#1 Thunder Hitam

29 1 0
                                    

" Sayang, maafin aku ya", ucap suara seorang pria dari seberang telepon

Mm, sekarang minta maaf, besok pasti diulangi lagi. Keluh Tian dalam hati. Sedikit merasa bosan mendengar suara memelas pria itu. Lalu mencari alasan untuk mengakhiri percakapan.

" Aku ada tugas, bentar ku hubungi lagi ya sayang"

" Tut..tut..tuuuuuuttttt.."

Telepon terputus.

Begitulah sikap Tian kepada para pria yang disebut pacarnya. Bosan, memang adalah sifat asli wanita bermata sipit ini. Dia meletakkan ponsel dimeja belajar dan berjalan keluar kamar. Entah beberapa langkah keluar, dia kembali lagi kedalam kamar mencari sesuatu disamping kaca rias. Lulur. Setelah mendapatkannya, dia berjalan keluar kamar.

.....

Hari itu cukup melelahkan. Tumpukan tugas sekolah telah terselesaikan sempurna. Tian, gadis 17 tahun itu masih duduk dibangku sekolah di sebuah Madrasah Aliyah di tengah kota. Tentu dia paham benar, tak ada rumus pacaran dalam agamanya. Namun begitulah, dia menganggap Chengel, pria yang tadi menelponnya dikamar itu hanya sebatas teman dekat. Entah peraturan apa yang menyebutnya sebagai pacar.

Memilih duduk diteras rumah saat sore hari adalah kebiasaan gadis ini. Rumah kecil yang terletak diujung desa yang masih dikelilingin hamparan sawah. Sejuk memang. Tepat sekali pintu rumah ini menghadap barat. Beberapa pohon kelapa di Pantai Meninting yang terletak di sudut barat laut arah mata angin, masih terlihat melambai dari teras rumah. Benar, mungkin karena rumah ini hanya berdiri kokoh sendiri tanpa bangunan lain yang menghadang pandangan. Senja bisa dinikmati dengan sempurna, walaupun tak sesempurna menikmatinya dipantai.

Dibanding menikmati senja dengan segelas kopi atau teh hangat, sore itu Tian memilih menikmati senja dengan semangkuk lulur disampingnya. Tentu tidak disarankan menikmati dengan menyantapnya. Lulur sendiri berfungsi untuk merontokkan daki-daki yang ada ditubuhku, tubuhmu, dia - mereka dan tubuh semua manusia yang ada di negeri Indonesia tercinta. Biar ga salah paham.

Berlulur diteras rumah saat senja, memang terasa Hawai banget. Pikir gadis setengah gila ini. Lulurannya hanya sebatas kaki dan tangan saja, selebihnya nanti dilanjutkan dikamar mandi.

"Srrreekkk, srek, srek"

Suara sapu lidi beradu dengan tanah. Ibu Tian tengah menyapu halaman.

"Mak deq belulur? Tiang luluran maeh"1, ucap Tian menggunakan bahasa daerahnya dengan semangat kepada Ibunya yang biasa dipanggil emak.

"Eh, endeq anak. Kamu bae saq dedare belulur."2, jawab Ibunya halus sembari tetap menyapu halaman.

Tian menyingsingkan lengan baju kemudian mengambil secuil lulur dan mulai membalurkan ke tangannya. Menggosok-gosok daki yang ada ditangannya.

"Brummmm.. brummmm.."

Suara sebuah motor besar berhenti didepan pagar rumah. Sepertinya dia kakak ketiga Tian. Tapi tunggu, siapa pria dibelakangnya? Mengenakan celana jeans pendek dan kemeja hitam, dengan rambut zig-zag. Kelihatannya manis.

Tian segera menarik lengan baju yang dia sisingkan tadi sebelum memakai lulur dan menyembunyikan mangkuk lulur miliknya. Tentu tak lupa membersihkan sisa daki ditangannya.

Pria itu tanpa turun dari motor, langsung berusaha berputar arah. Sedikit kewalahan karena motor suzuki thunder hitam yang digunakannya cukup besar, sementara gang didepan rumah masih sempit belum terjamah aspal. Untuk memudahkan, pria itu sedikit membelokkan motor kedalam halaman rumah.

Tian, gadis yang super cuek kepada para pria karena satu sosok yang masih dia simpan rapat dihatinya sejak lima tahun lalu –tentunya bukan Chengel- terpana dengan pria berkemeja hitam itu. Untuk pertama kali setelah lima tahun.

Seperti magnet, pria itu sembari memutar motor, pandangannya juga tertuju pada Tian. Dengan ramah, mereka saling melempar senyum. Pria itu kurus, tapi senyumnya mengembang sehingga pipinya terlihat chubby. Rasanya waktu seperti diperlambat pangkat tiga dari biasanya. Imajinasinya, seperti es krim yang mulai meleleh karena cahaya senja.

"Mak, tiang uleq.3Assalamu'alaikum.", ucap pria itu pamit kepada Ibu sembari memberi senyum kepada Tian.

"Wa'alaikumussalam"

Ibu dan Tian menjawab salam bersamaan. Segera Tian menyingsinkan kembali lengan baju dan mengeluarkan mangkuk lulur lalu melanjutkan lulurannya.

Itu cowok kok manis ya? Siapa? Ih cakep. Tadi senyum juga ke akunya. Semoga besok datang lagi. Doa Tian dalam hati sembari menggosok daki di kakinya. Entah doa ini akan terkabul atau tidak, melihat bagaimana adab dan tata caranya seperti bukan pada tempatnya.

------------------------------------------------------------

1 "Ibu tidak luluran. Aku lulurin ya"

2 "Ah, tidak nak. Kamu saja yang masih gadis pakai lulur"

3 "Ibu, saya pamit pulang"






[Catatan]

Kisah ini diambil dari kisah nyata. Kalau kamu suka cerita ini, kasi bintang ya biar aku semangat nulisnya. Kritik dan saran kalian ku nantikan agar kita bisa sama-sama bercerita.

[Aisyti Arum]

Senja di Kota Tua AmpenanWhere stories live. Discover now