32 [END]

60.6K 5.6K 1.2K
                                    

           Hati dan pikiran kita ibarat dua penasehat, terkadang berbeda pendapat. Mereka memainkan peranannya dengan cara yang berbeda dan berbicara dengan bahasa yang berbeda. Seperti itulah yang dirasakan Hana sekarang. Ketika Jaehyun memeluk tubuhnya, Hana berpikir mendorong pria itu menjauh mengingat segala kelakukannya yang membuat Hana menangis. Tapi, alih-alih melakukan itu, Hana malah menangis dalam pelukannya. Rasanya sangat memalukan, namun hatinya sendiri tidak bisa bohong kalau Hana rindu pria itu.

Hana rindu ketika bangun tidur mendapati Jaehyun yang tidur memeluknya. Hana juga rindu saat-saat dimana Jaehyun bersikap manis, atau sesekali bersikap otoriter yang membuat Hana kesal. Dalam tidurnya Hana sering berharap Jaehyun tidak bermaksud membuangnya. Pria itu tidak membalas pesan karena sibuk, dan di hotel dia tidak melakukan apa-apa dengan Jennie. Mungkin paparazzi hanya melebih-lebihkan. Tidak mungkin Jaehyun melakukan hal itu, ketika dia sudah berjanji di hadapan Tuhan menjadikan Hana satu-satunya. Terdengar naif memang, tapi hanya dengan cara itu hatinya bisa tenang.

“Lepas …” ujar Hana pelan, ketika sadar dia sudah terlalu lama dipelukan pria itu. Wangi tubuh Jaehyun menyatu dengan tubuhnya, membuat perasaan Hana kembali dihujani kehangatan. Hanya dengan dekapan pria itu segala kekhawatiran Hana sedikit berkurang. Kenapa semuanya terasa menyebalkan? Pengaruh Jung Jaehyun mengikatnya dengan kuat.

“Kau pergi begitu saja tanpa menungguku.” Jaehyun melepaskan pelukannya, mengusap air mata Hana dengan kedua jarinya. “Aku minta maaf karena terkesan mengabaikanmu. Tapi 3 hari setelah kau menelfon, aku sudah di Korea untuk mencari informasi tentang si Brengsek itu. Aku lembur di kantor dengan banyak detektif. Awalnya aku berniat ke rumah sakit, tapi Jennie menelpon mengatakan temannya hanya bisa ditemui hari itu juga. Aku langsung ke China untuk membuat kesepakatan. Waktu itu aku selesai tengah malam, jadi aku menginap di kamar Jennie.”

Hana sudah hendak menyela, tapi Jaehyun buru-buru merapikan rambut istrinya itu—menatapnya dalam. "Kami tidak berdua Hana, ada Mark juga."

"Tetap saja tidur dengan Jennie."

"Dia tidur di kamarnya, sedangkan aku di kamar lain."

Hana masih tidak percaya, namun Jaehyun buru-buru menjelaskan, "Dia memesan President Room, ada dua kamar. Jennie di kamarnya sendiri, dan Mark di sofa. Media hanya melebih-lebihkan."

"Tapi kau tidak membantahnya!"

"Sudah aku lakukan baru-baru ini. Waktu itu aku mendiamkannya, karena masih fokus denganmu."  Tatapan Jaehyun meneduh, "Hana ... Kita menikah bukan untuk bercerai. Jangan seperti ini. Kau sendiri yang mengatakan jika nanti kita melakukan kesalahan, kita berjuang dulu sama-sama, karena menikah tidak seperti pasangan yang bisa putus jika ada masalah. Tolong, berikan kesempatan untukku, untuk menjukkan sekali lagi kalau aku memang serius menikahimu."

"Kau berarti untukku Hana. Bukan hanya sekedar seorang wanita yang aku jadikan istri, tapi wanita yang menjadi bagian dari hidupku. Please give me a chance."

"Aku tidak bisa menjaga diriku sendiri ..."

"Kalau begitu biarkan aku menjagamu.”

Hana hendak melepaskan diri, tapi Jaehyun segera menarik pinggangnya, “Kau kira aku laki-laki macam apa yang meninggalkan perempuannya hanya karena sudah disentuh orang lain? Lagipula itu bukan salahmu, Hana. Jangan membandingkan dirimu dengan Jennie. Kalian berbeda.”

Hana menggeleng pelan, melepaskan tubuhnya ketika menyadari Duanphen dan Preeda masih berada di sekitar dapur. Hana buru-buru mengajak Jaehyun keluar dari Villa, tapi pria itu malah menggenggam tangan Hana dan menuntunnya ke kamar utama.

“Jae, tidak di sini.” Hana hendak keluar, tapi Jaehyun dengan cepat memeluk tubuh Hana dari belakang. Helaan nafas Jaehyun terasa panas, dan Hana baru sadar bahwa pria itu sedikit demam.

Ne, SAJANGNIM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang