F [1]

1.7K 19 30
                                    

Frans Tonio Fasca, pria tiga puluh tahun itu berjalan menelusuri halaman parkir Kelapa Tiga Cafe. Semangkuk sop buntut—menu populer di cafe itu— mungkin akan meringankan mual dan pusingnya akibat jetlag. Langkahnya kuat dan pasti, badannya tegap menantang teriknya matahari bulan Agustus, menyengat? Biarkan saja!

Dua orang bodyguard berbusana formal seperti John Wick, mengikuti langkahnya di kiri dan kananya, Anton dan Heri namanya. Penjaga kualitas nomor wahid, yang siap mengorbankan nyawa untuk menjaga sang majikan. Sedangkan supir pribadinya, Thomas, sudah berdiri dan bersiap untuk membukakan pintu mobil untuknya. Diantara orang-orang yang berada disekitar Frans, Thomas adalah yang paling dekat dengan sosok Frans. Pria berusia empat puluh dua tahun ini, sudah tujuh tahun menjadi supir pribadi Frans.    

"Thomas," sapa Frans kepada supirnya itu, sebelum ia memasuki mobil. Lalu dibalas dengan anggukan kepala dan senyuman dari Thomas sambil menyapa, "Pak." Terlihat ramah dan patuh.

Setelah mempersilahkan Frans masuk kedalam mobil dan menutup pintu, Thomas bergegas memasuki pintu kursi kemudi. Anton dan Heri berada di mobil yang berbeda dengan yang dinaiki Frans, tentu saja atas keinginan Frans sendiri. "Privasi," alasannya.

+++

Mobil Audi A7 hitam yang dinaiki Frans berjalan menelusuri ramainya Jalan Surya Sumantri, dan di belakanganya, Toyota Camry yang dinaiki Anton dan Heri setia mengikuti.

" Thomas," panggil Frans dari kursi belakang. "Sudah lama aku tidak merasakan kesegaran yang aku suka," ucapnya.

Thomas melirik majikannya itu dari kaca spion tengah dalam mobil, dalam beberapa detik pandangan mereka bertemu, "Tapi, Bapak baru saja meminumnya sekitar satu jam lalu," balasnya.

"Yang benar saja?!" seru Frans kesal, sambil membuang muka menghadap jendela sampingnya, lalu membuang napas panjangnya. "Tapi aku menginginkannya saat ini," ucapnya lagi, kali ini suaranya lebih pelan, dengan nada yang sedikit memohon. Hal yang membuat Thomas tersenyum geli, dan (dengan terpaksa) mengangkat satu jempolnya di atas perseneling. Frans tersenyum penuh kemenangan ketika melihatnya.

Tujuh tahun bekerja sebagai supir pribadi Frans, menjadikan Thomas benar-benar bisa memahami Frans. Sesuatu yang (mungkin) tidak banyak orang lain di sekitar Frans bisa melakukannya.

Thomas meminggirkan mobilnya, dan memasuki halaman parkir salah satu mini market yang terdapat di Jalan Surya Sumantri. 

"Biarkan aku yang turun," ucap Frans kepada Thomas sambil membuka pintu, lalu keluar dari dalam mobil, dan segera berjalan menuju pintu masuk mini market (setelah sebelumnya ia merapikan jas yang ia kenakan, lalu memastikan rambut coklat pirangnya terlihat rapi).

Di dalam mini market, Frans berjalan melewati deretan rak-rak yang di dalamnya tersusun rapih berbagai macam makanan, hingga keperluan rumah tangga lainnya, menuju deretan lemari pendingin yang terletak di bagian paling pojok mini market (tergantung baner berbentuk anak panah di langit-langitnya bertuliskan MINUMAN DINGIN).

Lalu di depan lemari pendingin, Frans mulai mencari minuman yang sejak tadi ia inginkan. Matanya menerawang, menelusuri jejeran minuman ringan di dalam kulkas, hingga akhirnya, itu dia! Ia membatin. Lalu segera membuka kulkas, dan mengambil empat botol green tea. Ya, green tea adalah minuman yang paling ia sukai. Sesuatu yang sangat dilarang Thomas diminum Frans terlalu sering, karena terlalu banyak meminum teh dalam kemasan botol itu, akan membuat Frans terserang batuk, dan menghalangi pria itu untuk bekerja, lebih tepatnya saat melaksanakan meeting.

Setelah mengambil minumannya, Frans bergegas berjalan menuju kasir melewati jejeran rak yang sebelumnya ia lewati. Jatlag, membuat tubuhnya sedikit oleng ketika beberapa langkah lagi ia sampai di depan meja kasir. Sesuatu yang ditangkap oleh mata Anton dan Heri yang sejak tadi berdiri menunggu, dan mengawasi Frans dari luar mini market. Membuat mereka berdua bergegas masuk ke dalam, dan dengan peka menghampiri Frans dengan perasaan khawatir. Melihat kedua bodyguardnya itu sudah berada di dekatnya, Frans langsung menegakkan tubuhnya, dan menatap mereka dengan tajam. "Kalian tunggu saja di luar, saya bisa sendiri," ucapnya ketus kepada Anton dan Heri, yang dibalas oleh mereka berdua langsung mengangguk dan berjalan keluar toko, seperti yang Frans perintahkan. Pikirnya, ini public area! Akan membuatku malu jika ada seseorang yang mengenalku, dan melihat diriku dibantu dua orang bodyguard karena hampir roboh akibat jatlag.

Kemudia Frans meletakkan keempat botol green tea yang ingin ia beli diatas meja kasir. Sesuatu membuatnya sangat kesal ketika tidak ada satupun pegawai mini market yang melayaninya ketika ingin membayar barang yang ingin ia beli. "Permisi?!" serunya dengan nada tinggi, "Kasir?!" ucapnya lagi.

Jatlag, dan harus menunggu petugas yang akan melayaninya di meja kasir adalah komposisi yang tepat untuk pria angkuh sepertinya untuk menjadi kesal. Frans melirik jam tangan merek Patek Philippe yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, shit! Kemana  para pegawai mini market ini?! Ia membatin, kekesalan tergambar jelas di wajahnya. Apa mereka tidak tahu siapa diriku?! Aku bisa membuat mereka dipecat jika aku mau.

"Kemana petugas yang seharusnya berada di sini?!" Ia kembali memanggil petugas kasir sambil menatap pintu RUANGAN KHUSUS KARIAWAN (tertulis diatas daun pintu).

Tak lama kemudian, keluar seorang pegawai wanita dari ruangan yang sejak tadi ia pandangi berjalan terburu-buru menuju meja kasir. Frans segera membuang wajahnya (mulutnya mendecak, kesal) kearah dompet kulit berwarna hitam yang ia buka, lalu mengeluarkan uang seratus ribu Rupiah dari dalamnya.

"Selamat siang Pak. Maaf sudah membuat Bapak menunggu," sapa petugas kasir tersebut ramah. Lalu dengan begitu ahli mengambil sebotol minuman yang diletakkan Frans di atas meja, dan mengarahkan barcode yang tertera di kemasan luar botol ke mesin pemindai (terdengar suara bip setelahnya), lalu dengan cepat si kasir merubah jumlah barang yang dibeli menjadi empat di komputernya. "Semuanya, tiga puluh dua ribu rupiah, Pak," ucap si kasir dengan ramah menyebutkan nominal yang tertera di layar komputer.

Keheningan tercipta ketika pegawai kasir wanita itu melirik wajah Frans, dan menangkap tatapan tajam mata Frans terpaku kepadanya. Dalam sekian detik mereka saling menatap, hinga akhirnya, "Pak," ucap si kasir (yang menyadarkan Frans). "Jumlah belanjaannya, tiga puluh dua ribu rupiah." pegawai kasir itu kembali mengulangi jumlah uang yang harus Frans bayar. 

"Oh ya, maaf. Saya... sedikit... terkejut," balas Frans kikuk, dan canggung. Lalu memberikan uang seratus ribu Rupiah yang suda sejak tadi ia genggam.

Sesuatu mengganggu pikirannya ketika sejak pertama kali melihat pegawai wanita mini market dihadapannya. Wajah dan suaranya, Frans membatin. Perempuan dihadapannya membuat pikirannya mundur jauh kebelakang, membawa dan mengingatkannya kepada sosok yang dahulu ia kenal, dan begitu dekat dengannya.

Bukan, bahkan sangat dekat dengan dirinya. Jantungnya berdegup, adrenalin seakan membanjiri seluruh tubuhnya. Dalam beberapa saat ia lupa dengan jetlag, atau apapun yang sudah membuatnya kesal hari ini.   

Frans terus menatap perempuan dihadapannya. Terpaku, takjub, namun kosong secara bersamaan. Lalu sekonyong-konyong, "Maaf, Pak. Bapak membuat saya takut," ucap pegawai itu terus terang. Sesuatu yang semestinya tidak boleh diucapkan seorang pegawai mini market kepada seorang pelanggan, dan pemilik perusahaan seperti Frans tahu betul, jika pegawai itu sudah melakukan kesalahan. Sekarang ia sudah bisa menyerang pegawai itu dengan ceramah tentang etika dan tata krama sampai wajahnya biru. Tapi, ucapan itu justru menyenangkannya, menenangkannya. Frans tidak bisa megongoceh, dan beberapa saat setelahnya ia sadar kalau dirinya sudah melewati batas (sekarang bukan hanya pegawai itu, dirinya pun takut dengan dirinya sendiri).

Setelah mengambil uang kembalian, dan belanjaannya, Frans berjalan keluar dari mini market. Senyum mengembang dari bibirnya ketika melewati pintu mini market. Informasi paling mendasar dari wanita itu sudah ia ketahui. Frisha ia membatin, menyebutkan nama pegawai wanita itu, yang ia ketahui dari name tag yang tertempel di bagain dada sebelah kanan seragam berwana biru yang pegawai itu kenakan.  Ya, namanya Frisha.

+++

Frisha [+21]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang