Luna baru saja selesai menyanyikan lagu si Kancil Mencuri Timun. Anak-anak riuh bertepuk tangan. Aku belum puas melihat anak-anak yang kegirangan. Bagiku, anak-anak memang begitu, dengan apa pun mereka juga akan melakukan hal yang sama, bersorak gembira - tertawa - merasa senang ketika menyukai sesuatu.
Tapi ini memang pertunjukan dongeng yang luar biasa begitu semua wali murid terlihat ikut tertawa dan memahami isi ceritanya. Hebat, Lun... kegugupan yang tidak sia-sia, batinku.
Seusai acara nanti aku ingin menanyakan mengapa dalam lagu si Kancil hanya terisi dengan 12 kata yang diulang-ulang.
Luna, gadis cengeng yang bukan pada umumnya. Dia tetap merasa benar meski kesalahannya sedang ia tangisi. Aku kadang bingung, bagaimana caraku menyimpan rasa keinginan untuk tertawa yang begitu hebat. Tapi, aku senang melihat wajahnya saat hidungnya memerah dan sesekali memintaku untuk mengambilkan tisu.
Iya, itu salah satu peristiwa yang sering aku dan Luna alami bersama. Menjadi kelompok kepanitiaan.
Tinggal di asrama mengukir kenangan dalam lembaran-lembaran makalah adalah hal yang membuat kami muntah kekenyangan. Jengah, kami putar otak menghitung berapa banyak hal yang sesuai dengan hobi kami, SIBUK. Kami berdua menyukai kesibukan. Siapa yang tidak menyukainya? Mempunyai kegiatan yang terjadwal, mengisi waktu dengan hal yang berisi, membawa tawa pada lawan bicara, atau menuangkan keahlian yang dimiliki dan tentunya itu sebuah nilai yang berharga.
Rambutnya sebawah bahu yang lurus dan bergelombang di ujungnya selalu tertutup helai kain. Tadi pagi dia hampir saja mengajakku berkelahi di luar area pertandingan pencak silat. Begitulah, selonggar apa pun waktu yang telah ia persiapkan selalu saja ada hal yang tertinggal. Dia menghempasku lalu menaikkan kasur demi rasa penasarannya "Brosku di mana?"
Hari ini bros itu tidak menggelinding jauh dari alam pikirnya, dia sematkan sore sehari sebelumnya benda itu di depan kaca. Aku tertawa melihat setiap kali melihat benda itu. Luna tak pernah terlihat kusut. Dia rela terlambat, asalkan pakaian yang ia kenakan telah selesai diseterika. Aku sering jengkel, mendengus lalu dia tersadar dan berkata "eh? Duluan saja" dan itu selalu ia katakan pada saat sudah terlambat.
....
Danau buatan itu semakin mengkilap. Titik-titik kilaunya membuat indah di siang yang terik. Luna sibuk menghalau anak-anak yang berebut hadiah. Menenangkan tangisan yang merasa dunia begitu tak adil, menjelaskan bahwa juara satu dan juara tiga adalah hal yang berbeda.
Aku merapikan peralatan layar panggung, menggulang kabel sepanjang lima meter sambil terbahak menyaksikan wajah Luna.
Usai tangisan anak-anak dan kegaduhan itu sirna, kami menyudut berdua di tepian danau buatan berteduh pada sepohon kersen di sana. Menghabiskan es potong, wajah masam Luna dan aku yang menertawakannya.