Dinera Jingga Atmaja

86 6 2
                                    

Cewek itu mengepalkan tangannya, ia berjalan melewati kerumunan siswa-siswi yang menatapnya aneh. Ia tidak asing dengan tatapan itu. She used to it.

Ting.

Suara notifikasi handphone nya berbunyi, ia segera mengambil handphone nya di saku. Handphone cewek itu bukan handphone modern jaman sekarang, ia masih memakai handphone dengan merk nokia yang memiliki senter di atasnya serta gantungan kelinci yang mungil.

Bukan tanpa alasan dia hidup seolah menjadi manusia primitif seperti ini, cewek itu memang terlihat sangat redup dibanding yang lain.

"Lo masih make hp buluk kayak gitu?"

Jingga menoleh, kemudian berlalu begitu saja. Tatapannya kosong, seolah perkataan Gilang adalah angin yang berlalu.

Gilang menggelengkan kepalanya, berdecak kagum melihat cewek primitif langka macam Jingga. Sudah 2 tahun ia mendekati Jingga dan berbagai macam cara ia lakukan untuk tau mengenai seluk-beluk kehidupan Jingga. Namun sampai sekarang, ia hanya tau nama panggilan kedua orang tua kepada jingga adalah Dee dan cewek itu sangat menyukai kelinci. Hanya sebatas itu.

"Dee!"

Jingga sedikit menoleh, ia merasa tidak asing dengan panggilan itu dan ia juga sangat membenci panggilan itu.

"Jangan lupa balas sms gue ya. Gue baru beli pulsa barusan." Teriak cowok itu lalu mengacak rambut Jingga hingga membuat cewek itu menyisir kembali rambutnya dengan tangan.

"Lancang." Bisik Jingga lalu kembali melangkahkan kakinya di koridor sekolah.

Beberapa dari mereka yang melihat keberadaan Jingga menatapnya sinis, jijik atau tatapan merendahkan. Namun Jingga tetap berjalan dengan tatapan kosong, ia tidak peduli.

Memang penampilan Jingga tidak seperti anak lain, yang memakai jam tangan atau perhiasan yang akan membuat mereka lebih bersinar. Jingga tidak menyukai sesuatu yang bersinar dan baru, ia juga tidak ingin membuat ibu nya kembali menggila saat Jingga memakai barang yang berwarna.

Jingga memasuki kelas lalu duduk di bangkunya, ia tidur dengan beralaskan kedua tangannya di atas meja. Ia kembali teringat dengan pesan mang ujang, sopirnya.

'Non, nanti jangan pulang dulu. Ibu kumat lagi.'

***

Jingga menyusuri jalanan kota, entah kemana kaki ini akan membawanya. Ia akan pulang sangat larut malam hari ini karena ibunya kembali kumat.

Jingga menghela nafas untuk kesekian kalinya. Sejak umur Jingga 10 tahun, ibunya mengidap penyakit skizofrenia. Itu adalah salah satu alasan mengapa teman sekolahnya menatapnya dengan sinis dan merendahkan Jingga. Hal itu bukan masalah bagi Jingga, ia tidak apa jika tidak memiliki teman. Ia bisa hidup sendiri dan mencintai dirinya sendiri.

Namun yang membuat segala ini menjadi berat adalah fakta bahwa ia harus menghindari ibunya sendiri. Ia sangat menyayangi ibunya, jelas. Ia melakukan segala cara agar ibunya kembali baik padanya dan melakukan hal yang biasa dilakukan orang normal.

Dimulai dari ia tidak lagi memakai pakaian yang warnanya mencolok, membuang handphone canggihnya, serta menghilangkan sifat periang Jingga. Semua itu dilakukan Jingga, agar ibunya kembali menjadi seperti dulu.

Masih terekam jelas diotak jingga, saat itu Jingga sedang bermain boneka dengan temannya, ia memakai baju berwarna terang serta memamerkan tablet baru nya. Tiba-tiba saja Ibu Jingga membuka baju anaknya kemudian mengubur baju itu dihalaman rumah, tak sampai di situ saja, ia menghempaskan tablet Jingga hingga membuatnya hancur berkeping-keping.

Saat itu Jingga ketakutan, dan akhirnya ia tidak diperbolehkan bertemu dengan ibunya untuk waktu yang lama.

Jingga memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan, ini sudah jam 5.30. Itu artinya dia akan menyambut malam sebentar lagi. Ia tetap berjalan dan akhirnya sampai ditempat bermain anak-anak. Tempat ini tidak terlalu luas, hanya ada beberapa permainan anak-anak seperti jungkat-jungkit, ayunan, dll.

"Bagus. Ini tempat yang bagus untuk istirahat," gumam Jingga. Jingga duduk dikursi taman lalu sesekali tersenyum saat melihat anak kecil yang merengek tidak ingin pulang. Anak kecil itu sangat menggemaskan. Alih-alih memperhatikan anak kecil, manik mata Jingga menangkap seseorang dengan badan tegap lalu berjalan santai. Cowok itu memegang tongkat ditangannya.

Jingga berdecih, banyak sekali tipu daya di negeri ini. Well, cowok itu tidak terlihat seperti orang buta. Caranya berjalan, kesempurnaan diwajahnya serta matanya tidak menunjukkan seperti orang cacat pada umumnya.

Cowok itu berjalan ke arah anak kecil itu lalu si anak kecil itu langsung berlari ke arah cowok itu, "Kak biru!" Seru anak kecil itu yang Jingga yakini memanggil nama cowok buta itu.

Biru. Nama cowok itu biru, pikir Jingga. Entah mengapa nama cowok itu membuat Jingga sedikit menyunggingkan senyuman. Pasalnya, nama mereka sama-sama menyebutkan jenis warna. Jingga sedikit merasa terhibur.

"Kak biru, ibu menyuruhku pulang. Tapi aku mau nunggu kak biru datang dan ngasih kak biru keju." Cerocos anak itu sembari menarik ujung baju Blue dan memberikan keju ditangannya untuk Blue. Blue tersenyum manis lalu mengucapkan terima kasih.

Jingga melihat itupun merasa hatinya menghangat sekaligus iri. Ya. Cowok buta itu dengan mudahnya mendapatkan cinta, sedangkan dirinya? Tuhan memang tidak pernah adil.

Jingga terkejut saat mendapati cowok itu duduk disampingnya, "Permisi, ini tempat duduk gue."

"Saya biasanya duduk disini, sudah jadi kebiasaan saya. Maaf." jawab Blue menyungingkan senyuman tipis lalu beranjak untuk pergi.

"Nggak apa-apa. Lo bisa duduk di sini," ujar Jingga lalu memperhatikan tatapan Blue, tatapannya kosong. Dan sepertinya ia tidak menyadari keberadaan Jingga duduk disini karena ia memang tidak bisa melihat dan mungkin ia memang selalu duduk di kursi ini setiap hari.

Ia mengetukkan tongkatnya beberapa kali ke tanah. Seperti sudah menjadi kebiasaannya, seperti segala hal yang ia lakukan selalu menjadi kebiasaannya.

"Lo kesini setiap hari?"

Blue mengangguk. "Saya kesini setiap hari dan selalu menjenguk anak kecil itu tadi."

Kini giliran jingga yang mengangguk, "Seolah ini menjadi rutinitas lo?"

Blue kembali mengangguk, "Saya selalu kesini setiap sore, saya selalu memberi makan joseph, memasak telur mata sapi untuk saya, dan me-laundry baju saya ke rumah tetangga."

"Lo sangat disiplin."

"Terima kasih."

Jingga mengamati kembali wajah Blue, "Nama lo, Biru?"

"Kamu pinter b.inggris, itu arti nama saya kalau diterjemahkan dalam b.indonesia."

Jingga terkekeh pelan,

"Nama gue, Jingga."

Blue tersenyum lalu melambaikan tangannya ke arah Jingga, "Hai, Jingga. Nama saya Blue."

"Hm, salam kenal. Blue."

Langit yang awalnya berwarna biru cerah kini digantikan menjadi warna jingga, matahari telah tenggelam. Jingga menyambut malam dengan hangat. Entah kapan terakhir kali Jingga merasa hatinya menghangat seperti ini, Jingga tidak ingat. Yang ia tahu, hari ini Jingga seolah memiliki titik warna baru dalam hidupnya, Jingga bisa merasakan itu.
.
.
.
T
B
C
.
.
.
Lanjuttt????

Komen dong hhehe..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang