I

0 0 0
                                    

Decitan troli troli besar memenuhi setiap punggawa ruangan yang beraksen metholic ini. Menyeret belasan lusin buku secara terburu buru dan secepat mungkin. Ia menghasilkan bunyi yang lebih lantang di kala sunyi, menyeruakkan aroma kertas yang menurutku sangat elegan. Ada nada getir yang dihasilkan suara gesekan itu, lantas mengirimkan sinyalnya untuk ku sanggupi. Sebuah tangan lebar menengadahkan telapaknya di hadapanku. Membentuk bayangan yang mampu menangkup seluruh halaman buku bersama bayangan tubuh yang tinggi menjulang. Aku malas mendongak untuk memastikan siapa pemilik bayangan yang mengganggu aktifitasku. Barang kali ia adalah orang yang sama dan kerap kali mendatangiku sebagai orang terakhir di sudut ruang baca di setiap jam segini.

"iya,, aku pasti tau waktu pulang, tak perlu terus menemuiku saat perpustakaan akan tutup. Bersama isyarat yang datang tanpa kata tanpa undangan." Aku menyerocos sesukaku menutup buku tebal di hadapanku kesal. Menciptakan bunyi hentakan lembaran buku yang saling menampar, dan aku langsung berbalik menuju rak buku untuk menyimpannya. Tapi tangan dingin dari belakang itu mencegat lenganku, aku terdiam menghentikan langkahku. Mulai menerka siapa sebenarnya orang di belakangku ini, pikiranku mulai terusik.
" ternyata tempat ini tidak pernah ketinggalan zaman ya buat orang sepertimu.., dan.., bagaimana mungkin kamu lupa tentang kedatanganku untuk malam ini hana...?" suara itu berbisik dari belakang, dingin. Lebih dingin dari genggamannya yang rasanya menembus sweeterku.

Tubuhku telonjak memastikan bahwa ia adalah orang yang sudah ku tunggu kedatangannya sejak lima tahun lalu. Aku langsung melompat kepelukannya, membenamkan kepalaku yang hanya sebahunya. Meski reaksi darinya masih kaku dan kaget dengan aksi yang barusan ku lakukan. Malam ini aku sah menangis di depan matanya bahkan di pelukannya, membuang ego yang sempat mendiami diriku beberapa waktu lalu.

* * *

Ada perasaan yang tidak bisa di jelaskan, keadaan hati yang tidak bisa berembuk untuk terus di ajak tentram seperti hari hari sebelumnya.meski lima tahun belakangan ini merupakan hari hari berat yang ku miliki tapi tepat pada hari ini semua kegetiran itu berkumpul dan terus membumbung tinggi hingga membuat puncak di hari ini. Bagaimana tidak, laki laki yang sudah aku kenal dari awal aku mengedipkan mata kedunia ini sedang mengadakan sidang dengan Daniel. Laki laki yang menarik perhatianku sejak lima tahun lalu hingga hari ini. Semua tersusun rapi menciptakan gelombang yang semakin hangat yang membentuk ruang tanpa jarak. Aku mengedipkan mata yang terasa perih, lelah menangis tadi malam bersama Daniel, meluapkan semua rindu yang telah kutumpuk dari lima tahun yang lalu. Kesal yang tak ada habisnya tentang mengapa daniel tiba tiba memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan meninggalkanku. Semua telah tercurah ya..,aku sudah balas dendam padanya tadi malam. Menghembus lelahku secara ikhlas melepas getirku sukarela setelah ayah mengatakan "ya" sebagai lampu hijau untuk daniel mengajakku ke hubungan yang lebih serius.

" kau berhutang banyak penjelasan padaku daniel." Pernyataan itu sebenarnya mengandung banyak arti, tapi suaraku tercegat untuk meluapkan semuanya. Sehingga aku hanya bisa meluapkan kalimat yang masih terdengar ambigu baginya. Tapi daniel hanya tersenyum simpul khas dengan tarikan garis wajahnya. Tatapan itu..., sorot mata yang ku kenal sangat bermakna kembali menghujam hatiku untuk berolahraga lebih cepat. Aku menghembus napas panjang, sangat jelas terdengar di ruang tamu rumah yang hanya menyisakan kami berdua.

* * *

Ironisnya aku mengenal daniel pertama kali di perpustakaan kota yang sering ku kunjungi. Kami mempunyai hobi yang sama. sejujurnya buku adalah bagian hidupku tetapi waktu aku masih belum bertemu dengan daniel minat bacaku masih belum sehanyut setelah mengenalnya.

Sore menjelang maghrib aku seharusnya sudah meninggalkan perpustakaan, tetapi di sepanjang menyusuri rak rak buku akhirnya aku menghentikan langkahku. Menatap lamat lamat buku bersampul gold di rak kedua paling atas. Buku itu paling mencolok dan mengundang keingintauan dari warna dan sampulnya. Tapi mungkin hari itu adalah hari paling menjengkelkan di kala itu. Saat tanganku dan tangan daniel sama sama menyentuh badan buku. Daniel berdehem kuat membuatku tersentak, dengan sorot mata tegasnya memintaku untuk melepaskan buku itu. Aku berdelik tak ingin mengalah, mendongak angkuh ke wajah yang jauh lebih tinggi itu.

" maaf sebelumnya, tanpa mengurangi rasa hormat, bisakah kamu melepaskan tanganmu?" tukasnya tanpa ada nada keraguan.
" kenapa harus aku, aku juga ingin mengambil buku ini." Yang lebih jelasnya aku tidak ingin mengalah padanya yang hanya unggul di tinggi saja dariku. Tapi sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntunganku, ibuku datang dengan wajah di tekuk menghadangku yang telat pulang meniggalkan semburat senja yang sudah membias ke permukaan kota. Ibu menarikku begitu saja khas anak kecil, lantas aku begitu malunya di depan laki laki yang sedang bersengketa perihal buku dengannya. Senyum puas, licik, terpancar di wajahnya menandakan kemenangannya.

Semenjak kejadian itu entah magnet apa yang mengikat kami berdua untuk sering bertemu. Di kampus sering papasan, padahal kami tidak satu fakultas apalagi jurusan dan yang jelasnya kami tidaklah satu angkatan, aku terpaut dua tahun darinya. Tapi setiap kali berpapasan dengan daniel pasti ia melontarkan senyum jahil persis seperti yang kulihat di perpustakaan, dan lama kelamaan bukan hanya senyum jahil saja yang ia perlihatkan saat kami tak sengaja papasan tapi malah jadi bertambah dengan adanya sebuah ejekan.

" anak kemarin sore yang di gotong ibunya telat pulang" entah kenapa ia mengatakan seperti itu hingga aku tak tahan dengan ejekan itu. Meski aku anak tunggal dan beberapa kali telat pulang, ya, dalam kategori seringlah tapi tidak ada sebelumnya yang mengatakan seperti itu padaku.
" kamu ada masalah denganku? Atau udah mulai naksir aku ya?" tiba tiba suaraku terdengar sangat lantang sekali, mengundang tatapan banyak orang yang menuju padaku dan daniel yang kembali berpapasan. Tapi daniel hanya mengerutkan keningnya dan teman teman di sampingnya tertawa lepas.

" daniel..! sejak kapan kamu bermasalah dengan perempuan? Masalah cinta pula itu.."
"kami saranin ya bro.., jangan ketauan ya kalau pacarannya, sama ibumu, nanti kupingmu kena jewer mirip anak kecil zaman dulu." Salah satu temannya menepuk bahu daniel dan mereka kembali tertawa. Aku memperhatikan daniel yang seketika wajahnya mirip kepiting rebus. Daniel pergi meninggalkanku dan temannya yang masih memegang perut lelah tertawa.

Seminggu setelah kejadian itu daniel menelponku. Entah dari mana ia mendapatkan nomorku, dan mengajakku untuk bertemu. Rasa kesalku padanya belum juga ada surutnya yang jelas aku tidak pernah sekesal ini sebelumnya.
" aku minta maaf sebelumnya, karna mungkin telah membuatmu tidak nyaman. Mulai dari perebutan buku di perpustakaan, senyumanku setiap kita bertemu dan perkataanku yang kedengarannya mengejekmu, tapi sebelumnya itu pasti sudah terjadi kesalah pahaman" aku masih terus memperhatikan dan mendengarkannya.

"sebenarnya aku tidak ingin berebut buku denganmu, jika memang kamu mau buku itu pasti akan kulepaskan, tapi ibumu sudah datang terlebih dahulu menjemputmu. Untuk senyum di perpustakaan itu juga bukan senyum jahil, aku tersenyum pada ibumu yang telah menawarkanku payung saat hujan dia areal mesjid raya. Dan untuk senyum di kampus setiap bertemu denganmu sebenarnya itu adalah kegiatan rutin suatu program dari unit kerohanian untuk menebarkan senyum tapi sering salah sasaran padamu. Padahal terkadang itu untuk akhi akhi di belakang atau sampingmu dan juga utnuk yang anak kemarin sore yang di gotong ibunya telat pulang itu adalah isi dari buku yang kita perebutkan. Kupukir kamu masih berminat untuk membaca buku anak kecil itu, tapi setiap aku keperpustakaan buku itu belum di pinjam olehmu jadi aku berfikir untuk melakukan hal itu. Maaf sekali lagi mungkin aku sudah membuatmu tidak nyaman untuk akhir akhir ini." Seperti terkena tamparan keras semua kalimatnya telah menyiutkan seluruh keberanianku. Ingin rasanya tubuh ini anjlok ke dalam perut bumi. Kenyataan macam apa ini! Ohh..., aku merasa sangat malu sekali.

waiting for youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang