TWO

8 0 0
                                    

"Kemarin kau baik - baik saja Elena?"

Ibu tiri yang tak begitu ku suka mulai berbasa - basi denganku, sama seperti pagi hari biasanya.

Aku tak pernah menyukai keputusan Anton menikah lagi semenjak kepergian Mama dua tahun silam.

Meski tak tahu apa yang Anton rasakan mengurusku semata wayang, tapi Anton lebih tak berhati karena tega mengganti posisi Mama yang jelas tak akan bisa diambil alih siapapun. Termasuk Anton sendiri.

"Baik."

Kuhabiskan segera sereal sarapan pagiku. Dengan sesenggukan, kuminum susu cokelat hangat yang dibuatkan oleh Maya.

"Kudengar kau merintih tadi malam, El. Apa kau yakin baik saja?"

"Aku baik."

Tunggu, aku samasekali tak bersuara malam tadi. Atau mungkin aku mengigau?

Tak kuhiaraukan kicauan Maya dan bergegas merangkul tas menuju ke sekolah.

...

"Elena."

"Elena."

"Elena!"

Aku terkesiap, ternyata Rayn menepuk pundakku dari belakang hingga rambut panjang ikalku sedikit tertarik.

Aku melepas earphoneku, dan memberinya senyum.

"Bertengkar lagi dengan Ibumu?"

"Haha, Mamaku sudah di surga."

Dia berdecak, miris.

"Istri baru Papamu, maksudku."

"Dia lebih cocok dipanggil Maya untuk ukuran remaja berusia 24 tahun."

Kami tertawa, menertawakan hal - hal dalam kehidupan yang sebenarnya menyakiti hati kita.

Kami berpisah di lorong karena tidak satu kelas. Ia berjalan semakin jauh hingga hanya kudapati rambut ikal pirangnya membelok ke lorong gedung lain.

Seperti biasa, sampai di sudut ini kulanjutkan jalanku sendirian, kupasang lagi earphone milikku.

"Elena."

Aku menoleh, karena belum sempat ku tekan lagu yang akan kudengarkan. Namun tak kudapati siapapun.

Aku bergumam, "Dasar Rayn."

Kulanjutkan lagi perjalanan menuju gedung kelas. Melewati beberapa koridor sepi karena masih dalam proses pembangunan.

"Elena."

Kubiarkan saja suara Rayn usil memanggilku, tak ku hiraukan, sampai

"Elenaaa..."

Suara itu berteriak menggelegar hingga menghembuskan angin yang tidak normal jika keluar dari mulut manusia.

Ini bukan Rayn.

Aku tak berani menoleh, sisa angin itu masih mengulitiku, menggerakkan rok hitam tua yang kukenakan, dan meninggi naik, membelah rambutku menjadi dua bagian, hingga kurasakan leher ini merinding.

Aku diam dan berancang berjalan biasa lagi. Entah logika yang bagaimana yang harus ku putar agar otak ini tidak berprasangka.

Namun sedetik aku melangkah, tiba - tiba

"Elena kenapa kau mengabaikanku?"

Suara serak dan lemah membombardir telingaku, melucut hingga samping telingaku persis. Aku tak bisa bertahan lagi.

Aku berlari meninggalkan koridor dan kubiarkan saja earphone ku terjatuh.

Asal aku bisa terhindar dari pikiran gila ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Have a Nice DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang