Prolog

187 3 3
                                    

Dua buah pasang mata itu tersorot tajam tepat ke arahku. Menatap lekat-lekat dua buah mataku ini seolah dapat menembus ke dalamnya. Meskipun datar, namun dibaliknya tersirat dendam yang amat dalam dan amat mengerikan. Entahlah. Aku tak tahu di mana letak kesalahanku padanya sehingga tiba-tiba saja aku menyadari, aku sudah berada di sini. Berada di lantai gedung paling atas dengan dua tanganku yang terbelenggu oleh ikatan tali tambang, seraya terduduk di atas kursi kayu yang sudah reot di makan waktu.

Dulu, kedua matanya adalah satu-satunya mata paling indah yang pernah kulihat. Yang dulunya selalu memancarkan keteduhan bagi siapapun yang menatap kedalam matanya. Namun kini berubah entah kenapa. Dan tidak hanya menyiratkan dendam dan kengerian, aku dapat melihat aura kesedihan di pancaran matanya yang suram itu. Jangan ditanya aku sudah berapa tahun mengenal dirinya, tidak heran jika aku sangat  mengenal dirinya. Bahkan dari matanya saja, aku tahu apa yang sedang dia rasakan. Matanya dapat berbicara.       

Perlahan dan perlahan, ia melangkah ke arah dimana aku terduduk pasrah. Terus melangkah tanpa berpaling dari mataku. Semakin dekat dan semakin dekat jarak antara kami. Di saat itu pula aku tak bisa mengendalikan diri oleh tatapanya yang amat seram. Oh, aku takut sekali. Apa daya yang bisa kulakukan selain meronta-ronta lantaran tanganku yang terikat kuat ini. Menutup mata saja tidak cukup untuk dapat meredam rasa ketakutan ini.

“Akh-! Akane! Apa yang- ka-kau.. lakukan!” Jeritku yang tak ia dengarkan. Ia sama sekali tak merubah reaksi ataupun berubah gerakan, ia masih terus melangkah sampai tak ada jarak antara kami. Sejurus kemudian ia mendekatkan wajahnya padaku hanya dengan jarak se-inci. Sungguh sangat mengerikan menatap matanya dari jarak dekat.

Nafasku terengah-engah dan berusaha untuk menutup mataku, namun tidak bisa. Seluruh otot-otot badanku menegang dan benar-benar tidak bisa digerakan. Kini aku benar-benar tidak bisa menguasai diriku. Oh tuhan... tolong aku.

“HAHAHAHAHA...”

Tertawa? Dia tertawa? Memangnya apa yang lucu? Dia benar-benar terlihat seperti orang gila dan stress. Aku sungguh bingung denganya. Sebenarnya apa yang terjadi hingga ia bisa seperti ini?

“Akane? Kenapa kau tertawa?” Tanyaku bingung.  

“HAHAHAHA...”

Oh sungguh... tawanya benar-benar terdengar seperti setan dan pembunuh berdarah dingin yang amat kejam dan sadis. Sangat ngilu mendengar derai tawanya.

“Akane! Aku bertanya! Kenapa kau tertawa?! Memangnya ada yang lucu hah?!”

Dan sekali lagi, ia tak menjawab pertanyaanku dan masih tertawa menyeramkan. Tanpa aku sadari, mulutku melontarkan perkataan kasar terhadapnya sehingga berhasil membuatnya kembali terdiam.

“Dasar Gadis Gila! Aku membencimu Akane!”

Aku benar tak habis pikir, tiba-tiba saja mulutku mengeluarkan kata-kata seperti itu. Sungguh aku menyesal, ini akibatnya jika emosiku sudah berada di perbatasan dimana aku tak bisa menahanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 15, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GloomyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang