Prolog - Konfrontasi

48 1 0
                                    

Rintik hujan tak berhenti menutup pemandangan dibawah remang langit abu yang membayang. Hijau daun semak dan pohon yang mengelilingi terhalang oleh tirai tebal air yang turun. Menyegarkan, jika bisa dibilang. Setidaknya lebih menyegarkan dibanding hujan yang turun di dunia lama. Untuk mengatakan bahwa ini adalah berkah dunia merupakan suatu kepahaman yang tidak perlu diucapkan, walaupun ia sendiri belum terbiasa dengan siklus alam yang masih suci ini. Beruntung, jika kurang lebihnya bisa dideskripsikan, dapat merasakan tetesan air yang tidak ternodai dengan kulit terbuka diantara pergelangan tangan, dan mendengar nada halus suara gerimis hujan yang menyentuh tanah terbuka, bagaikan hipnotis dari simponi alam untuk membuat mata tertutup dengan pulasnya hingga tertidur. Suara daun-daun yang berasal dari pohon dan semak juga tidak kalah merdunya, membawa iringan nada yang meramaikan berkah ini.

Terkadang nyanyian tersebut disela olah raungan petir yang menyinari langit selama beberapa detik dengan kilatannya, memperlihatkan lumpur yang terbentuk oleh hujan, pucuk pohon, dan langit yang masih menutupi. Pemandangan dua puncak gunung dapat terlihat dalam bentuk siluet-siluet segitiga hitam dengan bantuan kilatan petir, namun setelahnya kembali tertutupi oleh tirai air. Sedikit yang dapat dilihat dengan jarak pandang seperti ini, seperti bukit dan sawah yang dibentuk secara terasering, terlebih lagi pada waktu dimana cahaya langit mulai menghilang diantara dua gunung tersebut. Tetapi ada suatu anomali yang tersingkap setiap kali hamparan petir menyambar. Dari jarak sejauh ini akan sangat susah untuk dilihat dengan mata telanjang, namun ia dapat melihat dengan jelas bayang-bayang samar seperti benang tebal dilangit yang berterbangan ke arahnya dari kanan dua gunung tersebut.

Perlahan ia menancapkan teropong besar yang ia gendong pada kaki-kakinya. Cipratan lumpur yang meloncat menghiasi kamuflase dari celana hijau yang ia pakai, diikuti oleh suara "klik" yang dikeluarkan oleh gesekan kenop yang terbuka. Jemarinya berlarian pada badan teropong untuk memeriksa kondisi fisik sebelum teropong dihidupkan. Beberapa sosok yang berada di pinggiran pohon sesekali melihat dirinya, memberikan pandangan yang dipenuhi rasa penasaran, sebelum memutar kembali kepala mereka kedalam hutan yang mengelilingi.

Menggunakan mode inframerah, siluet-siluet tersebut dapat dilihat secara jelas dibawah remangnya langit seperti secerah siang hari. Bayang-bayang monokrom tergantikan oleh sisik-sisik berwarna biru muda dan tua dari sosok-sosok tersebut, bahkan binar-binar kuning logam mulia yang memeluk leher mereka dapat tertangkap oleh mata. Perlahan, bentuk dan ukuran mereka tampak membesar di layar teropong dengan gerakan-gerakan menggeliat yang kuat yang mencambuk udara.

Naga.

"Lalantika 1, disini Banra Prima, apakah kamu melihat objek di 306o barat, 17 klik*, elevasi 2000?"

"Lalantika 1, diterima 306o."

Dalam sepersekian detik, pucuk meriam mengarah ke posisi di langit dalam gerakan rotasi cepat yang membelah rintik-rintik air di udara, disertai dengan suara elektrik dan gesekan kubah yang nyaris tak terdengar.

"Lalantika 1, siaga menembak, PFF*, konfontasi di 14 klik, 46 dak*. Sasar objek kecil."

"Lalantika 1, diterima."

Suara transmisi radio mengakhiri perintah kepada panser disamping kanannya, yang kembali ditutupi oleh sunyi rintik hujan yang mengelilingi. Jemari tangan kirinya menangkap selang plastik yang menyangkut di leher, kemudian diarahkan ke bibirnya untuk membasahi tenggorokan yang telah lama mengering. Matanya masih melekat di corong teleskop, mengawasi area pandang sembari ujung jari tangan kanannya perlahan-lahan menekan perbesaran mikro untuk melihat secara detail anatomi dari kelompok naga tersebut. Ada yang salah, pikirnya, ada sesuatu yang salah pada kelompok yang bergerak menuju mereka.

Melalui layar teropong, ia dapat melihat sembilan belas naga yang dapat diidentifikasi secara visual, walaupun jarak yang terbaca pada layar teropong menunjukkan nilai 18 kilometer. Kebanyakan sosok yang menggeliat cepat dilangit berukuran lebih kecil dibandingkan dengan naga lain yang mengikuti, walaupun pada umumnya naga-naga tersebut memiliki kepala sebesar manusia dewasa. Naga-naga kecil tersebut dikalungi oleh rantai emas dengan jimat-jimat berbentuk kotak yang mengayun. Sedangkan ketiga naga lainnya, yang berada dibelakang mereka, memiliki mahkota besar di kepala dengan ikatan yang melewati mulut dan leher Sedangkan kalung yang dihiasi intan dan berlian raksasa yang memancarkan pantulan kilatan petir yang sesekali menyambar langit. Naga-naga ini berukuran lima sampai enam kali lebih besar dari naga-naga yang memimpin, dengan mata yang bahkan dapat dilihat secara jelas berwarna biru cerah yang memancarkan amarah yang terpendam pada tatapannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 23, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dunia Baru: Rumah Di Lengkung PelangiWhere stories live. Discover now