Tegal Wangi

349 6 0
                                    

PS: Akan lebih baik jika dibaca sambil mendengarkan Banda Neira - Biru


Namaku Alisha. Putu Alisha Nandini.

Saat ini aku sedang berada di salah satu pantai dengan batu karang yang melengkung dan menyisakan celah diantaranya untuk matahari masuk, dan cahaya yang ditimbulkannya membuat siapapun yang berdiri di sana mendapatkan foto siluet sunset terbaik untuk diupload ke instagram lengkap dengan caption; senja.

Tapi saat ini sudah tidak senja. Matahari sudah undur diri sejak beberapa jam tadi. Turis turis sudah pergi dan malam sudah mulai datang, perlahan dan diam diam.

Aku duduk sendirian menatap laut dan airnya yang mulai pasang; mempertanyakan kehidupan dan terheran-heran betapa maha bercandanya Tuhan.

Dua tahun yang lalu aku pernah berkata, "Kado ultah dari aku tiket Jkt-Bali-Jkt aja ya?"

Alismu yang tebal menyatu, selalu begitu saat kau bingung atau heran akan sesuatu. "Kamu tu nyuruh aku liburan sendirian?"

Aku tertawa pada pertanyaan retorika itu. Dan juga pada fakta bahwa kau sangat lihai membuatku mengatakan perasaanku dengan gamblang di depan kepalamu. Seolah tak cukup hanya merasakan, kau harus pula selalu diingatkan bahwa aku mencintaimu sepenuh hidup; setengah matiku.

Seperti saat kau menawariku makanan yang kemudian aku tolak karena aku tidak suka, lalu kau akan bertanya "memang kamu sukanya apa?" lalu akan menatapmu sambil bilang; KAMU!

"Kok malah ketawa sih?"

"Tuh. Aku tau banget nih skenarionya bakal gimana. Kamu selalu gitu. Kamu pinter banget bikin aku kasih liat semua perasaanku tepat di depan matamu."

Gantian kau yang tertawa,"Ya kan aku cuma tanya, Galgadot. Yaudah nanti kita atur ya tanggal berapa kita pergi ke sana."

Waktu itu aku mengangguk dalam diam. Tapi aku bersumpah bahwa seluruh setan dan juga penghuni dadaku bersorak dan berjingkrak kegirangan sampai-sampai aku takut gemuruhnya terdengar ke luar.

Tapi orang bilang, terkadang sesuatu yang kau rencanakan justru akan sulit terwujud.

Pada akhirnya kita tidak pernah pergi.

Berbulan-bulan setelahnya, bahkan melewati ulang tahunmu sekali lagi, kita seperti lupa pernah berencana untuk mengunjungi tempat ini berdua.

Sampai akhirnya pada hari ini aku memberanikan diri untuk datang, meski melenceng jauh dari rencana, meski terlambat dua tahun lamanya, meski tanpa dia; Akhasara.

Kuteguk lagi bir yang masih tersisa setengah, ini sudah botol ketiga.

Akhh, pahit.

Pahit seperti hidup setelah patah hati.

Pahit seperti berusaha tegar menghadiri pernikahan orang yang bertahun-tahun lamanya kau doakan akan menua bersamamu, tapi justru esok ia akan menikahi orang lain.

Angin menggerak-gerakkan lembar-lembar kertas dari sebuah buku lusuh yang terbuka, yang tergeletak begitu saja di sampingku. Puisi-puisi tanpa judul dan kumpulan perasaanku yang tak pernah bisa kubacakan lagi di hadapanmu.

Aku berharap angin bisa menerbangkan tiap kata yang tertulis di dalamnya, membawanya ke langit dan memaksa Tuhan untuk mengabulkan setiap keinginan dan doa-doa panjang yang tersirat di balik kata-kata itu.

Atau setidaknya kata-kata itu bisa menghilang, bukuku akan kosong dan aku bisa memulai semua dari awal lagi.

Dua Akhasara ((prologue))Where stories live. Discover now