Seekor burung merpati hinggap di sebuah lampu jalan. Memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di tengah kesibukan kota. Matahari perlahan beranjak ke ufuk barat, menyisakan teriakan gusar oleh mereka yang terlambat memulai hari. Tetapi tidak satu pun yang peduli. Semua orang punya destinasi masing-masing. Tidak menyadari bahwa dunia yang fana ini hanya sementara.
Secangkir cappuccino yang telah terhidang sejak dua jam yang lalu telah kandas. Menyisakan aroma kenangan yang begitu saja hinggap di pikiran. Membuat pilu hatinya. Keindahan sunset yang terhidang di jendela kaca sisi kirinya pun tidak dihiraukannya. Pikirannya sibuk berkelana di dalam kubangan masa lalu yang begitu sesak.
Ia tidak menyadarinya. Cafe ini sudah sepi, tidak ada lagi pengunjung yang datang sekedar untuk menikmati layanan internet gratis. Hanya menatap kosong meja di depannya yang seperti memutar memori masa lalunya.
"Maaf, Mas. Cafenya sudah tutup." Seorang barista yang memakai kacamata dengan bingkai warna hitam dan topi putih dengan rambut diikat kuda datang menghampirinya. Ia memandangnya sebentar lalu kembali membuang muka ke arah meja. "Kami sudah tutup, Mas, mohon kesadarannya untuk pergi." tegas barista itu sekali lagi.
"5 menit lagi, aku sedang menunggu seseorang." jawabnya dengan tetap memandangi meja.
"Maaf, Mas, tidak bisa. Kami harus segera pulang."
Ia bergeming. Tak menjawab. Tetap memandang kosong ke arah meja. Membuat barista itu tidak sabar, lalu beranjak pergi. 'Baiklah, hanya 5 menit,' pikirnya.
Pikirannya kalut, tidak bisa berpikir jernih. Terlalu enggan untuk menyadari bahwa tidak ada yang akan berubah jika ia terus begini. Ia menyesal telah mendewakan egonya dan tidak menempatkan hati di ruang utama.
Barista itu kembali lagi, "Maaf, Mas, waktunya sudah habis."
"Ini bahkan belum dua menit," ucapnya, kemudian menoleh ke arah suara.
Ia terdiam. Membisu. Senang dan bingung pada waktu bersamaan. Lihatlah, seseorang yang sudah lama ditunggunya kini berdiri didepannya dan menatapnya datar.
Laki-laki itu bangkit. Berusaha menemukan kebenaran di setiap lekuk wajah sang barista. Penampilannya sudah berubah. Kacamata bingkai hitam dan topi putih yang sebelumnya menghiasi wajahnya telah ditanggalkannya. Rambut panjangnya terurai memerlihatkan kecantikan alami dari wajahnya.
"Kamu." Suara lelaki itu getir.
"Kamu bahkan tidak mengenaliku," ucap sang barista. Lelaki itu diam. Seluruh inderanya seakan lumpuh oleh sengatan magis yang diciptakan oleh tatapan datar wanita itu. Rasa bersalahnya kian membesar ketika ia menatap lekat kedua bola mata coklatnya.
"Berapa lama lagi kamu harus datang ke sini setiap sore? Tidak ada gunanya. Aku sudah tidak memercayaimu lagi." ucap wanita itu. "Katakan apa yang ingin kamu katakan. Setelah itu kamu jangan mencariku lagi."
Hening. Atmosfer ruangan berubah drastis. Selama beberapa waktu tidak ada yang terjadi. Hanya deru napas masing-masing yang memainkan irama sendu. "Tidak ada yang bisa kamu katakan. Kalau begitu pergilah. Aku..." ucapan wanita itu terpotong oleh suara bariton lelaki itu.
"Aku masih mencintaimu."
"Berapa kali aku harus mengatakan, aku juga mencintaimu." Setetes air mata mengalir dari mata indah wanita itu. "Tapi itu tidak berarti apa-apa lagi sekarang. Semua sudah berubah. Aku bukan lagi orang yang kamu kenal, begitu juga kamu. Kenapa kamu tidak mau mengerti?" Ia sudah menduga pembicaraan ini akan menguras emosinya. Tetapi ia tidak bisa menundanya lebih lama lagi. Cerita ini harus ada endingnya.
***
TO BE CONTINUED
Give comments please :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Rose
Teen Fiction"I need you to complete me, but somehow she needs you more." August, 2019