Kesadaran dan Luka: Bayang-Bayang Yugyeom - Cahaya yang Tak Bisa Disaingi
Di Universitas Hanbit, I.N hidup dalam dunianya sendiri—dunia yang penuh dengan nada gitar, melodi lembut, dan harapan kecil yang dia simpan untuk Yuna. Yuna adalah cahaya yang menyelinap ke dalam hidupnya, membawa tawa dan kehangatan yang membuat setiap hari terasa lebih berarti. Tapi di balik kebahagiaan kecil yang dia rasakan bersama Yuna, ada bayang-bayang yang perlahan muncul—bayang-bayang Yugyeom, mahasiswa tingkat akhir jurusan Olahraga yang menjadi pusat perhatian kampus. Bagi I.N, Yugyeom adalah sosok yang tak tersentuh—kapten basket yang gagah, penuh karisma, dan jauh di atas jangkauannya. Dan ketika I.N menyadari bahwa Yuna memandang Yugyeom dengan cara yang tak pernah dia dapatkan, bayang-bayang itu jadi luka yang tak bisa dia abaikan.
Semuanya berubah pada suatu sore di lapangan basket Universitas Hanbit. I.N baru saja selesai latihan band di studio musik dan memutuskan mencari Yuna—dia ingin mengajaknya ke kantin untuk sekadar ngobrol, sesuatu yang akhir-akhir ini jadi rutinitas kecil yang dia nantikan. Dengan gitar tergantung di pundaknya, dia berjalan menyusuri koridor, senyum tipis menghiasi wajahnya saat membayangkan Yuna akan tersenyum lebar melihatnya. Tapi langkahnya terhenti saat dia melewati lapangan basket yang ramai oleh sorak-sorai mahasiswa.
Di tribun paling atas, dia melihat Yuna—duduk sendirian, tangannya memegang buku sketsa yang terbuka, tapi matanya tak tertuju pada kertas. Pandangannya terpaku pada lapangan, pada Yugyeom yang sedang menggiring bola dengan penuh tenaga. Cahaya matahari sore memantul di wajah Yuna, membuat matanya berbinar—binar yang berbeda, binar yang penuh kekaguman, penuh harapan, sesuatu yang I.N tak pernah lihat saat Yuna bersamanya. Yugyeom melompat, mencetak poin dengan gerakan yang mulus, dan Yuna tanpa sadar tersenyum lebar, tangannya mengepal kecil seolah ikut merayakan kemenangan itu.
I.N berdiri di kejauhan, tersembunyi di balik pohon besar yang jadi pembatas lapangan. Gitar di pundaknya terasa lebih berat dari biasanya, dan senyumnya perlahan memudar. "Oh… jadi dia suka Kak Yugyeom," gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tak terdengar di tengah sorak sorai. Dia menatap Yuna lebih lama, mencoba mencari tanda bahwa dia salah—mungkin Yuna hanya kagum, mungkin itu bukan apa-apa. Tapi saat Yugyeom menyeka keringatnya dan melirik ke tribun dengan senyum santai, Yuna buru-buru menunduk, wajahnya memerah, dan I.N tahu—itu bukan sekadar kekaguman. Itu cinta, sesuatu yang dia harapkan dari Yuna, tapi tak pernah dia dapatkan.
Malam itu, I.N kembali ke studio musik sendirian. Lampu temaram menyala redup, dan dia duduk di kursi yang biasanya jadi tempat Yuna mendengarkan lagunya. Gitarnya ada di pangkuan, tapi jari-jarinya tak bergerak—hanya diam, menatap senar yang kini terasa asing. Bayang-bayang Yugyeom menyelimuti pikirannya—sosok tinggi dengan langkah penuh percaya diri, suara dalam yang menggema di lapangan, dan senyum yang membuat semua orang terpikat. I.N tahu dia tak bisa menandingi itu. Dia hanyalah mahasiswa musik dengan gitar tua, nada-nada sederhana, dan hati yang terlalu polos untuk bersaing dengan karisma Yugyeom.
"Aku nggak punya apa-apa dibanding dia," bisiknya pada dirinya sendiri, tangannya mengepal di atas gitar. Dia teringat senyum Yuna di studio—senyum yang cerah, yang dia pikir adalah untuknya. Tapi sekarang, dia tahu senyum itu tak pernah benar-benar miliknya. Setiap kali Yuna membawa es teh, setiap kali dia tertawa mendengar lagu I.N, itu hanyalah kebaikan—bukan cinta. Sedangkan tatapan Yuna untuk Yugyeom adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang dalam, yang penuh gairah, yang I.N tak bisa ciptakan dengan nada gitarnya.
Luka itu terasa lebih dalam saat dia mengingat momen kecil bersama Yuna. Dia pernah berpikir bahwa Yuna notice dia—cara Yuna duduk dekat saat dia mengajarinya gitar, cara Yuna bertepuk tangan setelah lagunya selesai. Tapi sekarang, semua itu terasa seperti ilusi. "Aku cuma temen buat dia… atau mungkin cuma adik," gumamnya, suaranya bergetar. Air mata kecil menggenang di matanya, tapi dia cepat mengusapnya, tak mau menyerah pada perasaan itu. Dia ingin Yuna—lebih dari apa pun—tapi bayang-bayang Yugyeom adalah dinding yang terlalu tinggi untuk dia daki.
Keputusan untuk Berjuang: Melawan Bayang-Bayang
Di tengah keheningan studio, I.N mengambil gitarnya lagi. Jari-jarinya mulai memetik—pelan, ragu, tapi penuh tekad. "Aku nggak akan nyerah," katanya pada dirinya sendiri, matanya menatap bayangan dirinya di jendela. Dia tahu Yugyeom adalah sosok yang Yuna kagumi—tapi I.N punya sesuatu yang Yugyeom tak punya: ketulusan, nada-nada yang lahir dari hati, dan cinta yang dia tuangkan dalam setiap lagu. "Aku bakal bikin dia lihat aku… meski cuma sekali," bisiknya, dan melodi baru mulai tercipta—melodi tentang cahaya yang dia kejar, tentang Yuna.
Bayang-bayang Yugyeom tak hilang—it’s always there, mengintai di setiap senyum Yuna yang tak pernah benar-benar untuk I.N. Tapi I.N memilih melawan—bukan dengan kekuatan atau karisma, tapi dengan hati yang dia berikan sepenuhnya. Dia tahu peluangnya kecil, tahu Yuna mungkin tak akan pernah membalas perasaannya, tapi dia tak peduli. Baginya, Yuna adalah alasan dia masih memetik gitar, alasan dia masih bernyanyi, dan dia akan terus mengejar—meski itu berarti berlari di bawah bayang-bayang Yugyeom yang tak pernah pudar.
To Be Continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled Hearts (✔️)
FanfictionCinta Segitiga sudah biasa. Bagaimana dengan cinta segiempat??? !@#$%&*