Yugyeom: Api yang Mulai Meragukan Diri
Yugyeom berdiri di taman kampus malam itu, memandang gelang yang Tzuyu tinggalkan di bangku dan gelang yang Yuna lempar ke tanah sebelum berlari pergi. "Aku bakal tunggu kamu, Tzu," katanya dengan suara rendah, tapi saat Tzuyu berbalik dan I.N memanggilnya, ada sesuatu di dalam dirinya yang retak—kepercayaan dirinya, sesuatu yang selalu jadi andalannya, mulai goyah. Yugyeom, kapten basket yang tak pernah kalah di lapangan, kini merasa seperti pecundang dalam cinta—dan untuk pertama kalinya, dia bertanya pada dirinya sendiri apakah dia benar-benar layak untuk Tzuyu.
...
Hari-hari setelah pertemuan itu, Yugyeom mencoba tenggelam dalam rutinitasnya—latihan basket, sorak sorai tim, dan keringat yang biasanya jadi pelipur lara. Tapi setiap kali dia menggiring bola, pikirannya melayang ke Tzuyu—mata dinginnya yang penuh keraguan, suaranya yang gemetar saat bilang, "Aku nggak bisa pilih sekarang." Dia melempar bola dengan keras ke ring, tapi meleset—sesuatu yang jarang terjadi. "Fokus, Yugyeom!" teriak pelatih, tapi dia tak mendengar—yang ada di telinganya adalah kata-kata I.N di studio, "Aku nyanyi cuma buat kamu."
Malamnya, dia duduk sendirian di tribun kosong, memandang lapangan yang kini sepi. Jaket yang dia bawa untuk Tzuyu tergantung di tangannya, aroma hujan samar masih tercium dari kain itu. "Aku udah kasih semua… kenapa aku masih nggak cukup?" gumamnya, tangannya mengepal. Dia teringat ciuman tak sengaja di perpustakaan—momen yang dia pikir jadi bukti bahwa Tzuyu miliknya—tapi sekarang, dia tahu I.N ada di hati Tzuyu, dan itu membuatnya cemburu sekaligus takut.
...
Yugyeom tak bisa mengabaikan Yuna lagi setelah confess gadis itu di taman. "Aku suka Kak Yugyeom… dari lama," kata Yuna, dan air matanya yang jatuh membekas di pikirannya. Dia tak pernah notice Yuna sebelumnya—baginya, Yuna hanyalah junior ceria yang sering ada di sekitar, membawa kopi atau tersenyum lebar di tribun. Tapi sekarang, dia mulai melihat jejak-jejak perhatian Yuna—gelang yang dia lempar, sketsa yang pernah dia lihat sekilas di buku Yuna, tatapan penuh harap yang dia abaikan.
Suatu hari, dia tak sengaja bertemu Yuna di koridor kampus. Yuna membawa buku sketsa, matanya menunduk, dan saat melihat Yugyeom, dia buru-buru berbalik. "Yuna, tunggu!" panggil Yugyeom tanpa pikir panjang, langkahnya cepat menyusul. Yuna berhenti, tapi tak menoleh. "Kak… nggak usah bilang apa-apa," katanya pelan, suaranya bergetar. Yugyeom mendekat, "Aku nggak tahu kamu ngerasa gitu. Aku… aku minta maaf." Yuna tersenyum kecil, tapi penuh luka. "Nggak apa-apa, Kak. Aku udah nyerah. Kakak punya Kak Tzu." Dia berbalik lagi, dan kali ini Yugyeom tak menahannya—tapi rasa bersalah itu tumbuh, membuatnya bertanya apakah dia terlalu egois mengejar Tzuyu tanpa melihat orang lain.
...
Yugyeom tahu I.N adalah ancaman—bukan karena I.N lebih kuat atau lebih populer, tapi karena ketulusannya yang tak bisa dia saingi. Dia memutuskan menemui I.N di studio musik, tempat yang dia tahu jadi dunia I.N. Saat masuk, dia melihat I.N duduk sendirian, memetik gitar dengan nada sedih. "Kamu bikin lagu buat Tzu lagi?" tanya Yugyeom tiba-tiba, suaranya tajam. I.N menoleh, terkejut, gitarnya berhenti berbunyi. "Kak Yugyeom… aku nggak tahu harus jawab apa," katanya, nadanya gugup tapi jujur.
Yugyeom melangkah mendekat, matanya penuh api. "Aku suka Tzu. Dari pertama ketemu, aku tahu dia beda. Aku nggak mau kamu ambil dia dari aku," katanya, tangannya mengepal. I.N menatapnya lama, lalu tersenyum kecil—senyum yang penuh penyesalan. "Aku nggak ambil apa-apa, Kak. Aku cuma nyanyi… kalo Kak Tzu denger, itu bukan salah aku." Yugyeom terdiam—dia ingin marah, tapi kata-kata I.N terlalu tulus untuk dibenci. Dia berbalik pergi, tapi di dalam hati, dia tahu—I.N bukan musuh, tapi saingan yang membuatnya meragukan dirinya sendiri.
...
Saat Tzuyu mengirim pesan, "Taman, besok malam. Aku udah punya jawaban," Yugyeom merasa jantungnya berhenti sejenak. Ini adalah momen yang dia tunggu—tapi juga yang dia takuti. Malam itu, dia berdiri di bawah pohon maple, jaket di pundaknya, tangannya gemetar. Tzuyu tiba lebih dulu, gelang di pergelangannya berkilau samar di bawah lampu taman, dan I.N muncul sesaat setelahnya, gitar di tangan. Yugyeom menatap Tzuyu, matanya penuh harap tapi juga ketakutan.
"Tzu, aku bilang aku bakal nunggu. Aku serius—aku nggak mau kehilangan kamu," katanya, suaranya rendah tapi penuh gairah. Dia melangkah mendekat, mengeluarkan jaket itu dari pundaknya. "Ini pertama kali aku tahu aku suka kamu—di hujan, di taman ini. Aku bakal kasih apa aja buat kamu, Tzu." Tzuyu menatap jaket itu, lalu Yugyeom, air mata kecil menggenang di matanya. "Yugyeom… kamu bikin aku ngerasa hidup. Tapi aku takut—takut aku nggak bisa kasih kamu semua yang kamu mau," jawabnya, suaranya gemetar.
I.N melangkah maju, gitarnya tergenggam erat. "Kak Tzu… aku nggak bisa kasih banyak. Tapi aku nyanyi cuma buat kamu—karena kamu bikin aku ngerasa cukup," katanya, nadanya polos tapi penuh perasaan. Tzuyu menoleh ke I.N, dan Yugyeom merasa dadanya sesak—dia tahu momen ini akan menentukan segalanya.
Pilihan Tzuyu dan Respons Yugyeom
Tzuyu menarik napas dalam, lalu berkata, "Aku udah mikir lama. Yugyeom… kamu bikin aku takut kehilangan sesuatu yang aku nggak tahu aku punya. Tapi I.N… kamu bikin aku ngerasa utuh." Dia menatap Yugyeom, lalu I.N, dan akhirnya berkata, "Aku pilih I.N. Bukan karena kamu nggak cukup, Yugyeom—tapi karena aku butuh ketenangan, dan dia kasih aku itu."
Yugyeom terdiam, wajahnya memucat. Jaket di tangannya jatuh ke rumput, dan dia tersenyum getir. "Aku ngerti, Tzu. Aku… aku harap kamu bahagia," katanya, suaranya serak, lalu berbalik pergi, langkahnya berat. Dia tak menoleh lagi—tapi di dalam hati, dia tahu ini adalah kekalahan pertama yang dia terima, dan itu lebih menyakitkan dari apa pun di lapangan.
...
Hari-hari setelahnya, Yugyeom kembali ke lapangan, tapi ada sesuatu yang berubah—dia tak lagi bermain untuk membuktikan diri, tapi untuk melupakan. Dia mulai notice Yuna lagi—melihatnya di kantin, tersenyum kecil dengan buku sketsa di tangan. "Aku udah nyakitin dia juga," gumamnya, dan untuk pertama kalinya, dia berpikir untuk mendekati Yuna—bukan untuk cinta, tapi untuk minta maaf, untuk memperbaiki apa yang dia rusak.
Yugyeom, api yang pernah menyala terang, kini belajar meredup—mencari cara untuk berdamai dengan kekalahan, dengan rasa bersalah, dan dengan dirinya sendiri.
To Be Continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled Hearts (✔️)
FanfictionCinta Segitiga sudah biasa. Bagaimana dengan cinta segiempat??? !@#$%&*