Tentang Rasa

45 2 0
                                    

Yudha melepas kacamatanya lalu memijit keningnya lelah. Ia menghempaskan punggungnya di sandaran kursi sembari memejamkan mata. Sudah berjam-jam lelaki itu bergulat dengan kertas-kertas yang bertumpuk di meja kerjanya. Pekerjaannya sebagai seorang pengacara muda di firma hukum terkenal mengharuskannya memeriksa berkas perkara para kliennya. Belakangan ini ada banyak sekali perkara yang masuk ke mejanya hingga ia mesti merelakan waktu istirahatnya. Yudha memang lebih memilih lembur untuk menyelesaikan tugas-tugasnya daripada harus membawa pulang tumpukan kertas itu.

Ia lelah. Tetapi rasa letih itu sebanding dengan penghasilan yang diterimanya. Ini semua adalah bagian dari rangkaian mimpi yang dimilikinya. Meski tidak semua harapannya terkabul namun ada kepuasan tersendiri yang diperolehnya. Yudha membuka matanya lalu mengambil sebuah figura kecil yang ada di laci kerjanya. Ia mengusap pelan kaca bingkai itu seperti takut akan merusak gambar yang ada di dalamnya. Terlihat seorang gadis berseragam sekolah tengah tertawa tanpa melihat ke kamera, sepertinya gambar itu diambil secara diam-diam.

Yudha menghela napasnya. Ia bisa jadi seperti sekarang karena gadis yang ada di foto itu. Keinginan untuk memiliki gadis pujaannya telah membakar semangatnya untuk giat belajar. Masih segar di ingatannya bagaimana ia mengikuti gadis itu diam-diam. Seringkali ia juga mengambil foto tanpa diketahui. Iya. Ia menyukai gadis itu dalam diam. Yudha tak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Pengecut? Entahlah. Rasanya tidak juga bisa dicap demikian. Yudha tidak mengungkapkan perasaannya karena gadis itu terlihat begitu sempurna di matanya. Gadis itu memang bukan anak konglomerat atau memliki kecantikan luar biasa hingga banyak pemuda yang jatuh cinta. Gadis itu cantik tentu saja, tetapi dengan caranya sendiri hingga membuatnya terlihat sempurna. Gadis itu berhasil membuat jantungnya berdegup senang sampai sekarang walau cuma memandangi fotonya. Dari sanalah sebuah keinginan besar membuncah di jiwanya. Yudha ingin menjadi seorang lelaki yang sukses. Seseorang yang sepadan buat nilai sang pujaan hati.

Tetapi penyesalan selalu datang terlambat. Baru sekarang Yudha menyesali ketidakberaniannya. Kalau saja sejak dulu ia mengungkapkan rasa cintanya pada gadis itu mungkin ia bisa bersamanya sekarang. Setelah kelulusan SMA mereka berpisah. Yudha kehilangan jejaknya. Seandainya ia mengungkapkan perasaannya atau setidaknya berteman dengan gadis itu maka mereka tak akan hilang kontak.

Bagaimana kabarmu Hana? Tanyanya dalam hati. Ya Hana. Itulah nama perempuan yang dipuja oleh Yudha. Seringkali lelaki itu bertanya dalam kesendiriannya. Apakah Hana bahagia? Apakah Hana sudah menikah? Yudha mengernyit. Ia tak suka dengan pertanyaan terakhir. Mungkin ia tak akan senang jika Hana benar-benar sudah menikah karena ia mencintai perempuan itu. Tetapi ayolah, sangat besar kemungkinan Hana telah menikah mengingat usianya sudah 27 tahun. Bisa jadi ia sudah memiliki beberapa anak dengan suami yang mencintainya.

Lagi-lagi Yudha menghela napasnya. Beginilah dirinya. Merana sendirian dalam ketidakpastian. Salahkan saja hatinya yang masih menyimpan nama Hana di dalamnya. Mungkin saja dirinya yang terlalu sentimental karena gagal melupakan cinta pertamanya. Yudha bahkan ragu menyebutnya sebagai cinta pertama karena hanya dirinyalah yang mencinta.

Yudha menegakkan tubuhnya. Diliriknya ruang yang ditempatinya. Sepi. Hanya ada helaan napasnya dan jam dinding yang terus berdetik. Sudah pukul 10 malam rupanya. Pantas saja lampu utama ruangan itu sudah padam. Cuma ada lampu di mejanya yang menyala. Dengan gerakan malas lelaki itu membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang.

***

Pintu lift akhirnya terbuka. Yudha masuk ke dalamnya dengan langkah gontai. Sebenarnya ada perasaan malas yang merayapi dirinya saat jam pulang tiba. Ada rasa tak suka bila harus memasuki apartemennya yang sepi. Akan ada sesuatu yang kurang. Nyaris tidak ada alasan baginya untuk pulang selain untuk mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Dulu sekali, ia pernah mengkhayal akan pulang kerja dengan sambutan hangat dari anak dan istri. Namun sekarang rasanya itu terlalu sulit untuk diperoleh. Hatinya seolah tertutup untuk kesempatan lain.

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang