Pagi ini, gemercik hujan terdengar nyaring di teras rumah. Tanganku bergegas, mengencangkan tali sepatu dan menjemput payung yang bergelantungan di pojok dinding. Kadang saat genting, hujan memang harus diterjang agar tak bersubtitusi dengan aktivitas menunggu reda. Aku berlari dibawah bentangan payung kuning menghindari basah. Hari ini, jalanan ramai seperti biasanya. Stasiun ada diseberang jalan, lampu lalu lintas dipersimpangan menyala dengan warna hijaunya. Gerombolan orang mengantri untuk menyeberang, aku bergegas agar tak masuk di kloter penyebrangan selanjutnya. Kami menunggu merahnya lampu bersama rintik hujan yang turun malu-malu ke permukaan. Kupandangi sejenak ada seorang anak kecil berseragam berdiri dalam barisan antrean. Wajahnya basah sebab rintikan hujan yang turun. Lampu merah menyala! Ku gandeng anak kecil itu dan kami berjalan berdua dibawah bentangan payung kuning menapaki zebraacross hingga ke seberang.
***
Jarum jam ditangan tepat berada pada pukul 08.00, aku menghela nafas dan berlari menuju kelas. Seperti biasa, bangku tengah memang jadi favorit untukku. Aku lebih suka diam, mendengarkan, dan mencatat. Waktu berjalan lebih cepat dari biasanya, aku masih sibuk dengan pena dan buku catatan. Semua orang diruangan sibuk berkemas, kemudian meninggalkan kelas. Akhirnya cerita ilmiahku selesai dengan rapi. Dalam ruangan berbentuk kotak, hanya tersisa aku, satu teman sekelasku, dan buku hitam diatas bangku. Rasa penasaranku sedikit bergejolak. Kutanyakan pada temanku, namun ia tak tau dan bergegas meninggalkan kelas. Aku tidak bermaksud lancang, mungkin ada identitas mengenai siapa pemilik buku ini. Ketika ku buka halaman pertama, ada goresan pena menawan dengan kata-kata mempesona.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admire
General FictionAku sulit menemukan wujud asli dari sebuah rasa peduli. Jika didefinisikan dengan peluang maka hasilnya mendekati nol.