"Kak, ASI-ku enggak keluar. Ini gimana? Mana Ara, Ari, sama Arum kompak banget nangisnya."
Lengkap sudah penderitaan Arkan. Semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyaman karena ketiga anaknya kompak menangis, mencipta harmoni yang memekakan telinga. Lanjut main remi dengan Arlan dan beberapa orang yang datang menjenguk. Lalu sekarang ikut stres karena mereka tidak menerima ASI yang cukup dari Zee. "Lah? Kok bisa? Gimana dong? Coba aku telepon Elena sebentar. Siapa tahu dia ngerti yang begini."
Arlan dan Elena memang menikah lebih dulu. Arkan baru menyusul satu tahun kemudian. Begitu pula dengan keturunan. Jika Arlan langsung dikaruniai seorang putra, Arkan harus menunggu hingga lima tahun. Beruntungnya setelah penantian panjang, ia dianugerahi tiga anak sekaligus. Aradea, Arian, dan Arumi.
Arkan mengambil benda pipih yang tergeletak di atas meja rias istrinya, lalu menghubungi seseorang.
Sementara Zee masih menimang Arian yang memang paling rewel di antara ketiganya. Sesekali ia terkekeh mendengarkan bagaimana sang suami berinteraksi dengan Elena via sambungan telepon.
"Pijat-pijat katanya," kata Arkan sembari menoleh menatap istrinya.
"Udah. Tapi, tetap aja."
Lelaki itu menghela napas. "Enggak bisa katanya, El. Gimana lagi kira-kira? Lo ke sini dong. Kalau sesama cewek, kan, ngobrolnya lebih enak."
"Gue enggak bisa. Arlan lagi enggak enak badan. Ini juga gara-gara lo, ya, Ar, suami gue diajak main remi semalaman."
Arkan berdecak mendengar perempuan itu mengomel, tetapi diam-diam mengiyakan.
"Coba kasih handphone-nya sama Zee. Biar ngobrol langsung aja."
Segera saja ia menyerahkan ponsel itu pada sang istri, kemudian beralih menggendong Arian yang semula ditimang Zee. Untunglah Aradea mulai diam, Arumi pun tampak mulai kelelahan menangis, berganti terkantuk-kantuk. Jadi, Arkan bisa fokus pada Arian saja. "Jagoan Papi kenapa sih? Kok rewel terus, hm?"
Arian tentu saja tidak mengerti apa yang dikatakan ayahnya. Bayi itu justru menangis semakin keras. Takut akan membuat Aradea dan Aruna turut menangis lagi, akhirnya Arkan membawa Arian keluar kamar. Barangkali putranya yang satu itu memang membutuhkan udara segar.
|Ari, Arumi, Ara|
"Ari bobo, oh ... Ari bobo. Kalau tidak bobo digigit Erland."
Arkan terbahak setelahnya. Dulu, setiap kali dimarahi oleh Arlan atau Elena, Erland sering sekali kabur ke rumahnya. Namun, semenjak Ara, Ari, dan Arum ada, anak itu ikut ngambek padanya dan jarang datang. Erland itu tidak suka anak kecil. Begitulah jadinya.
"Ari, tahu enggak? Dulu Papi sama Mami hampir putus asa karena Allah enggak juga kasih kami keturunan. Padahal, pernikahan Papi sama Mami udah hampir lima tahun. Tapi, alhamdulillah setelah berjuang lagi ... lagi ... dan lagi, lahirlah kalian bertiga. Ari harus janji, ya, bakal jagain Ara sama Arum sama kayak Papi jagain Om Arlan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkan
Short StoryHai, pernahkah kalian membaca kisahnya? Tentang seorang kakak yang berkorban hingga bertaruh nyawa. Pergi dengan langkah tegas dan tergesa Mencetak luka di hati mereka yang menyayanginya Hai, pernahkah kalian membaca kisahnya? Tentang seorang anak l...