Jangan berharap untuk diingat, sebab keikhlasan...tak perlu itu

117 11 0
                                    

Saat itu, dini hari yang begitu dingin. Langit hanya sekilas menampakkan raut bintang. suara suara malam, kerlip kunang dari kejauhan, Parade cahaya lampu yang terlihat seperti gugusan bintang ,tampak mempesona. kusaksikan semuanya dengan begitu jelas diatas bukit tak bernama, tempat tertinggi, tempat yang kerap dipakai setiap orang untuk melepas kejenuhan, atau hanya ingin menyaksikan silhuet pegunungan ketika matahari hendak pulang ke peraduan. Tapi berbeda denganku, sebuah peristiwa telah meluluhlantahkan harapan yang kubangun sejak awal. setumpuk amarah dan kekecewaan yang terlanjur beku mengantarkanku ke bukit itu. Disana luka itu semakin menjelma, merambat pelan di dinding nurani. Semakin buas menerjang urat urat sadarku...Aku lemah tak bergeming...hanya berpegang pada sisa sisa harapan yang hampir pudar. aku kalah, tanpa sempat melangkah.. sebab luka ,telah lebih dulu menjelma sebelum kata-kata.

HARI itu, awan mendung.. tapi angin berhembus pelan, memanjakan pucuk pucuk daun yang baru saja tumbuh. Di depan gerbang itu, aku mencoba mempertaruhkan hargadiriku. menyiapkan segala siasat atas kemungkinan terburuk dari apa yang kulakukan. Untuk Laila..., perempuan yang kerap memaksaku tidur lebih awal...yang menjerumuskanku pada mimpi mimpi heroiknya.. yang melibatkanku pada setiap kesedihannya. dan kini aku terlena dengan bahagianya.
Ia yang sengaja menumpahkan warna ceria dalam lembaran hari ku yang teramat panjang, melukiskan imaji hasrat yang teramat liar. Dalam malam, di ruang hening, bahkan di sela kebisingan, matanya sanggup meredam suara suara.

Mendung semakin pekat, suara lonceng terdengar begitu jelas diantara gemuruh langkah kaki. Inilah suasana yang paling kutunggu setiap hari. Hampir satu tahun lebih semenjak kali pertama aku melihat dia di bawah albasiah itu. Aku kerap menghabiskan gelisah di depan gerbang ini, menunggu ia pulang ,menunggu setiap cerita yang ia rangkum dari waktu ke waktu, menanti setiap keluh yang ia sematkan di telingaku...dan aku setia mendengarnya tanpa bergeming , seperti kertas kosong yang setia menanti goresan pena menuliskan segalanya.

Dari balik jeruji gerbang , mataku tak henti hentinya menyelinap ke arah lobi utama sekolah, sambil sesekali merekatkan kepalan tangan ,mencoba meredakan laju detak jantung yang berdetak tak biasa. namun diantara kerumunan wajah yang melintas, tak kutemukan juga wajah dengan mata sayu itu, mata yang sanggup menjinakkan amarahku...belum juga kudapati senyum tipis itu, senyum yang mampu mengiris pelan rasa egoku.

Laila... Adakah tuhan menyembunyikan alasan, sehingga kau dan aku dipertemukan ?

GERIMIS turun...aroma bau basah hujan semakin melekat. Sesekali rintiknya menetes dingin ke sela jari. Aku masih belum beranjak, masih memeluk erat kepingan gelisah yang semakin kuyup menggenangi ruang hampa..masih menghitung detak nadi. Menimbang detik yang terus bergulir, mengalirkan sunyi pada rindu yang menjadi muara. LAILA..Adakah cemas yang terpatri ini kan menjelma benih bahagia ?...meski untuk hari ini saja...izinkan keyakinan ini menggenapkan rasa..rasa yang tak pernah bisa kujelaskan padamu, atau siapapun...rasa yang tak bisa kutempatkan di ruang yang lain...selain hatimu...



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dalam Setengah Purnama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang