Tonit hampir putus asa. Nyaris dua jam dia menjelajah hutan bersama Alvin. Tetapi hingga sore, tak satu pun tanaman unik ditemukannya.
"Udah,deh. Pinjam kaktus ayahku saja", usul Alvin sambil menghapus keringat di kening.
Tonit menggeleng. Sebenarnya sudah berkali-kali Alvin menawarinya membawa salah satu koleksi kaktus ayahnya, seorang kolektor kaktus sekaligus pendiri Kelompok Pencipta Kaktus Dudutan (Duri-Duri Tajam).Tetapi sejujurnya, Tonit tidak suka kaktus. Tanaman itu membuatnya teringat kata kakus.
Sangat-sangat tidak keren!Lagipula tanaman ini untuk pelajaran favoritnya, IPA. Tonit ingin membawa tanaman yang super istiwema yang tidak dimiliki orang lain. Dia ingin mendapat nilai terbaik dari Pak Sandro, guru kesayangannya.
Kedua anak laki-laki itu terus melangkah.
Pohon - pohon tumbuh menjulang. Suara serangga - serangga terdengar bersahut - sahutan seperti sedang arisan. Sejenak Tonit berhenti dan meneliti sekelilingnya.
Tanaman unik yang dicarinya mungkin tersembunyi di..."BRUUUK!"
"Aduh!" Tonit meringis. Dia terjatuh. Kakinya tersandung akar pohon yang bertonjolan dari dalam tanah.
Alvin nyengir. "Pertanda buruk. Kayaknya kita harus pulang."
Tonit menggerutu, bersiap bangkit. Namun, matanya menangkap sesuatu. Di depannya, di antara semak dan daun-daun hijau memanjang, tampak tanaman berbentuk kantong.
"Yes!" seru Tonit.
Alvin buru-buru mendekat."Ini yang kumau!" Telunjuk Tonit terarah pada tanaman itu. Bibir Tonit menerut. Dia bergidik. "Ih! Seram. Menjijikan."
Tonit tidak membantah. Bentuk tanaman itu aneh. Mirip kantong lonjong dengan mulut menganga. Di dalam kantong tergenang air. Beberapa serangga mati terendam di dalamnya.
"Aku belum pernah lihat tanaman seperti ini," kata Tonit. " Mungkin tanaman langka...." " Atau tanaman beracun ," potong Alvin tak sabar. Dia tak berniat membahas tanaman seram itu panjang lebar. Dia sudah lelah menjelajah hutan. Perutnya keroncongan. Dia ingin segera pulang dan menyantap masakan lezat bikinan ibunya.
" Aku mau membawNya pulang," ucap Tonit.
Alvin melotot. "Jangan cari penyakit. Tanaman ini pasti berbahaya ." Kamu memang penakut!" Tonit tertawa.
"Lagian, percuma menjelajah hutan hutan kalau ujung - ujungnya pulang dengan tangan kosong." Alvin mengendus. "Terserah. Kalau nanti ada apa-apa, jangan salahkan aku." Tonit tak pedul. Pelan-pelan, dicabutnya tanaman itu beserta akarnya. Lalu, dimasukkan ke kantong plastik yang dibawahnya.Beres! Dia bergegas menyusul Alvin yang sudah berjalan duluan.
Langkahnya diiringi bunyi gesekan daun dan ranting pepohonan yang ditiup angin. Bunyi yang sebenarnya merupakan sebuah peringatan. Seandainya saja Tonit tidak buru-buru bertindak, seandainya dia tahu bencana sedang mengintai, dia tentu tak akan membawa pulang tanaman itu.
Sayang, semua sudah terlambat. Suka atau tidak, Tonit harus bersiap menerima kenyataan. Tanaman itu akan mengubah hidupnya.
Selamanya!