(7)

4K 353 14
                                    

'Juna ngapain?' Tanya gue membatin, lagian Jun kayanya nggak sadar kalau kita berdua udah merhatiin dia yang masih sibuk sama handphonenya.

"Juna!" Panggil Fara cukup keras, sadar namanya disebut, Jun mengalihkan perhatiannya.

"Hai Jun, mau jemput Rana ya?" Sapa Fara lebih dulu, Juna mengangguk pelan sembari tersenyum kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai Jun, mau jemput Rana ya?" Sapa Fara lebih dulu, Juna mengangguk pelan sembari tersenyum kecil.

Seperti biasa Fara selalu menyapa Juna ramah lebih dulu dan gue juga mulai memperhatikan Juna dengan pemikiran yang melayang entah kenapa, rasanya cuma dengan natap Jun, beban gue berkurang banyak.

"Yaudah kalau gitu gue tinggal ya, udah ada Juna jugakan?" Pamit Fara ke gue, dari awal gue memang nggak berniat ngerepotin Fara buat nganter pulang jadi langsung gue iyain.

"Kenapa kemari?" Pertanyaan gue yang akhirnya membuat Jun mengalihkan padangan, mengalihkan pandangan untuk membalas tatapan yang sedari tadi dia abaikan.

"Mas Zian ngasih tahu aku ka_"

"Kakak nggak mau ngebahas Mas Zian, kamu sebenernya datang kemari untuk apa? Kalau cuma untuk nanya hal ini, mending kamu pulang." Gue beneran nggak mau ngebahas Mas Zian sekarang.

Mendengarkan gue, Juna terdiam untuk sesaat dan malah semakin memperhatikan gue nggak karuan sekarang, ini memang bukan pertama kalinya Juna nyamperin gue setiap kali tahu kalau gue sama Mas Zian punya masalah tapi entahkan kenapa, kali ini gue beneran kecewa.

Karena nggak ada respon apapun lagi, gue berjalan mendahului Juna, gue mau pulang tapi seakan harapan yang cuma berlangsung untuk sesaat, Juna malah mengejar dan berhasil menghentikan langkah gue, dia ada dihadapan gue sekarang.

"Apa lagi?" Tanya gue menatap malas ke arah lain, kemanapun asal bukan natap matanya Juna.

"Kak! Lihat aku!" Ucapan Jun yang gue abaikan.

"Kak!" Juna meletakkan tangannya diatas kepala gue dan memutar kepala gue untuk natap matanya langsung.

"Aku khawatir makanya aku nyamperin Kakak kemari." Ucap Juna yang membuat gue mengkaku.

"Kamu khawatir sama Kakak?" Tanya gue ulang untuk menyakinkan diri gue sendiri kalau apa yang gue dengar barusan itu nggak salah.

"Heum, aku khawatir." Ulang Juna yang  berhasil membuat gue tersenyum begitu mudahnya.

"Kakak cu_"

"Gimana aku nggak khawatir sama calon Kakak Ipar aku? Mas Zian jauh lebih khawatir asal Kakak tahu." Potong Juna yang membuat senyum gue menghilang begitu mudahnya juga, sirna seketika.

Kayanya gue memang harus meyakinkan diri gue sendiri, gue harus segera sadar, Juna khawatir ke gue cuma karena menganggap gue Kakak Iparnya, nggak lebih.

"Yaudah sekarang udah ngeliat Kakakkan? Udah nggak khawatirkan? Kalau iya, minggir." Gue mendorong Juna pelan dan kembali melanjutkan langkah gue.

"Kakak pulang sama siapa? Aku anter ya?" Gue langsung berbalik dan menatap Jun menelisik, ni anak maunya apa coba?

"Calon suami Kakak aja nggak mau repot terus kenapa malah kamu yang sibuk nganterin Kakak kesana sini?" Suara gue terdengar jelas kalau lagi kesal.

"Kenapa jadi ngegas?" Tanya Jun kebingungan, Juna bener, kenapa gue jadi kesal sama dia?

"Jadi mau ikut aku atau enggak? Udah ikut aja." Juna lebih dulu menggandeng lengan gue untuk ikut.

Narik lengan gue dari gandengan Juna, langkah kaki gue terdengar sangat jelas karena keheningan yang ada sekarang, gue kesal tapi nggak tahu untuk siapa? Apa bener untuk Mas Zian? Atau karena hal lain?

"Kenapa kamu lama banget? Kaki aku udah pegel nungguinnya tahu nggak?" Pemikiran gue yang awalnya melayang cukup dekat langsung tersadarkan begitu mendengar suara yang lumayan gue hafal.

"Kamu dateng ke kampus karena mau jemput Dewi?" Gue langsung natap Juna dengan tatapan menusuk, anggukan pelan Jun membuat gue menghembuskan nafas berat.

"Kenapa nggak ngomong dari tadi? Kamu tahukan gimana nggak sukanya Kakak sama dia? Bener-bener ya." Gue berharap Dewi bakalan denger.

"Nggak ada juga yang mikir kalau gu suka ngeliat lo kali." Balas Dewi menatap gue nggak suka.

"Wi, jangan kaya gitu, Kakak juga, kalian berdua bukan anak kecil lagi, udah masuk ke mobil." Juna menengahi tapi gue masih menolak, gue nggak mau pulang bareng ni orang.

"Kakak pulang pakai taksi aja." Paling bener memang pulang pakai taksi atau bus dari tadi.

"Kita searah, lagian aku memang sekalian mau jemput Dewi, udah bareng kita aja." Bujuk Jun yang sukses membuat senyum sinis gue terlihat, tadi katanya khawatir sama gue tapi kenyataannya dia mau jemput pacar, kenapa nggak ngomong jujur aja.

"Kamu apa-apaan sih Jun, kalau memang orangnya nggak mau ya udah nggak usah, nggak ada yang maksa jugakan? Udah biarin aja." Gue menggepalkan jemari gue dan berusaha keras untuk nggak emosi sekarang, tenaga gue lebih baik gue pergunakan untuk hal yang lebih penting.

"Kakak pulang sendirian, nggak papa." Nepuk lengan Juna pelan, gue berjalan cepat ninggalin mereka berdua dan nyetop taksi sembarangan, pulang.

.

Sampai di rumah, gue masuk dan langsung nyariin Mama, awalnya gue pikir Mama di kamar tapi nggak ada, gue juga udah turun dan nyari di dapur sama halaman belakang itupun sama, Mama kemana sebenernya?

Gue mengeluarkan handphone dan milih menghubungi Mama, siapa tahu Mama keluar cuma lupa ngabarin aku, masih gue nunggu panggilan gue dijawab, suara handphone Mama malah terdengar jelas di rumah.

Dengan perasaan mulai khawatir, gue mengikuti arah suara handphone dan ternyata itu berasal dari kamar Mama, gue masuk ke kamar tapi Mama memang nggak ada tapi langkah gue tercekat begitu sadar kalau pintu kamar mandi Mama sedikit terbuka, berjalan cepat dan kekhawatirkan gue menjadi nyata, Mama udah nggak sadarkan diri, tujuan gue sekarang cuma rumah sakit.

.

Hampir sekitar 30 menit berlalu, sekarang gue udah dirumah sakit dan Mama masih dalam pemeriksaan, gue udah ngabarin Mas Zian tapi handphonenya nggak aktif, akhirnya gue ngabari Juna dan ngasih tahu posisi gue sekarang.

Dalam hati gue udah merapalkan begitu banyak doa, gue nggak mau Mama kenapa-napa, harusnya dari awal gue nggak nurutin omongan Mama buat kuliah hari ini, harusnya gue tetap di rumah karena tahu Mama udah nggak enak badan, memang gue yang bodoh.

Sekarang cuma penyesalan yang gue rasain, gue cuma bisa berdiri sembari menyandarkan tubuh gue di dinding, mengetuk kepala gue perlahan kalau ingat kesalahan apa yang gue perbuat hari ini, gue yang salah.

"Rana!" Pandangan gue yang awalnya tertunduk langsung terangkat begitu nama gue dipanggil, dari jauh gue melihat kedatangan dua orang laki-laki yang sangat gue kenal, mereka berlari menghampiri gue dengan raut wajah yang sama khawatirnya.

"Kamu nggak papa?" Gue mendengarkan tanpa jawaban.

"Rana, Mas tanya kamu, Mama gimana?" Gue masih melakukan hal yang sama, diam dengan mata yang hanya menatap satu orang.

"Ini salah Kakak, Kakak yang ninggalin Mama sendirian." Ucap gue melangkah memeluk Juna.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang