Beautiful Sky

199 30 9
                                    

Beberapa fakta tentang Deva:

Yang pertama, Deva sama sekali bukan orang yang gampang deket sama orang lain. Temen Deva lumayan banyak, tapi semua cuma sekedar 'teman basa-basi',  obrolan mereka nggak akan jauh-jauh dari organisasi, tugas yang lagi mereka lakukan, atau basa-basi lainnya. Deva jarang banget bisa ngerasa bener-bener nyambung dan nyaman sama seseorang. Temen yang bisa Deva ajak diskusi bisa keitung jari. Pertama, Dana. Deva nggak pernah bilang ini ke Dana tapi dia bersyukur banget punya temen kaya Dana. Karena Deva ngerasa setiap cerita ke Dana, Dana nggak pernah menghakimi dan Dana selalu bisa liat perspektif lain dari masalah-masalah Deva.  Yang kedua Ezra, because eventhough he could be such a loudmouth sometimes, he's actually a very good listener. Dua kesamaan dari mereka: Deva udah kenal mereka dari lama, sampai Deva nggak bisa inget waktu dimana dia belum kenal mereka. 

In other words, it will take a lot of time for Deva to open up. 

Makanya Deva bingung ketika sama Syakila, yang baru dia kenal beberapa minggu, dia bisa ngobrolin segala hal tanpa canggung. Mulai dari hal nggak penting, sampe hal-hal yang Deva pikir nggak akan pernah dia bahas sama orang lain. Mereka belum lama kenal, but it feels like he's known her his whole life. Weird. 

Kedua, Deva benci hal klise. Aneh kan? Dia suka film dan buku romantis, tapi kalo ngeliat adegan-adegan film favoritnya di dunia nyata, Deva rasanya merinding dan geli. Tapi sekarang Deva lagi melakukan hal paling klise sedunia; memandang langit dari GOR dekat kampusnya, dengan sebungkus kue balok dan Syakila disampingnya.

Mereka emang janjian untuk makan hari ini karena Syakila mau traktir Deva, yang berjasa dalam menyelamatkan tugasnya. Deva nggak mau ngakuin, bahkan ke dirinya sendiri, kalo misalnya dia sangat excited buat ketemu Syakila. Mereka janjian jam 7 dan Deva udah dateng dari jam 7 kurang 15, buat ukuran Deva yang kalau belum telat 5 menit rasanya belum afdol, itu udah cepet banget. Jam 7 lebih 5 Syakila dateng. 

"Deva! Udah lama?"

"Nggak, kok. Duduk Sya." 

"Dev disini rame banget. Bungkus aja yuk, terus makan di GOR!"

"Hah? GOR? Gelanggang olahraga? Ngapain?"

"Udah ikut aja, yuk! Cepet pesen. Kang! Mau bungkus dong." Kata Syakila, memanggil pramusaji didekat mereka.

"Mesen apa, Teh?"

"Kue balok keju setengah mateng 1. Lo apa Dev?"

"Samain aja sama lo."

"Ih rasa lain dong. Biar bisa nyicip nyicip"

"Hahaha dasar. Yaudah, saya yang tiramisu ya Kang."

"Berapa Kang totalnya?" Tanya Syakila, mengeluarkan dompetnya.

"20 ribu, Teh."

"Gue aja yang bayar Sya." Deva ikut-ikutan mengeluarkan dompetnya.

"Apaan sih Dev? Kan gue yang mau traktir." Syakila buru-buru mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dari dompetnya, bersamaan dengan Deva yang mengulurkan selembar dua puluh ribuan ke pramusaji yang melayani mereka, membuat pramusajinya kebingungan. 

"Kalo mau bayar dobel juga nggak papa kok, Kang dan Teh hehehe." Kata pramusaji tersebut pada akhirnya, membuat Deva dan Syakila tertawa.

**

Dan disinilah mereka sekarang, di GOR dekat kampus mereka, lesehan di rumput, melihat langit malam yang Deva akuin keliatan jernih banget disini yang nggak bakalan dia bisa dia lihat di Bekasi yang penuh dengan polusi. 

"Lo.. sering kesini Sya?" Tanya Deva 

"Buat ngeliat langit kaya gini? Engga sih. Waktu itu gue sempet ada acara gitu disini sampe malem, terus pas gue liat langitnya bagus banget! Langsung deh masuk ke wishlist gue untuk stargazing disini." 

"Jadi ini pertama kali lo ngelakuin ini? Kenapa lo ngajak gue?" Syakila mengerjapkan matanya. Iya juga ya

"Ya.. emang kenapa? You just seem like the person who love this kind of thing, I guess?" Kata Syakila sambil menggaruk kepalanya, ikutan bingung. Deva ketawa. 

"Okay okay, percaya kok. Jangan salting gitu dong." 

"Dih! Siapa yang salting?" Syakila mendorong lengan Deva pelan. Mereka terdiam beberapa menit, sibuk dengan pikirannya masing-masing sambil sesekali melahap kue balok yang telah mereka beli. 

"Sya. Lo liat gak, bapak itu?" Syakila mengikuti pandangan Deva, yang mengarah pada bapak-bapak separuh baya yang sedang memunguti sampah botol plastik.

"Iya, kenapa Dev?"

"Ngga papa. Pernah gak sih mikir, dunia itu ngga adil? Orang-orang diluar sana lagi sibuk untuk buat inovasi-inovasi baru, berlomba-lomba untuk bikin teknologi tercanggih.  Sementara bapak itu, boro-boro mikirin teknologi, buat sekedar makan aja susah. Ironis aja sih." Deva berkata sambil tetap memperhatikan bapak-bapak separuh baya tersebut, yang sekarang sedang duduk kelelahan. Syakila terdiam.

"Ya engga bisa dibandingin kaya gitu dong Dev? Kok lo seakan akan nyalahin mereka? Lo bisa mikir gitu karena apa yang terpapar sama lo yang kaya gitu, coba lo liat yang lebih luasnya lagi Dev, banyak mereka yang memperjuangkan agar orang-orang yang kayak bapak itu dapetin kehidupan yang lebih layak."

"You got a point. But I still think it's unfair.

"They both work as hard Dev, but the result turns out to be very different. Orang-orang yang lo bilang itu, yang lo lihat kehidupannya menyenangkan, mereka juga punya masalahnya masing-masing. Mereka juga kerja keras. Lo ngga bisa nilai mereka cuma dari apa yang mereka dapetin sekarang, lo harus lihat perjuangan mereka. Garis start dan finish orang beda-beda, nilai yang dimiliki orang juga beda-beda. Duh, panjang banget Dev kalo mau bahas ini. Karena banyak banget faktor yang ada, perspektif yang bisa lo liat." Deva terdiam, mencoba meresapi apa yang dikatakan Syakila.  

"Tapi lo nggak bisa pungkirin kalau misalnya ada privilege yang orang-orang itu punya, yang membuat mereka bisa sukses kaya gitu kan sekarang?" 

"Yes. Gue akuin kalau mereka punya privilege. And it's not a bad thing. Having a privilege to be educated, to have an easy access to everything, is never a bad thing. As long as they put it into a good use. Sekarang Dev, yang perlu kita lakuin adalah kerja keras, dengan segala privilege yang kita miliki, so that we could make this world a better place for people like them."  Syakila mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil, "kok, jadi serius gini sih Dev? Haha intinya, hidup itu adil karena dia nggak adil bagi semua orang. Jadi, jalanin aja.. i guess? Be a good person. Gue pribadi sih percaya banget sama kalimat do good and good will come to you." 

Deva terdiam beberapa saat, membuat Syakila khawatir kalimatnya menyinggung Deva.

"Dev?" 

"Ya?"

"Jadi gimana?"

"Lo kayaknya cocok jadi penerus Mario Teguh, Sya." Canda Deva, yang membuat Syakila tertawa lepas.

Cantik, batin Deva. 

**
Masih ada yang baca ngga sih... hehe....

Sejujurnya ngga tau point dr chapter ini apa flskhafask cheesy banget gak sih?! Tapi pengen update aja. MAAF BANGET YA BARU SEMPET UPDATE!! Semester 5 is literally hell. Tapi sekarang udah mulai libur nih (walaupun cuma 2 minggu huhu) semoga aku bisa sering-sering update yah. Makasih udah mau nunggu! ❤

Oh iya, feedbacks are much much much appreciated! 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang