Sudah hampir empat taun aku bersahabat dengan Nunik. Kita bertemu pada saat awal semester baru tepatnya awal masuk kuliah. Saat itu, aku dan Nunik sama-sama satu jurusan. Nunik orangnya ramah, sederhana, dan baik pula. Sejak mengeyam pendidikan di bangku perguruan tinggi, aku dan Nunik tidak begitu lama untuk saling kenal. Kita mudah beradaptasi satu sama lain, dan rasanya kita sudah menjadi teman lama yang bersahabat.
Persahabatan menurutku bagaikan air yang mengalir. Air sudah menjadi sahabat sejati semua makhluk hidup. Tanpa air, manusia, tumbuhan, dan hewan tidak dapat mempertahankan hidupnya, begitu juga dengan sahabat. Sahabat sudah melebihi pacar, bahkan hampir setara dengan keluarga. Hari-hariku di kampus selalu ditemani dengan sahabatku Nunik. Kita saling terbuka dalam berbicara, mencurahkan hati satu sama lain, berbagi kisah, pengetahuan, dan pengalaman. Sedih di atas sedih, bahagia di atas bahagia, bahaya di atas bahaya, tak dapat kita sembunyikan satu sama lain.
Empat tahun sudah berlalu, aku dan Nunik duduk di bangku kuliah bersama-sama, belajar dan bermain bersama, mengerjakan tugas dan ujian bersama, lalu lulus pun bersama-sama walau dengan hasil nilai akademik yang berbeda. Menurut pepatah, kalau ada pertemuan pastilah ada perpisahan. Hal itu benar adanya, dan aku rasa sangat berat meninggalkan suatu perpisahan ini. Apalagi orang yang disayang, yang selalu bersama-sama, menjalani pahit manisnya hidup di tanah perantauan, suka, dan duka dilalui bersama.
Tepatnya pada bulan September lalu, aku dan Nunik meninggalkan kampus, dan kita saling berpisah, bertukar kenang-kenangan, lalu berpulang ke kampung halaman masing-masing sebelum ada panggilan lamaran pekerjaan. Hal itu meninggalkan aroma kesedihan yang mendalam, air mata tampaknya terus mengalir, sepanjang ingatan digenangi kenangan. Di dalam bus ini yang dulu membawaku pergi pulang, dari samping jendela mataku memandang nyalang pada kenangan-kenangan masa lalu, namun mataku remang-remang menerawang jauh ke dunia masa depan.
Hampir sudah setengah jam aku di perjalanan. Pikiranku masih terbayang-bayang dengan sahabatku Nunik. Aku teringat terakhir kali aku dengan Nunik pada saat aku berulang tahun Nunik memberiku sebuah bingkisan, air matanya berkaca-kaca, bibirnya serasa kaku untuk mengucapkan panjang kalimat, ia hanya berucap "Selamat hari lahir Wan. Hari ini adalah harimu, semoga hidupmu lebih berkah dan selalu ada dalam lingdungan Yang Maha Kuasa," bibir Nunik bergetar, matanya berkaca bening, seluruh wajahnya memerah.
Di dalam bis, jantungku berdebar kencang, rasanya aku ingin kembali mengulang masa-masa kuliah dengan dia. Kepalaku berat, dadaku serasa sesak. Sementara kedua kaki ini kaku, aku duduk sendiri, ku tatap dalam-dalam bus yang renggang penumpang, aku tatap lagi keluar jendela, langit menghitam, turunlah gerimis tipis-tipis dari langit.
Jarum jam arolojiku tampak berdetak cantik, lalu di luar sana hujan tak lagi gerimis, hujan membesar bertalu-talu, memukul benda-benda bumi sambil ditemani gemuruh petir yang nyaring. Dari jendela, mataku tak hentinya menerawang keluar tertuju pada sebrang jalanan dengan pepohonan bergoyang menari-nari riang dipermainkan hujan dan angin yang datang bersamaan.
Tubuhku bergetar dan kepalaku rasanya berat sekali. Senja itu, rupanya tiba-tiba ada kepulan-kepulan asap yang menyelinap pada rongga hidung lalu membangunkanku dari lamunan panjang. Sesak dan juga pengap. Ternyata kepulan asap itu berasal dari samping tempat dudukku. Ada seorang laki-laki setengah baya yang berbadan kekar. Ia duduk disampingku memakai kaos hitam dan celana jeans ketat. Kaca matanya berdiri di atas ubun-ubunnya. Seperti seorang preman jalanan. Kutengok samping, rupanya ia sedang asik mengisap rokok. Berkali-kali dan terus sampai sebatang rokok yang terjepit dijari jemarinya habis. Kepulan asapnya membentuk bulatan-bulatan kecil seperti awan. Melayang-layang di udara, aroma rokok yang khas itu menyengat ke sekat-sekat hidung. Sedangkan tangan kirinya menggenggam sebuah minuman botol yang masih utuh.
" Mas tidak minum?" sapanya. Lalu di bukalah tutup botol minuman itu.
"Tidak?"
"Mau pergi kemana?" tanyanya. Lalu direguklah minuman itu. Dihisaplah kembali sebatang rokok yang terjepit disela-sela jari jemarinya.
"Ke arah Majenang," jawabku dingin dan entah mengapa aku merasa enggan berdekatan dengan dia. Mungkin karena bau asap rokoknya.
"Merokok?" tanyanya lagi. Ia mengasongkan beberapa rokok yang masih terbungkus utuh di hadapanku.
"Tidak." Sahutku. Aku mengambil lagi sapu tangan yang terselip di ransel, lalu aku ambil pula air minumku. Aku kibas-kibaskan saputangan itu. Hujan kali ini tidaklah menyuguhkan aroma dingin. Akan tetapi panas yang membara, dahaga yang terlalu dalam dan lega.
Di sepanjang perjalanan, tatapanku tertuju lagi ke luar jendela, senja itu hujan masih belum reda. Gerah menghujam dan dingin menjalar keseluruh tubuh lalu menusuk ke celah-celah tulang dalam balutan daging. Kemudian aku kaget, percikan-percikan air yang turun dari langit membentuk bayang-banyang diri Nunik. Ia terlihat melambai-lambaikan tangannya. Bibirnya tersenyum manis dengan lipstik merah muda yang hampir setiap hari mewarnai dasar bibir mungilnya itu. Lama kelamaan bayang-bayang itu hilang, tak terlihat, kabur, dan lenyap. Aku terkesiap, laki-laki yang ada disampingku mulai cemas. Ia menatapku dan memerhatikanku seperti ada yang aneh.
Aku hiraukan laki-laki itu. Mataku terus menatap keluar dari jendela, air hujan tampaknya membentuk garis-garis besar serupa jari jemari. Di sepanjang jalanan gelap, aku tatap deras air yang turun dari langit. Ada bayang-bayang kontur wajah Nunik sedang berdiri dengan tatapan mata berbinar, bibir mungilnya tersenyum simpul padaku, lalu tangan kanannya dilambaikannya. Aku balas senyuman Nunik, aku balas lambaian tangannya. Terlihat cantik sekali, dari kejauhan bibirnya bergetar seperti sedang mengucapkan kata-kata. Di kaca jendela bayangan Nunik dalam deras air hujan semakin terlihat jelas. Tubuhnya berbalut kain putih, rambutnya terurai panjang dan rapi. Lagi-lagi mulutnya bergetar, seperti sedang berucap. Ah sial! Lama kelamaan jendela kaca bis menguap, mataku remang-remang, bayangan wajah Nunik mulai tak terlihat jelas, aku terus meraba-raba kaca jendela itu, menghapus uap dalam dingin dan menerawang ke luar mencari sosok bayangan Nunik dalam deras air hujan.
Cahaya petir menggelegar, aku sempat tersontak kaget, laki-laki yang berada disampingku menatapku dan tersenyum. Lagi-lagi, Ia menatap aneh pada diriku. Ia terlihat gugup. Saat ini, aku akui, memang ada yang ganjil dengan diriku ini. Sepanjang perjalanan aku menemukan bayang-bayang sosok Nunik. Ia terlihat dalam garis-garis air hujan yang deras. Ah, ini bukanlah mimpi, bayang-banyang diri Nunik membuat pikiranku gila, ada rasa rindu yang mendalam kepadanya, rindu pada masa lalu yang selalu kita lalui bersama.
Di luar sana masih saja hujan deras, dan angin mengguling-gulingkan pepohonan, langit menyajikan awan gelap. Malam tiba, suasana temaram, lampu-lampu sepanjang jalan sesekali padam. Tanganku mengambil lagi sapu tangan dan botol air minum di tas ranselku. Aku usapkan pada kening dan leher yang bercucuran keringat dingin. Luar biasa, hujan malam ini tak seperti gerimis tadi yang membuatku menggigil dingin, hujan kali ini malahan menjadikan tubuhku panas yang merambah pada pikiranku yang cemas. Hatiku berdebar kencang, dadaku seperti ada yang menendang keras, lalu lebam dan berdarah.
Dalam bis sepertinya aku berlari sendiri dalam sepi.Bersamaan hujan yang lebat tak kutemui bayangan wajah-wajah indah Nunik.Embusan angin memeluk tubuhku, langit-langit malam tak lagi mempertemukan kudengan Nunik. Malam itu, hujan telah menerbagkan angan-anganku lalu mengambang mengikuti sebuah cahaya. Bis pun berhenti di terminal sebuah kota. Aku tengok arlojiku tepat menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Di atas sana langit masih menampakkan gumpalan awan gelap. Lampu-lampu menyala, namun sesekali padam. Aku cek ranselku, tiba-tiba alarm ponselku berbunyi, 15 Desember 2015 tepatnya hari ke40 kepergian sahabatku Nunik. Pada subuh yang ranum, aku sadar diri, hari ini adalah hari yang ke-40 kepergian Nunik sahabatku. Dia yang pergi meninggalkan impian, dia yang pergi meninggalkan lembaran kenangan. Selepas turun dari bus kota, mata kakiku melangkah, menuju sebuah hamparan tanah merah. Kutemui dan kubelai batu nisan yang berdiri di atas tanah itu. Terlihat pucat seperti mayat, namun tersimpan namumu, Nunik. Kubelai dan kupeluk batu nisan itu, dadaku serasa sesak, perih pula. Air mataku pun berjatuhan sampai melunturkan tulisan nama yang ada di batu nisan itu. Burung-burung saling bersahutan, garis-garis kabut saling bermunculan, mulut tak bisa diam merapalkan namanya dalam doa tanpa jeda, relung hati pun tak hentinya menyimpan penyesalan. "Sahabatku, Andai kau masih ada di dunia ini, aku akan selalu menemani, bahkan aku rela menjadi teman hidupmu selama-lamanya!" Gumamku dalam hati.***