Kesedihan

57 7 2
                                    

Hari ini adalah hari Senin, hari yang biasanya paling malas untuk memulai aktivitas. Dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB, tapi sepertinya sang surya enggan untuk mengeluarkan sinarnya.

Tak biasanya jam segini awan masih gelap dan udara yang masih dingin, secara perlahan-lahan, turunlah gemercik air untuk membasahi bumi ini. Suaranya begitu merdu saat jatuh ke tanah layaknya sebuah lagu penghantar tidur.

Sementara seorang gadis masih berkelut dalam selimut tebalnya. Cuaca yang dingin membuatnya enggan untuk bangun dari tempat tidur. Untung saja ada yang membangunkannya, coba aja kalau nggak ada, bisa-bisa kebablasan.

"Neng, bangun atuh. Ini teh udah siang." Kata si Mbok Mira membangunkan anak majikannya.

"Hoaaammmm... Ini jam berapa mbok?"

"Udah jam 06.00."

"Astaghfirullah. Untung aja mbok bangunin aku, kalau nggak bisa terlambat nanti. Makasih banyak mbok."

"Sama-sama neng, tapi neng tadi sholat Subuh nggak?" Tanyanya sambil memegang kepala Dina. "Neng, badan kamu anget, kamu demam ya? Kok nggak bilang sama mbok?" Kata si Mbok sambil memberikan rentetan pertanyaan.

"Mbok tenang aja, Dina tadi sholat kok tapi lanjut tidur lagi karena ngantuk berat. Dina nggak demam, cuma meriang aja kok mbok. Palingan minum obat langsung sembuh, mbok tenang aja. Udah ya Dina mau mandi dulu." Jawabnya sambil mencium pipi Mbok Mira.

"Jangan mandi atuh, raup aja. Udara diluar juga dingin, nanti yang ada neng kedinginan." Kata si Mbok yang dijawab acungan jempol yang berarti 'iya'

Seperti itulah yang dirasakan oleh Dina setiap hari, bangun tidur bukannya ketemu orang tua tapi ketemu sama si mbok kesayangannya. Terkadang Dina merasa bahwa dirinya sangatlah egois. Dia selalu dekat dengan mbok, sedangkan anaknya si Mbok yang ada di kampung selalu merindukannya.

Pernah saat itu Dina membujuk Mbok Mira untuk pulang ke kampung, tapi tanggapan yang diberikan selalu sama.

"Nggak papa neng, mbok disini juga cari uang untuk anaknya mbok. Lain kali aja mbok pulang. Kalau mbok pulang, nanti neng yang cantik ini rindu lagi."

Sekarang Dina sedang sarapan sendiri di meja makan yang bisa dikatakan sangatlah luas. Baginya percuma saja punya rumah megah bak istana barbie tapi isinya hanya beberapa orang. Sungguh hal yang sia-sia.

Badannya saja yang ada di meja makan, sedangkan pikirannya berkelana entah kemana. Memikirkan apakah kehidupannya akan selalu seperti ini? Bahkan sarapannya pun hanya diaduk-aduk tanpa ada niat untuk memakannya. Melihat hal ini membuat Mbok Mira menghampirinya.

"Neng kenapa bengong aja? Terus mbok liatin dari tadi sarapannya cuma diaduk-aduk aja, nggak enak ya? Neng kenapa? Cerita sama mbok." Ucapnya.

"Dina sedih mbok, dari hari ke hari kayak gini terus. Dina serasa hidup di kota orang lain, apa-apa serba sendiri, tidur sendiri, makan sendiri, mau curhat juga sendiri. Dina yang nanya, tapi Dina juga yang harus jawab. Lucu ya mbok." Ungkap Dina sambil menarik nafas panjang seperti ingin menyampaikan sesuatu lagi.

"Dina nggak kuat nampung beban sendirian mbok. Kalau seperti ini lebih baik Dina nggak usah dilahirkan ke dunia ini, ada atau tidak adanya Dina sepertinya tidak akan berpengaruh sama ayah dan bunda. Kadang Dina iri saat lihat teman-teman ngepost foto sama keluarganya, jalan-jalan bersama. Tapi Dina sadar, semua itu mustahil bagi Dina. Boro-boro untuk liburan, kumpul aja nggak pernah mbok. Saat kumpul ayah dan bunda malah berantem." Sambung Dina dengan air mata yang telah bercucuran dari sudut matanya.

Akhirnya runtuh juga pertahanannya selama ini, rasa yang selalu ia pendam seorang diri. Mendengar sebuah pernyataan dari anak majikannya, membuat si mbok langsung memeluknya.

"Sungguh malang nasibmu nak, tapi mbok yakin kamu pasti tegar menghadapi masalah ini." Batin Mbok Mira.

Mendapat perlakuan seperti itu membuat Dina mengeratkan pelukannya, beranggapan bahwa orang yang ia peluk adalah bundanya.

"Neng nggak boleh ngomong kayak gitu, ini semua udah garisan tangan, udah takdir Neng Dina. Ini juga ujian yang diberikan oleh Sang Pencipta, seberapa besar neng untuk menghadapinya. Allah SWT. tidak akan memberikan ujian diatas kemampuan umatnya. Neng harus terus berdoa, bermunajat kepada-Nya. Neng nggak sendirian kok, masih ada mbok, Pak Ujang, dan Pak joko yang selalu ada disisi neng. Neng boleh anggap kami bertiga orang tua neng jugo kok." Kata Mbok Mira sambil menenangkan Dina.

"Terima kasih mbok. Dina nggak habis pikir kalau kalian nggak ada kalian? Mungkin Dina nggak akan sekuat dan setegar ini." Ujar Dina sambil mengelap cairan bening yang keluar dari lubang hidungnya.

"Aduhhh, mbok akui kalau neng itu cantik. Tapi sayang kok jorok sih. Kalau mau ngelap ingus itu mbok yah pakai tisu, jangan pakai tangan." Kata si Mbok sambil mengelap ingus Dina dengan tisu. "Udah ya, jangan nangis. Entar cantiknya luntur."

"Mbok bisa aja, udah ya Dina mau berangkat sekolah dulu."

Namun belum sampai mereka keluar, datanglah Pak Ujang yang notabennya sopir yang biasanya nganter Dina kemana-mana.

"Neng sebelumnya saya minta maaf, mobil yang biasa dipakai mesinnya nggak bisa hidup. Kalau kita naik motor aja keberatan nggak Neng Dina?" Kata Pak Ujang.

"Keberatan? Pak Ujang kan nggak gendong Dina hehehe. Pak Ujang tenang aja, Dina nggak gengsi kok kalau naik motor. Ya udah kita langsung berangkat aja."

"Neng saya cariin jas hujan dulu ya biar neng nggak kedinginan." Ujar Mbok Mira, namun baru satu langkah berjalan. Tangan si mbok udah dicekal duluan sama Dina.

"Nggak usah mbok, lagian ujannya juga udah reda dikit. Dina langsung berangkat ya mbok, Assalamualaikum mbok." Ucapnya sambil mencium tangan si mbok.

"Waalaikumusalam neng. Pak Ujang bawa motornya pelan-pelan aja, jalanan licin rawan kecelakaan." Kata si Mbok memperingati Pak Ujang dan dibalas anggukan yang berarti 'iya'

Alhamdulillah bagian pertama udah kelar, semoga kalian suka ya. Don't forget to like and comment guys.
Peluk dan cium dari author

I'm FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang