-PERINGATAN-Kerena saya pribadi menganggap cerita ini cukup sensitif, sebelumnya saya ingin memberi peringataan bahwa semua hal seperti alur, kejadian, tempat, dan tokoh pada cerita ini hanyalah FIKSI dan semata-mata berasal dari imajinasi yang saya kembangkan.
Karakter yang ada pada cerita ini sama sekali tidak berhubungan dengan idol yang digunakan sebagai visualisasi karakter. Maka dari itu, saya harap pembaca bijak dalam menyikapi cerita ini.
Sekian, terima kasih.
-Setahun
-
-Berapa banyak kesuksesan yang mampu digapai manusia pada satu masa hidupnya? Hilda tidak pernah tahu jawaban dari pertanyaan itu. Jadi ia mulai menghitung pencapaian-pencapaian yang bisa dia lakukan, mulai dari pencapaiannya dalam bidang akademik maupun non akademik. Delapan piala dan dua piagam yang dipajang di etalase prestasi SMA Abiseka adalah milik gadis itu, namun semakin banyak yang ditambahkan atas namanya, semakin banyak juga kepalsuan yang harus ditampilkan oleh Hilda.
Sebagian orang memuji bagaimana kehidupan Hilda terlihat, bagaimana sosoknya yang tidak menggunakan kepintarannya untuk mencari popularitas, bagaimana gadis itu tetap berada pada kawasannya sendiri tanpa mengusik orang lain.
Lalu bagaimana sebagian lainnya? Agaknya mudah ditebak.
Gadis itu hampir selalu berusaha terhindar dari masalah dengan memasang topeng sok tangguh miliknya, hingga berakhir menjadi sosok pengecut yang tidak berani datang untuk menghadapi problema. Namun, entah sebanyak apa kerja keras Hilda untuk mempertahankan dunia normal versi dirinya, ada beberapa bunga-bunga liar yang tidak bisa dihentikannya untuk tetap mekar disana.
Hilda akhirnya dituntun menuju pada malam itu, yang langitnya tampak memukau dengan kemunculan bulan. Gadis yang tengah menggenggam kertas beracun itu ingin mengumpati apa yang dilihatnya. Merasa jika perpaduan dari hembusan angin lembut dan pemandangan indah itu tidak cocok disuguhkan untuk dia yang menyaksikan sosok lain tengah terbaring sambil membentuk genangan dengan cairan tubuhnya yang berbau karat.
Tubuh gadis itu disiram oleh rasa takut ketika mendengar suara rintihan frustasi di ambang kematian. Hilda melihatnya, gadis itu melihat beberapa kuntum bunga berwarna putih dan biru mulai bermekaran pada sela bibir sosok yang kini mengapai ujung celana milik Hilda dengan tangan penuh noda kemerahan.
Seperti gadis asing itu, Hilda diam-diam juga menitikkan air matanya. Genggaman Hilda pada kertas itu menguat, begitupun dengan genggaman gadis itu pada celana yang dipakai oleh Hilda. Untuk sesaat pikirannya tanpa bisa dicegah membayangkan apa yang tengah dilakukan teman-temannya yang lain malam itu. Apakah mereka sedang dengan bebas menikmati kilauan bulan dengan napas yang lega, atau tengah terseok-seok untuk menghirup udara seperti sosok Hilda dan gadis yang sekarat di hadapannya.
Pandangan Hilda pada wajah gadis itu beralih, ia melihat ke arah jemarinya yang penuh plester tengah mengenggam erat kertas beracun yang dia harap mampu membantu Hilda kembali menata hidup normal versi dirinya. Maka ia menarik kakinya menjauh, mencoba sebisa mungkin agar tangan gadis asing itu tidak mampu kembali menggapainya.
Hilda sudah memutuskan, meski tiap langkah yang diambilnya untuk menjauhi sosok yang tengah mengerang meminta pertolongan itu gemetar, Hilda sudah benar-benar memutuskan untuk tidak mempersulit hidupnya lebih jauh. Ia mengubur dalam-dalam rasa kemanusiaan miliknya.
Gadis itu lepas tangan, pikirnya ia tidak ingin hidupnya tambah sulit hanya karena sosok yang bahkan tak dikenalnya. Namun, bahkan setelah memilih untuk menekan rasa kemanusiaannya sehingga tidak terjerat masalah prihal kematian gadis asing itu, Hilda harus rela jika Tuhan yang nampaknya murka dengan tingkahnya menghadirkan Jedar untuk mengacaukan hidup Hilda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Luck
Teen FictionHilda selalu penasaran dengan senyum lebar dan sekuntum bunga berwarna kuning yang kerap dilihatnya bermekaran menghias wajah-wajah sosok yang menurut dia semestinya terpuruk, yang paling tidak, seharusnya memasang wajah horor macam dirinya. Mereka...