Dia melambaikan tangan ketika aku masuk ke dalam bar dan resto di daerah hillview yang lengang dan mempersilahkan aku duduk.
"I have ordered wine and pizza for us." Katanya antusias.
"Actually I just have my lunch."
"It doesn't matter. I ordered thin pizza. I consider it as snack than main course."
Pelayan restoran datang membawa botol wine di dalam bucket berisi es batu. Perempuan jangkung awal tiga puluhan itu membantu membukakan tutup botol dan menuangkan wine ke dalam gelas. Setelah pelayan itu pergi, dia menghela napas. menatapku tajam.
"I have something important to talk to you."
"It's about my work? Aren't you satisfied with my work or something?"
Dia menghela napas. Mata dia fokuskan pada tulisan Wine Connection yang tertempel di pintu.
"No. Not at all. It's about me and my husband."
Aku langsung paham ke mana arah bicaranya. Beberapa hari lalu, saat aku masuk ke ruangan kerjanya, aku mendengar dia berargumen hebat lewat ponsel. Ponsel itu melayang dan mendarat tepat ke dalam tempat sampah.
"Have you decided?"
Dia mengangguk. Dengan gerakan cepat dia menyambar gelas wine dan menyisipnya dua teguk. Aku menghela napas. Sebenarnya aku tak mau minum siang ini. Aku ada jadwal presentasi jam setengah empat dan aku tak mau pikiranku diperbaharui alkohol. Namun atas nama persahabatan, aku mengambil gelas wine itu dan mereguknya.
"What about the children? You should consider them as well. It's not fair that you defend your selfishness and sacrifice their feeling."
"I think about that thousand time. I try to maintain. I try to forgive and forget just like bible teach me. But..."
"You can't carry on?"
Dia mengangguk. Air mata merebak dikelopaknya yang sipit. Kuraih dan kugenggam tangannya. Lebih tempat, meremasnya.
"Do you know in my religion, divorce is something allowed but in other side, something that God hate so much. I know my relationship with my husband is not smooth enough. We quarrel almost everyday. Sometime small matter turn to be riot. But we still can make up. We know, both of us already chosen. And we should know how to recover after break up now and then."
"I am tired."
"I know. I also feel tired. Marriage is not what people think when they are still dating. And dating is not as beautiful as when they are still single."
Dia menghembuskan nafas. Menggeleng lemah. Matanya yang sayu menatap French pizza yang mulai mendingin. Keju yang tadi melumer mulai mengeras.
"I don't know what going on next. After we really separate."
"I hope it is your best decision."
Kami terdiam. Wine di tanganku seperti gumpalan darah yang mengental. Yang bila kureguk membuat tenggorokan terasa sakit.
"Are you going to finish whole bottle?" Tanyaku. "I am worry I can't carry big fat cow to my car."
Dia tertawa. Menyandari tubuhnya yang lebih subur dariku.
"Lets pack. I think it's wrong place." Dia bersiap memanggil waitress untuk mengepak makanan di meja dan membayar bill. "Will you come to watch some movie tonight? My husband went overseas last night. So, lets spend woman time together."
Aku tersenyum. Mengangguk. Aku bangkit setelah menerima paper bag dari waitress yang sama.
"I love baking. Can you join with me to make some cake or cookies when you free?"
"Ah, you really want to spoil me, huh? How can I get my diet?"
Lalu dia tertawa. Tertawa lepas menuju tempat parkir. Kami saling melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil masing-masing. Selama perjalanan kembali ke kantor, aku berpikir keras. Aku juga sebenarnya ingin berpisah. Namun aku tak memiliki keberanian untuk memutuskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK TRUTH
Romancepernikahan tidaklah seindah yang dibayangkan ketika kita masih berpacaran. dan berpacaran tidak semenarik ketika kita masih sendiri.