"Bisakah aku bertahan lebih lama di sekolah yang sangat menyebalkan ini?"
🌿🌿🌿🌿🌿🌿
"Kenapa nilaimu seperti ini," ayahku berteriak sembari melemparkan raportku ke sembarangan arah. Saat itu aku duduk bertiga bersama kakak dan adikku.
Hari itu adalah penerimaan raport akhir semester. Kami hanya bisa tertunduk. Padahal aku yang salah, tapi mereka dan juga ibuku kena imbasnya.
"Buat apa kamu sekolah, kalau bisanya cuma habisin duit," ucap ayah. Aku tahu sebenarnya ayah tak ingin mengucapkan kata-kata itu, tapi karena emosi yang menguasai ucapan pun tak terkendali.
"Kenapa kamu gak bisa seperti adik dan kakakmu yang selalu masuk 10 besar bahkan juara kelas." Ujung-ujungnya kata-kata seperti itu yang keluar. Aku semakin tertunduk. Pelupuk mataku penuh dengan air mata. Kulihat disampingku kakak menatap kearahku, sambil mengusap punggungku. Ayah memutuskan untuk pergi ke warung kopi, itu merupakan cara beliau jika sudah emosi atau hanya sekedar untuk bersantai. Rasa bersalah menyelimuti hatiku.
Kami pun masuk ke kamar masing-masing. Kulihat ibu menggulung diri dalam selimut, mungkin tadi ibu juga menangis. Jika ayah sudah marah, maka tak satupun diantara kami yang berani membantah.
Hari-hari setelah itu suasana dalam keluarga kembali normal. Liburan semester kami tidak pergi kemanapun tak seperti kebanyakan orang yang pergi ke kampung nenek, atau ke luar kota untuk melihat keindahan bangunan yang bersejarah. Kami hanya disibukkan dengan aktifitas rumah sambil menggitung sisa hari liburan.
* * * *
Tahun ajaran baru, lembaran baru, semua serba baru, akan tetapi hal itu tidak berlaku untukku. Hanya lembaran baru yang akanku isi dengan pengalamanku. Ah, apakah mungkin pengalamanku ditahun ajaran baru ini akan indah atau tetap seperti yang telah lalu biasa aja.
Pagi itu aku berjalan dalam sepi menuju halte untuk menunggu angkot yang akan membawaku ke sekolah. Walaupun sudah jam 06.30 WIB. Matahari tak terlihat karena embun yang cukup tebal menutupi cahaya yang akan masuk ke bumi. Jarak pandang hanya satu sampai dua meter. Motor dan mobil menghidupkan lampu agar tak terjadi kecelakaan.
Angkot yang akan membawaku ke sekolah akhirnya datang. Berhubung masih terlalu pagi angkot masih sepi akan penumpang. Hanya ada aku, supir angkot, dan seorang ibu yang membawa banyak sayuran untum dijual ke pasar.
Jika aku boleh memilih, maka aku tak ingin lagi bersekolah disana. Kejadian yang tak ingin kuingat lagi. Masa-masa yang kuhabiskan tidak ada manfaatnya sama sekali untuk keluargaku. Jangankan keluarga, untukku saja mungkin tidak ada. Diantara banyak mentimun, jika kau temukan mentimun yang bungkuk, maka itulah aku. Hanya untuk memadatkan keranjang jualan, tapi tak dijual.
Mobil melaju dengan pelan menunggu penumpang yang akan naik. Karena bosan ibu itu mengajakku mengobrol. Beliau katakan padaku supaya aku rajin belajar, karena tidak semua orang bisa berada diposisi sepertiku. Saat itu ada sesuatu yang menyentuh hatiku seakan-akan kata-kata yang dikontarkan beliau membangkitkan semangatku.
Aku berjalan menyusuri koridor yang masih sepi. Kata-kata ibu yang di angkot tadi masih berputar-putar di kepalaku. Dalam batin aku berpikir, jika hidupku selama ini sungguh sia-sia.
"Woii..." kaget seseorang dari belakangku. Suara yang sangat familiar. Dia adalah putri sahabatku semenjak SD.
"Pagi-pagi udah ngelamun aja." Sambungnya lagi.
"Lo mau bikin gue jantungan ya put." Ujarku sedikit kesal.
"Bukan mau gue kali lif, lo nya aja tuh dari tadi gue teriak-teriak kayak orang gila tapi gak nyaut-nyaut." Ujar Putri panjang lebar
KAMU SEDANG MEMBACA
perihal rasa
Teen FictionAku memperjuangkan orang yang tak pernah memperjuangkanku. Yang tak pernah menatap walau hanya sekilas. Yang tak pernah tersenyum walau hanya sedetik. Yang tak pernah menyapa walau hanya sekedar "hai" Saat itulah aku berpikir, haruskah aku memperjua...