Blue Digantara

92 7 1
                                    

Langkah kaki terdengar beberapa kilometer dari tempatnya berpijak, lelaki itu menarik kedua sudut bibirnya keatas dan memasukkan kedua tangannya di saku celana. Ia hendak menyapa orang itu, Namun suara dari berlawanan arah terlebih dahulu menyapanya.

"Blue.."

Merasa namanya dipanggil, Blue menoleh ke sumber suara dan tersenyum manis. "Kamu manggil saya?"

Cowok berperawakan tinggi itu terkekeh melihat tingkah sahabatnya seolah tidak mengenali suaranya, "Siapa lagi disini yang namanya Blue kalau bukan lo?"

Blue hanya mengedikkan bahu, ia kembali berbalik dan menajamkan indra pendengarannya. Suara langkah kaki itu lenyap. Entahlah, sudah beberapa hari yang lalu Blue mendengar suara langkah kaki yang sama, mendekat ke arahnya namun suaranya selalu hilang saat Blue berusaha menggapainya atau mengacuhkannya seperti tadi.

Blue menggaruk tengkuk lehernya, "Saya mendengar dengan jelas, ada seseorang yang mendekati saya tadi."

Satya mengangguk, ia sudah biasa mendengar Blue berkata seperti itu. "Kita lagi di taman bermain anak-anak. Besar kemungkinan kalau itu adalah suara anak-anak yang berlari lalu jatuh, si anak itu merengek, abis itu minta di gendong sama ibunya. Tamat." Cerocos Satya lalu mengambil botol minuman yang ada di tasnya. "Sekali lagi, lo jangan terlalu banyak mikir dan denger  yang aneh-aneh ya. Ini udah ke 78 kali lo bilang hal itu ke gue."

"Apa yang bisa saya lakukan selain berpikir dan mendengar, Sat?" tegas Blue sambil menggerakan tongkatnya dan mengetuknya beberapa kali ke sepatu Satya.

Ya. Blue tidak bisa melihat, namun ia sangat peka terhadap rangsangan dan suara. Ia cacat dari lahir, cita-cita Blue adalah melihat warnanya sendiri, yaitu Biru. Karena tidak ada yang benar-benar Blue inginkan di dunia ini selain melihat dunia itu sendiri, melihat warnanya sendiri.

Meski buta, tidak pernah sekalipun Blue menyalahan tuhan. Karena ia tahu, kebaikan akan datang menjemputnya, suatu hari nanti. Blue pasti bisa melihat. Ia malah bangga karena diberi kelebihan bisa mendengar dan merasakan sesuatu dengan istimewa.

Blue juga dikelilingi orang yang sayang dengannya, seperti Satya yang selalu menemaninya dan menjadi kompas untuknya, Bibi Sumarni yang setia menemaninya menonton tv, serta Joseph yang selalu menemaninya tidur.

Blue sangat berbesar hati.

"Satya, saya harus pulang."

Satya mendesah pelan, "Lo nggak bakal kena marah nenek sihir itu kok, gue udah bebasin tikus lo itu dan pasti nenek sihir itu ketakutan dan ngurung diri dikamar." Ujar satya lalu tersenyum jahil.

Blue menggelengkan kepalanya. "Saya sudah berjanji akan pulang sebelum matahari terbenam."

Terkadang Satya membenci kelebihan Blue yang bisa tau mengenai pergerakan bumi bahkan ketika ia tidak tau bentuk matahari sekali pun. "Yaudah, kalo gitu gue nggak perlu susah payah bebasin tikus lo."

Blue tersenyum, "Kamu jadi seperti anak cewek."

"Cih, lo mana tau perkara cewek."

Blue tertawa lalu berjalan meninggalkan Satya. Blue berjalan sangat santai seolah tongkat nya hanya hiasan, atau mungkin untuk menunjukkan identitas Blue bahwa ia buta.

"Gue harap semesta kapok ngasih lo luka, Blue."

Satya dan Blue sudah seperti saudara. Satya selalu menangis dihadapan Blue ketika sedang ada masalah, dan Blue selalu menenangkan Satya. Hanya dihadapan Blue ia bisa menangis dan tidak merasa dipermalukan.

****

Blue memberi makan tikusnya, ia tersenyum lalu mengeratkan selimut kumuh yang ia beli tujuh tahun yang lalu di tubuhnya. "Joseph, jangan menakuti tante rose seperti itu. Kamu tau? Kamu jadi jahil setelah berteman dengan Satya."

Love is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang