Tzuyu Curhat ke Jihyo: Beban yang Terucapkan
Setelah memilih I.N di taman dan memulai langkah baru dengannya, Tzuyu merasa ada beban yang tak kunjung hilang dari hatinya. Meski dia menemukan ketenangan bersama I.N, bayang-bayang Yugyeom—jaketnya, senyumnya, dan luka di matanya saat dia pergi—terus menghantuinya. Dia tahu dia harus bicara pada seseorang, dan Jihyo—senior di jurusan Sastra yang dikenal sebagai pendengar setia dan sahabat yang bijaksana—adalah satu-satunya orang yang dia percaya.
Pertemuan di Kafe Kampus
Suatu sore, Tzuyu mengajak Jihyo bertemu di kafe kecil dekat kampus. Meja kayu di sudut jadi tempat mereka duduk, secangkir teh hangat di depan Tzuyu dan latte di tangan Jihyo. Tzuyu menatap uap yang naik dari tehnya, tangannya gemetar sedikit. "Jihyo… aku nggak tahu aku bener apa nggak," katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin kopi di belakang.
Jihyo menatapnya dengan mata lembut, alisnya sedikit berkerut. "Apa yang bikin kamu ragu, Tzu? Kamu pilih I.N, kan? Aku lihat kalian bareng di taman kemarin—dia keliatan bahagia," tanyanya, nadanya penuh perhatian. Tzuyu mengangguk, tapi matanya berkaca-kaca. "I.N baik… dia bikin aku ngerasa tenang. Tapi aku nggak bisa lupain Yugyeom. Aku lihat dia di lapangan kemarin—dia main sendirian, Jihyo. Dia keliatan… kosong. Aku takut aku nyakitin dia terlalu dalam."
Jihyo mendengarkan dalam diam, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Tzuyu. "Kamu nggak bisa nyenengin semua orang, Tzu. Kamu pilih I.N karena itu yang kamu butuhin, bukan karena Yugyeom nggak cukup. Dia kuat—dia bakal bangkit," katanya, suaranya tegas tapi penuh empati. Tzuyu menunduk, air mata kecil jatuh ke meja. "Tapi aku ngerasa bersalah… aku suka Yugyeom, Jihyo. Aku suka dia banget. Tapi aku nggak bisa sama dia—aku takut aku bakal kehilangan diri aku kalo aku pilih dia."
Curahan Hati yang Dalam
Tzuyu menarik napas dalam, lalu melanjutkan. "I.N… dia sederhana. Dia nyanyi buat aku, dia ajarin aku gitar, dia bikin aku ngerasa aku cukup apa adanya. Tapi Yugyeom… dia bikin aku ngerasa hidup—dia berdiri di hujan buat aku, dia kasih aku gelang, dia bilang dia bakal nunggu aku berapa lama pun. Aku nggak tahu kalo aku bikin pilihan yang bener, Jihyo. Aku takut I.N cuma pelarian, aku takut aku bohong sama diri aku sendiri."
Jihyo tersenyum kecil, "Tzu, cinta nggak pernah gampang. Kamu pilih I.N bukan karena dia pelarian—kamu pilih dia karena dia bawa sesuatu yang kamu cari: ketenangan. Yugyeom kasih kamu api, tapi kadang api bisa bakar kalo terlalu deket. Kamu nggak salah—kamu cuma manusia." Tzuyu menatap Jihyo, air matanya berhenti, tapi dadanya masih sesak. "Aku harap Yugyeom maafin aku… aku harap dia bahagia," bisiknya, dan Jihyo mengangguk, "Dia bakal, Tzu. Kasih dia waktu."
Pertemuan itu tak menyelesaikan semua keraguan Tzuyu, tapi curhat ke Jihyo memberinya sedikit kelegaan—cara untuk melepaskan beban yang selama ini dia pendam. Dia pulang dengan langkah lebih ringan, tapi di dalam hati, dia tahu dia harus bicara pada Yugyeom suatu hari—untuk menutup babak itu dengan damai.
Yuna Hampir Tertabrak Mobil, Diselamatkan I.N, dan I.N Masuk Rumah Sakit
Sementara Tzuyu mencari jawaban dalam curhatannya, Yuna sedang berjalan di dunia kecilnya sendiri—mencoba bangkit dari patah hati dan menemukan kembali cahayanya. Tapi satu kejadian tak terduga mengguncang hidupnya, membawa I.N kembali ke dalam ceritanya dengan cara yang dramatis.
Insiden di Jalan Kampus
Malam itu hujan turun deras, jalanan kampus licin dan sepi. Yuna berjalan pulang dari klub desain, buku sketsanya dipeluk erat di dadanya, pikirannya melayang ke sketsa baru yang dia buat—pemandangan taman yang jadi simbol pemulihannya. Dia tak notice lampu merah di perempatan dekat gerbang kampus sudah menyala, dan sebuah mobil melaju kencang dari arah samping, klaksonnya menggema terlambat.
"Yuna!" Teriakan itu datang dari I.N, yang kebetulan lelet jalannya dari studio musik, gitar di pundaknya basah karena hujan. Dia melihat Yuna melangkah ke jalan tanpa sadar, dan tanpa pikir panjang, dia berlari—mendorong Yuna ke sisi trotoar dengan seluruh tenaganya. Yuna jatuh ke rumput basah, buku sketsanya terlepas, tapi sebelum dia bisa mengerti apa yang terjadi, suara benturan keras menggema—mobil itu menghantam I.N, melemparnya beberapa meter ke aspal.
"I.N!" Yuna berteriak, suaranya pecah, tubuhnya gemetar saat dia berlari mendekat. I.N tergeletak di jalan, darah mengalir dari kepalanya, gitarnya patah di sampingnya. Hujan membasahi wajahnya, tapi matanya masih terbuka samar, napasnya tersengal. "Yuna… kamu… baik-baik aja?" bisiknya, suaranya lemah. Yuna menangis histeris, tangannya memegang wajah I.N. "Kak I.N, jangan bicara! Aku telepon ambulans!" katanya, tangannya gemetar saat mencari ponsel.
Di Rumah Sakit: Ketegangan dan Penyesalan
Ambulans tiba cepat, dan I.N dibawa ke rumah sakit terdekat. Yuna duduk di ruang tunggu, bajunya basah kuyup, tangannya masih berlumur darah I.N. Dia menangis tanpa suara, pikirannya kacau. "Ini salah aku… kalo aku notice lampu merah, Kak I.N nggak bakal gini," gumamnya, wajahnya terkubur di tangan. Dokter keluar setelah beberapa jam, "Dia patah tulang di lengan dan kakinya, ada gegar otak ringan, tapi dia stabil. Dia butuh istirahat panjang." Yuna mengangguk, air matanya tak berhenti, tapi ada sedikit lega di hatinya—I.N selamat.
Tzuyu tiba di rumah sakit setelah Yuna menghubunginya, wajahnya pucat saat melihat I.N terbaring di ranjang, lengan dan kakinya dibalut gips, wajahnya penuh luka memar. "I.N…" bisik Tzuyu, tangannya menyentuh tangan I.N yang tak terbalut. I.N membuka mata perlahan, tersenyum lemah. "Kak Tzu… aku baik-baik aja. Yuna… dia selamat, kan?" tanyanya, suaranya serak. Tzuyu mengangguk, air mata jatuh dari matanya. "Kamu bodoh… kenapa kamu lakuin ini?" katanya, nadanya penuh kekhawatiran.
Yuna berdiri di sudut, menatap mereka berdua, rasa bersalahnya semakin dalam. "Kak Tzu… ini salah aku. Aku yang bikin Kak I.N gini," akunya, suaranya pecah. Tzuyu menoleh, matanya lembut meski penuh air mata. "Yuna, ini nggak salah kamu. I.N lakuin ini karena dia peduli sama kamu—sama kayak dia peduli sama aku." Yuna menunduk, tak bisa menjawab, tapi kata-kata Tzuyu membawa sedikit kehangatan di tengah dinginnya rasa bersalah.
Pemulihan dan Kedekatan Baru
I.N dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu, dan Tzuyu serta Yuna sering datang bergantian. Tzuyu membawa buku untuk dibaca bersama I.N, duduk di samping ranjang sambil memegang tangannya, nadanya lembut saat berkata, "Kamu nggak boleh takutin aku gini lagi, I.N." I.N tersenyum, "Aku janji, Kak. Aku cuma… aku nggak mau Yuna kenapa-apa." Tzuyu mengangguk, tahu bahwa ketulusan I.N adalah alasan dia memilihnya.
Yuna datang dengan sketsa baru—gambar I.N memainkan gitar di studio, hadiah kecil untuk mengucapkan terima kasih. "Kak I.N… makasih udah selamatin aku. Aku janji aku bakal lebih hati-hati," katanya, matanya berkaca-kaca. I.N tertawa kecil, meski wajahnya masih pucat. "Aku seneng kamu baik-baik aja, Yuna. Sketsanya bagus… aku simpen ya." Yuna tersenyum, dan untuk pertama kalinya, dia merasa hubungan mereka tak lagi dipenuhi luka—hanya persahabatan yang sederhana tapi tulus.
To Be Continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled Hearts (✔️)
FanfictionCinta Segitiga sudah biasa. Bagaimana dengan cinta segiempat??? !@#$%&*