasti tidak akan membiarkanku terlihat seperti orang bodoh terlalu lama.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan?" Ia mengubah posisi duduknya menyandarkan ke belakang. Tatapannya fokus ke depan dan tetap tidak memperhatikanku.
"Aku cuma ingin kau yakin dengan ini. Kau harus yakin bahwa kita akan memenangkan pertandingan ini. Kita telah berusaha semaksimal mungkin, sudah terlalu banyak masalah yang kita hadapi. Kita telah berjuang sejauh ini. Sekarang bukan saatnya untuk khawatir. Ini adalah saatnya membuktikan bahwa usaha kita selama ini tidak sia-sia. Kekhawatiran hanya akan menghancurkan segalanya, pikiranmu tidak akan tenang, keputusanmu tidak akan mantap."
Aku mengikuti posisi duduknya. Menyandar ke belakang dan melipatkan kedua tangan di depan dada. Ia tak bergeming, entah masih mencerna kalimatku, atau memang tak mendengarkannya sedari awal. Aku tidak tahu.
"Kau tidak mengerti." Nadanya terdengar datar. Aku terlalu sering mendengarnya berbicara dengan nada seperti ini bila dia sedang tidak ingin mengganggu. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk aku menghentikan aksiku. Pemuda ini benar-benar harus kubangkitkan rasa percaya dirinya yang lenyap.
"Karena aku mengertinya makanya aku begini."
Ia menatapku dan terkekeh, "Coba saja peranmu diganti dengan peranku."
Lagi, kalimat yang selalu kudengar darinya ketika dia membenci perannya dalam kehidupan ini. Aku tertawa lebih keras dari yang ia berikan. Ia menaikkan sebelah alisnya, mungkin berpikir aku sudah stres. Aku berusaha untuk menghentikan tawaku sebelum melanjutkan obrolan ini, "Maaf, aku merasa ini sangat lucu."
Pemuda itu menatapku dengan tatapan ingin mengusirku karena telah mengganggu waktnya dan kini malah menertawakan hal yang aku tahu tidak lucu baginya. Tapi, aku tak akan semudah itu kalah dengan tatapannya.
"Begini, memangnya kita harus menjadi guru dulu untuk tahu kalau apa yang dikatanya salah atau benar? Enggak, 'kan? Pun begitu, aku tidak harus jadi sutradara dulu biar tahu kalau apa yang kau rasakan itu memang benar-benar berat. Aku tahu kalau kau sering kesusahan menangani kami semua. Aku juga tahu kalau kau sering kali marah dan kesal dengan tingkah laku kami yang kurang ajar. Aku juga tahu kalau kau berjuang mati-matian hanya untuk mengurus orang yang bahkan sama sekali tidak peduli dengan dirimu.
"Aku tahu kalau ini berat. Jika ini gagal, orang pasti langsung akan mencela sutradaranya, tapi bila berhasil, orang tidak akan menjadikan sutradara sebagai alasan pertama atas keberhasilan ini. Kita semua percaya kalau kau mampu menghadapi ini semua. Kau hanya perlu yakin dengan apa yang kau lakukan." Aku semakin mendekap tubuhku. Langit tampak mulai berubah warna, angin juga semakin kencang berembus.
"Aku capek, aku takut. Kau takkan mengerti ketakutanku."
"Aku memang tidak akan tahu bagaimana perasaanmu yang sebenarnya saat ini. Mungkin bila aku ada di posisimu, aku pun tidak akan sanggup. Tapi, kau harus mengerti bahwa rasa takut itu tidak akan pernah ada sampai kau yang menciptakannya sendiri. Kau yang membuat seolah-olah rasa takut itu menghantui dirimu sendiri. Padahal dia tidak lebih dari sebuah manifestasi ilusi yang tercipta di pikiranmu sendiri.
"Kau harus lawan rasa capek dan takutmu itu. bukan semata-mata untuk memikirkan kami, tapi untuk membentuk karakter yang lebih kuat dan lebih baik dari yang kau punya saat ini. Jangan menekan dan memaksa dirimu untuk tuntutan yang kau bentuk sendiri. Kami tak sekeras itu menuntut kesempurnaan pada dirimu. Dan satu hal terakhir yang harus kau ingat," Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan kalimat terakhirku sebagai penutup pembicaraan ini.
"Kau tidak benar-benar berjuang seorang diri di sini."
Aku mengembuskan napas keras. Mungkin sampai ke telinga pemuda itu. Aku beranjak berberes diri. Kutatap dirinya yang kini tengah menatap diriku. Aku tak peduli apa yang ada di kepala pemuda itu saat ini. Aku mengerti bila akhirnya dia tetap tak memedulikan apa yang aku katakan. Aku tersenyum dan kembali melihat jam di pergelangan tangan kananku. Sebentar lagi pagelaran akan dimulai.
"Aku dan yang lain menunggu kehadiranmu di samping panggung." Aku lalu beranjak dan meninggalkannya sendiri di belakang panggung utama teater. Acara pementasan teater hampir dimulai saat aku tiba. Aku sebagai tim dokumentasi dan laporan mulai mengambil kamera untuk memotret penampilan teman-temanku di atas panggung.
Dari lensa kamera, aku melihat teman-temanku tengah melakukan usaha terbaik mereka demi pagelaran ini. Pagelaran yang dipersiapkan hampir setahun ini terlalu banyak menyimpan kisah dan drama dibaliknya. Bagiku yang hanya tergabung dalam seksi dokumentasi, pagelaran ini terasa begitu berat. Terlalu banyak waktu yang dibuang. Terlalu banyak juga tenaga dan pikiran yang dihabiskan hanya untuk pagelaran dengan durasi 30 menit ini.
"Terima kasih."
Aku terkejut mendengar sebuah suara tiba-tiba bergumam di belakangku saat aku mengambil posisi pemotretan dari sudut panggung. Ku lihat seorang pemuda yang baru saja kutemui di belakang panggung tadi. Dia memberikan senyuman yang tidak pernah dia berikan kepadaku selama aku mengenalnya. Terlalu manis untuk orang yang galak seperti dia. Tanpa membalas ucapannya, aku kembali melihat ke arah panggung utama.
"Terima kasih kembali."
Senyum tipis terpancar di wajahku. Mungkin terlalu tipis untuk dia sadari.
-o0o-

KAMU SEDANG MEMBACA
Sesaat di Belakang Panggung
Short Story-o0o- "Aku capek, aku takut. Kau takkan mengerti ketakutanku." "Aku memang tidak akan tahu bagaimana perasaanmu yang sebenarnya saat ini. Mungkin bila aku ada di posisimu, aku pun tidak akan sanggup. Tapi, kau harus mengerti bahwa rasa...