Metropolis : Automaton

2.2K 339 121
                                    

"Ayo Alana Vikander! Kuatkan dirimu!"

Tangisku malah jadi semakin pecah.

Nada suara yang dikeluarkannya bisa persis sekali seperti suara ayahku.

Suara berat, rendah.

Suara yang selalu menyemangati disetiap aku sedih atau mengalami kegagalan.

"D..dad!"
Panggilku padanya yang masih gigih menangkapi akar sulur pohon yang tertambat ditanah miring diatasnya.

Kakiku yang biasanya kokoh untuk menanjaki batu pegunungan sudah melembek bagai jelly.

"Aku tak punya tenaga lag-"

Dad menyambar lenganku hingga membuat diriku terjatuh menelungkup sampai dengkulku kembali membentur kencang serpihan batu dan tanah.

"Ssst!"
Ia mendesis, jari besi dinginnya membekap rapat mulutku.

"Brengsek!"

"Dimana mereka!"

Mataku membeliak ke pepohonan miring lebat disekitaran kami.

Suara amarah dan makian para polisi terdengar jelas sekali.

Jari besi itu perlahan mengendur dari mulutku.

"Lana, dengarkan."
Ia merengkuh pipi gemetarku dengan kedua tangannya. Membuatku terpaksa menatap lurus pada dua bola mata kacanya.
"Dad berjanji apapun yang terjadi, kau akan selamat!"
Sebutnya lembut bagai membacakan dongeng malam.

"Segera tembak jika mereka melawan!"

Tubuhku semakin bergetar hebat mendengar perkataan para polisi itu.

"Ssh Lana-"
Bisiknya, walau tak bisa kurasakan embusan napas hangat sekalipun ia berbicara dekat sekali dihadapanku.
"Jangan dengarkan mereka!"

"Dad-"

"Takkan kubiarkan mereka menyakitimu!"

"Dad! Aku tak bisa-"

"Pasti kau bisa! Kau akan lolos pergi dari sini walaupun tanpaku!"

"Tidak dad! Tidak..."

.

.

.

.

Hello, hello
Can you hear me?
as I scream your name.
Hello, hello
Do you need me?
before I fade away.

"Pantas dihargai satu milyar zugen
tuh!"

Aku mendengus, menghentikan sapuanku pada kanvas.

Dad tak pernah sekalipun meragukan impianku. Dari semenjak aku hanya bisa menggambar ikan yang lebih mirip ke tulang duri ikan di buku gambar pada masa sekolah dasar, hingga sekarang aku bisa menggambar hutan lebat di kanvas lukisan sebesar 60 x 60 sentimeter ini.

"Itu Black mountain ya?"

"Yep!"
Aku menaruh kuasnya ke meja lalu menoleh pada Dad yang berdiri di ambang pintu.
"Beneran baguskah?"

"Sangat! tak terpengaruh walau kau habis jatuh terpeleset kemarin-"
Ia menyeruput sedikit kopi di mug tangannya.
"Emm... Sudah kedua-eh ketiga kalinya ya kau mengambil tema black mountain?"

Metropolis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang