Kita, dalam Setengah Purnama

149 22 2
                                    

Temaram lampu jalanan mulai menyala saat aku duduk tertatih menyaksikan semesta menutup tirai matahari. Sesekali kudengar lengkingan suara pengamen cilik yang memaksakan pita suaranya tuk mencapai nada yang tinggi, seperti halnya ia memaksakan dirinya menapaki perjalanan hidup yang teramat keras. Aku hanya terpaku diantara kursi kursi memanjang, tempat setiap orang menumpahkan gelisah atas setiap kepergian, atau menghitung setiap jengkal rindu untuk setiap kepulangan. Ya, bagiku Stasiun ini seperti buku harian lama. Begitu usang, namun menyimpan begitu banyak goresan cerita yang tak berjudul. Tapi yang jelas, alur dan tokoh didalamnya begitu berharga. Dan tepat saat ini, aku sedang menunggu sang waktu membuka lembaran musim. saat rintik menyejukan terik, saat angin menerbangkan dingin. Sungguh, berdiam diri di tempat Ini, seperti memutar kembali kotak musik yang tersimpan Lama. ketika alunan harmoninya kerap menerbangkan sejuta kisah, memekarkan harapan lama... atas sebuah rasa...untuk sebuah nama....LAILA...seseorang yang mampu melengkapi warna masa remajaku 12 tahun silam. sosok yang tak pernah mau bertanya tentang apapun mengenai diriku, bagaimana perasaanku dan sejauh apa harapku. Ada yang tak luput dari benang-benang memoriku bila berbicara tentang dia. Sosok perempuan tanpa batas mimpi sekaligus penghayal ulung dimataku. Hanya dia yang percaya, bahwa suatu hari planet bumi ini akan dikuasai makhluk aneh dari luar angkasa. Tahukah kalian apa yang menjadi mimpi besarnya....."menjadi Power Ranger". Dan mungkin dialah satu-satunya generasi muda saat itu, yang berpikir tentang nasib planet bumi kedepan. Kau boleh tertawa mendengar hal ini. Tapi buatku, hal itu adalah harta berharga yang tersimpan dalam kotak memoriku...Karena apapun tentang dia, kan menjadi apapun untuk bahagiaku. Akan kuceritakan bagaimana nasib mempertemukan kami, bagaimana ketika waktu perlahan menumbuhkan sesuatu yang begitu dahsyat dalam diriku. serupa gejolak yang tak diinginkan,namun kerap nurani bersikeras mempertahankan, meski tanpa pilihan...tanpa jawaban.
Dan inilah kisahku.....

_2005
#mengikat musim

Namanya Laila , perempuan .
Aku takkan bicara tentang berapa usianya atau dimana dan kapan dia dilahirkan. karena itu takkan berarti apa apa buatmu atau buatku juga. Yang jelas, hari itu adalah hari yang teramat bersejarah buatku. Melebihi makna sejarah perjuangan pahlawan atau sejarah kerajaan nusantara sekalipun. Hari itu, adalah hari pertama masuk SLTA. Hari, dimana setiap siswa baru saling menunjukkan style barunya pada dunia, karena hampir semua yang dipakai oleh mereka, masih beraroma toko, sebagian lagi beraroma mesin jahit, termasuk....LAILA. Adapun para penghuni lama, saling unjuk gigi menunjukkan eksistensinya. berjalan bergerombol, ada yang hilir mudik tanpa tujuan sambil sesekali curi pandang, ada juga yang mempersenjatai kelompoknya dengan mimik wajah yang dibuat horor dan mencekam, seakan mengabarkan batas teritorial kekuasaannya. Termasuk, ........aku sendiri...YANDHI.

Siang itu, matahari menumpahkan terik yang sangat menyengat, angin hanya sesekali melintas di dedaunan, lalu pergi meninggalkan daun kering yang berjatuhan . Saat itu pukul sebelas, aku bersama tiga kawan mencoba memanjakan diri dibawah pohon albasiah besar, tempat paling strategis dan paling aman untuk dijadikan tempat persembunyian dari segala bentuk razia. Berada tepat di belakang perpustakaan yang jumlah pengunjungnya tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Atau mungkin pengunjungnya hanya berputar di orang yang sama pula. Nah, disanalah pula aku pertama kali melihat Laila, yang saat itu sedang berlari membawa plastik berisi minuman aroma buah yang sedang trend di Televisi saat itu. Aku melihat dia dari sela sela pagar bambu yang dijadikan batas penghalang. Tak berkerudung, rambutnya sedikit ikal , bagian belakangnya diikat seperti ekor kuda. Bagian depannya ia biarkan tergerai seadanya menutupi alisnya yang melengkung tipis. rambut dibelahan sisinya seperti sengaja ia biarkan membingkai wajahnya yang manis. Jujur, saat itu aku belum tahu persis wajahnya, namun aku tahu persis perasaanku saat itu. Dan dari sanalah, pertualanganku mencari tahu tentang dia dimulai...........

"Boleh kuminta satu helai rambutmu? akan kupakai tuk mengikat setiaku, dan meletakkannya di ubunmu"

LAILA NOER ....Nama yang diwariskan keluarganya tersemat jelas di papan nama berwarna merah muda dengan garis merah putih di seluruh tepiannya. Lalu melingkar dileher yang tertutup oleh sebagian rambutnya.
Aku dapat melihat jelas wajahnya saat ia terpaksa berdiri dengan wajah lebam tersengat terik. Entah kesalahan apa yang ia perbuat , sampai akhirnya ia harus dipisahkan dari kelompoknya dan harus berdiri tanpa pilihan ,di tepian lapangan rumput sekolah. Ia yang berambut ikal panjang, dengan senyum seadanya namun sanggup meneduhkan mata siapapun yang memandang. Mata sayunya yang sederhana, mengisyaratkan bahwa dunia baginya, hanya seluas kornea mata...segalanya bisa kau genggam, jika kau sedia membuka mata tanpa sekat kemunafikan di dirimu. Itu makna yang dapat kucerna saat melihat matanya. Sekali lagi ia membuatku tak bergeming. Dunia seperti berubah tiba tiba...seperti adegan film film romantis remaja di televisi, semua seperti dalam nuansa slowmotion...dan aku berjalan pelan ..menghitung tiap jengkal langkah kaki yang terdengar seperti alunan ritmik. Beradu dengan irama detak jantung yang bertalu. Aku terus mendekat....semakin dekat....beberapa meter lagi ....DAN....!!!

Kuhampiri ia dari belakang.
Ia masih berdiri mematung sambil sesekali menggerakkan jari tangannya yang asik menggenggam ballpoint hitam. Kurapihkan rambut, kerah baju, dan mengatur nafas sebisa mungkin. Dan inilah waktunya.....
'Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttt!!!!!'...tiba-tiba terdengar pluit panjang dari arah kerumunan siswa baru.  'Laila Nuuur kembali ke barisan...Cepat !!!' ...suara sengau dari megaphone terdengar sangat keras. Menghancurkan momen yang paling kutunggu dari siang tadi. dalam sekejap ia berlari ke tengah lapangan...Aku membatu, mengutuk suara megaphone yang masih melengking. Lalu beranjak pergi bersama detak jantung yang masih membara, namun dalam warna rasa yang berbeda...;KECEWA !

Takdir, ternyata masih belum selaras dengan keinginan. Aku sempat mengutuk nasib. Sambil berjalan menuju kantin sekolah, tempat yang paling tepat untuk melampiaskan segala bentuk kekesalan. Ku ambil langkah seribu menuju kantin belakang sekolah dengan harga diri yang tercabik-cabik oleh suara megaphone tadi. Sepanjang ku berlari, pikiranku kerap menyuarakan kesumat yang terpendam. Jika saja aku berada di tepi pantai atau di tengah hutan belantara, mungkin suara teriakanku kan menimbulkan potensi tsunami atau membuat akar akar pohon di hutan terkelupas. ABSURD bukan? Yang pasti pikiranku semakin kacau, nafasku semakin tak beraturan.

Sesampainya dikantin, aku mencoba mengatur tensi detak amarahku dengan sebotol air mineral. Sapaan dari beberapa kawan yang melintas di hadapanku cukup membuatku sedikit tenang. Meski rasa kesal masih melekat erat. Sebenarnya aku ingin memisahkan diri dari keramaian, menyusun kembali siasat jitu dan mengitung waktu yang tepat untuk bisa berhadapan langsung dengan perempuan itu.

Dalam Setengah Purnama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang