Hari Pertama Sekolah

6 0 0
                                    

Ayah dengan girang pulang lebih awal hari itu. Ia menunjukkan konsol mainan bertuliskan playstation, lengkap dengan kaset beserta stiknya.

"Ayo ayah kita mainkan", ajakku.

"Hari ini kita cerita saja. Kamu ceritain bagaimana hari pertamamu di sekolah, nanti abis itu ayah ceritain isi game-nya".

Di bawah langit yang memerah, ia mulai menceritakan dengan detail tips dan trik bagaimana cara bertani dan beternak yang baik. "Kuncinya adalah kerja keras", jelasnya. Ia menambahkan, kalau kerjamu cuman tidur-tiduran, kamu bisa diusir oleh walikota dan permainanmu pun berakhir.

Dihari lainnya, entah letih apa yang sedang merasuki benaknya kala itu, tiba-tiba ayah memberikan nasehat setelah mengangkatku dari gerobak angkutnya.

"Nak, nikmati masa-masamu di sini. Bisa jadi ini gerbang sekolah terakhir yang akan kamu masuki", katanya sembari menepuk-nepuk bagian belakang celana biru baruku yang terkena debu karat, bekas mengangkut besi tua kemarin.

Tak pernah selesai ia dengan angkutan di gerobaknya, rambut putihnya kini mulai ramai menampakkan diri.

Sudah sebulan lalu sejak ayah selalu pulang larut sehabis bekerja. Malam ini kalimat yang pertama kali ia ucapkan saat memasuki rumah adalah: "Ayah bangga sama kamu, nak. Ibumu juga pasti bangga", setelahnya ia menggantungkan handuk kecil di pundaknya pada paku dekat pintu, kemudian beranjak tidur.

Dalam balutan tripleks berukuran 8x6 meter ini mataku memperhatikan tidurnya dalam remang sinar cahaya petromaks. Kembali memori menjelajah pada sore-sore saat ia bercerita tentang kaset-kaset playstation yang dibawanya. Entah bagaimana ia bisa tau semua cerita itu. Mengarang kah? Mewawancara penjaga toko mainan? Entahlah.

Alasan ayah paling mentok saat aku bosan dengan ceritanya dan mulai bertanya “kapan kita main game-nya?” adalah “listriknya sedang lagi di rumah tetangga, nanti kalau listriknya sudah lewat di rumah kita, baru kita bisa main”. Ternyata, jikalau saja listrik itu bisa masuk ke rumah ini, entah bagaimana playstation itu bisa dimainkan. TV saja kami tak punya! Pula saya juga tidak tau, apakah playstation itu bisa dinyalakan atau tidak. Jangan-jangan kotak abu-abu yang dibawanya itu hanya barang rongsokan yang ia temukan saat bekerja.

Di luar rumah, bunyi dedaunan pohon mangga yang di tiup angin menghentikan lamunanku.

“Jangan mati”, gumamku saat ku tatap perutnya yang kembang kempis.

“Besok adalah hari bersejarah. Diantara kita bertiga, akhirnya ada yang bisa mengenakan seragam putih abu-abu itu. Dan kau… kau harus jadi saksi sejarahnya”.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang