(12)

3.7K 328 9
                                    

"Kakak bisa jelasin semuanya, kamu dengerin dulu." Walaupun Juna keliatan marah banget sekarang tapi gue tetap mau ngasih dia penjelasan.

"Jelasin apa? Gue nggak butuh penjelasan apapun, gue udah denger semuanya, bener-bener ya, gimana bisa lo ngomong kaya tadi, lo nggak mikirin Mas Zian sama sekali?" Gue cukup tersentak dengan cara bicara Jun sekarang, gue tahu dia marah tapi gue nggak nyangka kalau dia juga bisa ngomong kaya gini.

"Jawab! Lo nggak mikirin Mas gue gimana? Jahat banget lo jadi perempuan, gue beneran salah nilai." Oke, gue nyerah, gue nggak berharap banyak lagi setelah Jun ngomong begini.

"Heum, Kakak yang salah." Gue memang salah, nggak bisa gue pungkiri juga.

"Juna! Lo bisa dengerin Rana ngomong dulukan? Lo pikir cuma Mas Zian doang yang sakit? Posisi Rana juga nggak gampang." Fara maju dan berdiri tepat dihadapan Juna, senyum sinis Juna semakin terlihat jelas dan saat ini gue makin sadar, apapun penjelasannya percuma.

"Fara! Udahlah, Juna bener, gue memang salah, nggak harus a_"

"Ya memang lo salah tapi apa dia pikir Masnya itu udah paling bener? Lo kaya gini juga punya andil mereka berdua." Fara bahkan ikut emosi sekarang, walaupun suasana masih sepi tapi beberapa pelanggan yang baru aja masuk cukup kaget mendengarkan perdebatan kita bertiga.

"Fa! Malu diliatin orang, udahlah." Gue narik lengan Fara untuk mundur, nggak usah diterusin.

"Apa sih Ran? Ni orang harus dikasih tahu, jangan cuma karena masalah kaya gini, dia jadi ngebentak-bentak lo di depan umum, gue nggak terima, sok iya banget hidupnya." Genggaman tangan gue dilepas gitu aja.

"Denger ya Jun, lo itu jangan cuma mikirin perasaan Mas lo doang, perasaan Rana gimana? Gampang banget lo marah-marah." Suara Fara terdengar jauh lebih tenang.

"Sekarang gue tanya, alasan lo semarah sekarang apa? Lo marah karena Rana nolak Mas lo atau lo marah karena Rana suka sama lo?" Dan gue rasa udah beneran cukup, nggak ada gunanya nanya hal kaya gini, gue udah cukup sadar diri.

"Sekarang kenapa diem? Lo ngatain Rana gilakan? Lo juga sama gilanya, lo nggak sadar gimana gilanya lo disaat setuju balikan sama Si Dewi? Rana dengerin nggak penjelasan lo waktu itu? Dengerinkan? Nah sekarang lo gimana? Langsung berubah sikap seolah kesalahan Rana udah nggak ada jalan keluarnya."

"Ck! Umur memang nggak bisa nipu, egois lo lebih parah dari Rana, sikap baik lo palsu semua." Fara mengusap kasar wajahnya dan gue tertunduk pasrah nggak berani natap Juna sama sekali.

"Ayo pulang." Ajak gue tapi Fara nolak.

"Apaan? Gue belum makan, lagian kenapa kita harus pergi? Gue laper jadi lo silahkan duduk lagi, temenin gue makan." Fara nepuk pelan bahu gue dan mendudukkan gue balik di tempat semula.

"Lo masih berdiri disini ngapain? Belum puas lo ngebantak-bentak Rana?" Gue mendengarkan ucapan Fara masih dengan sikap yang tadi, nggak berani natap Juna sama sekali.

"Ikut aku." Tanpa banyak tanya, Juna ngambil tas dan narik lengan gue untuk bangkit, Juna bahkan narik gue keluar tanpa peduli teriakan Fara.

"Lepasin." Cicit gue mencoba melepaskan genggaman Juna tapi nggak ada respon sama sekali.

"Lepasin! Kamu denger nggak Kakak ngomong apa?" Ulang gue masih mencoba melepaskan diri.

"Juna! Sakit." Dan Juna melepaskan genggamannya.

"Masuk!" Sadar dengan sikap Juna sekarang, gue memilih diam dan menuruti mau Juna tanpa banyak tanya, gue masuk ke mobilnya dan duduk dalam diam.

"Kenapa nolak permintaan Mas Zian untuk mempercepat pernikahannya?" Gue nggak memberikan jawaban apapun.

"Aku tanya kenapa? Bukannya tadi mau ngasih penjelasan?" Juna mengingatkan.

"Dan tadi ada yang ngomong kalau nggak butuh penjelasan apapun? Sekarang kenapa nanya? Udah denger semua jugakan? Butuh penjelasan untuk apalagi?" Jawab gue dingin, kalau harus jujur, gue sedikit kecewa dengan sikap Juna tadi.

Disaat Juna ngelakuin kesalahan, gue akan bersabar lebih dulu, andai katapun gue marah, gue nggak akan melampiaskan kemarahan gue di depan orang lain kaya tadi, gue berusaha menjaga harga diri Juna, dia udah dewasa dan tahu malu itu gimana.

Tapi yang Juna lakuin ke gue tadi beneran nggak gue sangka, karena dia kecewa, dia marah, dia melampiaskan semuanya gitu aja tanpa peduli tempat dan mikirin nasib gue, terlepas dari gue salah atau enggak tetap aja di bentak di depan umum jelas nggak enak.

"Bagi kamu, Kakak cuma seorang calon Kakak Iparkan? Kalau Kakak ngecewain Mas kamu, kamu nggak akan peduli alasannya apa, tetap Kakak yang salah, jadi sikap baik kamu cuma karena menganggap Kakak sebagai calon istri Mas kamu doang." Ini kenyataannya tapi selama ini gue yang berharap lebih.

Gue pikir, Juna beneran menganggap gue keluarga, gue pikir, Juna beneran peduli sama gue, seandainya gue sama Mas Zian punya masalah, dia akan adil dan berada ditengah, dia akan nanya alasannya apa bukan langsung marah kaya tadi, ternyata Juna nggak mikir kaya gitu sama sekali, gue yang terlalu berharap.

"Aku minta maaf." Cicit Juna terlihat mulai nggak enak sama gue tapi tetap aja, permintaan maaf Jun nggak akan memperbaiki keadaan, gue juga nggak berhak marah karena gue sadar, gue memang bersalah.

"Kakak memang salah, Kakak ngecewain Mas Zian dan kamu berhak marah, gimanapun Mas Zian keluarga kamu, nggak papa, soal Fara, Kakak yang minta maaf, omongan Fara jangan terlalu kamu ambil hati juga, dia memang kaya gitu kalau lagi emosi, tar juga baik sendiri." Gue memaksakan senyuman gue sekarang, walaupun nggak natap Juna tapi gue juga nggak berhak marah.

"Kakak yang sekarang lagi marah sama aku." Ucapan Juna yang membuat senyuman gue juga menghilang seketika.

"Kakak nggak punya hak untuk marah dan andai katapun Kakak marah, kamu nggak harus peduli, Kakak bukan keluarga kamu." Juna cuma perlu mikirin Mas Zian, gue ngecewain Mas Zian dan gue memang harus siap dengan akibatnya, sekarang baru Juna yang tahu, kalau orang tuanya Mas Zian tahu dan keluarga gue juga tahu, gue nggak bisa ngebayangin bakalan kaya apa.

"Aku tahu aku salah, aku juga tahu kalau Kakak bukan keluarga aku tapi tetap aja nggak nyaman." Gue nggak tahu ekspresi Juna sskarang gimana tapi yang jelas, Juna mulai menggepalkan jemarinya kuat.

"Kamu harus nggak nyaman kenapa? Kakak yang salah, wajar kamu bersikap kaya tadi." Kalau gue ada diposisi Juna, gue juga bakalan bersikap kaya gitu, bahkan mungkin lebih.

"Aku nggak tahu kalau ucapan aku bakalan nyakitin Kakak sampai kaya gitu, aku minta maaf." Gue mengangguk pelan, mudah memberikan maaf tapi gue belum lupa dengan ucapan dan tatapan Juna tadi.

"Tapi Kak, aku beneran nggak bisa, aku cuma cinta sama Dewi dan sampai kapanpun akan begitu." Lanjut Juna mencoba ngasih tahu gue ulang padahal tanpa dia ngomongpun gue sadar sama hal ini, gue nggak berharap apapun.

"Kakak juga jangan mikir ulang soal pernikahan apalagi sampai ninggalin Mas Zian, aku yakin Mas Zian pasti jadi suami yang baik untuk Kakak nanti." Gue tahu tapi gue juga punya pilihan gue sendiri.

"Jun, Kakak terima ucapan kamu dan memang soal Dewi, itu hak kamu, Kakak nggak akan ikut campur tapi soal Mas Zian, itu hak Kakak, kamu nggak perlu khawatir tentang apapun." Bertahan atau enggak, gue akan bersikap sesuai hati gue sendiri.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang