Kejutan

7 0 0
                                    

"Biarkan aku leluasa memandangmu, meski dalam kejauhan. Biarkan aku senantiasa memperhatikanmu, meski di balik rak-rak buku perpustakaan.

Ya, aku memang terlalu naif. Membiarkan rasa ini semakin berkembang. Namun, takut untuk mengungkapkan. Perlu kamu tahu, seorang wanita itu makhluk perasa, tapi dia juga memiliki gengsi tinggi untuk sekadar mengungkapkan rasa. Cukup memperhatikanmu lewat curi-curi pandang, mengamati lincah jemarimu memetik senar dan mengalunkan sebuah lagu yang kadang aku berharap jika itu khusus kamu nyanyikan untukku. Ah, mana mungkin ...," tulisku dalam buku harian.

***

"Pao, pinjem PR-mu, dong," celetuk Rain mengagetkan.

"I-iya ... bentar, Jan." Aku gelagapan, kututup buku catatan yang sejak tadi dalam genggaman. Semoga dia tak membaca tulisanku, mau di taruh di mana wajah ini. Membuang muka dan mengerjap pelan agar pipi bakpaoku tak ketahuan bersemu merah.

"Kamu kenapa?" Rain memperhatikan wajahku.

"Oh ... kumohon hentikan tatapanmu, Hujan," ucapku dalam hati.

"Eng-nggak papa, nih bukunya. Udah kelas dua belas masih juga hobi nyontek. Bentar lagi ujian, Jan!" Aku mengomel panjang pendek. Bukan itu sebenarnya alasan utamaku mengomel. Bukan karena sifat buruknya yang abai pada pelajaran. Tapi aku takut jika dia terlalu lama memandangku. Aku takut jika pipi bakpau ini ketahuan merona.

"Biarin, kan ada kamu," jawab Rain sekenanya.

"Diih ... maunya," Aku mendelik, "kalau ujian, nggak bisa lah contek-contekan kek gini."

"Bisa lah ...."

"Enggak!"

"Bisa, Bakpao ...."

"Enggak, Ujan!"

"Yaudah, kita cerai!"

"Diiih ... kapan nikahnya, Bang?" Aku terkekeh. Geli dengan banyolan Rain yang sekarang menjadi candu bagiku.

'Pao' adalah panggilan sayang untukku. Sedang aku memanggilnya 'Ujan', karena nama Rain jika di-translate dalam bahasa Indonesia berarti hujan. Kami berteman dekat sejak SMP. Terjalin hingga saat ini, entah itu murni persahabatan, atau ... ada rasa lain yang tersimpan di baliknya. Entah.

***

"Pao, aku mau ngomong sesuatu," ucap Rain serius. Digenggamnya kedua tanganku.

"Ah ... sengatanmu terlalu tinggi Rain, panas dingin aku dibuatnya," lirihku dalam hati.

Kami duduk di belakang ruang praktikum, di sana terdapat rumput gajah yang tumbuh lebat, sangat nyaman untuk sekadar selonjoran setelah seharian duduk di bangku sekolah. Semilir angin yang berembus membuat suasana semakin damai.

"Ng-ngomong aja," jawabku singkat, "aku pasti dengerin kok," sambungku.

Rain tersenyum, terlihat gigi putih berjejer rapih di balik bingkai wajahnya. "Pao, aku jatuh cinta ...," lirih Rain serupa desau angin.  Terasa semakin erat genggamannya pada jemari ini.

"Ja-jatuh cinta? Sama siapa?" Aku semakin gugup.

"Apa kamu ingin menyatakan cinta padaku, Rain? Ini terlalu mengagetkan," lagi, ini hanya gumaman dalam hati tanpa berani berucap lewat kata, "jangan berlebihan, Ra ... belum tentu itu untukmu."

"Iya! Aku jatuh cinta, Pao!" serunya bersemangat. Tanpa melepaskan genggaman pada tanganku.

Aku menatap Rain nanar, terlihat semburat kebahagiaan di wajahnya.

"Siapa gadis itu?"

"Ka ... em, Ka ...." Rain terlihat gugup. Terasa pada buku jarinya yang sedingin es.

"Ka?" Kuulang kembali.

"Kania ... aku suka Kania, Pao!" ucapnya penuh semangat.

Aku tersenyum lebar. Tepatnya, pura-pura tersenyum, agar tak terlihat kaca di mata ini yang hampir melebur.

Semilir angin di balik ruang praktikum tak bisa menguapkan rasa sakitku. Remuk redam, seperti ada sembilu mengiris-iris dada. Aku patah hati, bahkan sebelum kuncup itu berkembang ....

Setelah kejadian itu, Rain semakin gencar mendekati Kania. Bahkan, dia sering bertanya padaku tentang apa yang disukai dan dibenci seorang perempuan. Kujawab sebisanya, yang sebenarnya itu adalah ungkapan hati untuk Rain.

***

Ujian telah usai, pengumuman kelulusan tinggal menghitung jam. Aku sudah berangkat sejak pagi. Sengaja, hanya ingin berlama-lama memandang wajah Rain di balik rak buku di perpustakaan. Setiap pagi, Rain selalu menyempatkan ke perpustakaan sekolah. Aku ... pengamat ulung yang hanya berani menatap dari kejauhan.

Setelah seharian berkutat di perpustakaan, akhirnya waktu penentuan masa depanku datang. Aku tersenyum girang, melihat nama Ayudia Larasati berada di urutan tertinggi. Syukur kupanjatkan berkali-kali pada-Nya. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini.

Selanjutnya, kulihat saksama setiap nama di papan mading. "Dimana? Ayolah, Rain mana namamu?" gumamku pada diri sendiri.

Dadaku berdetak kencang. Semoga tidak ada kabar buruk. Kutarik telunjuk sampai keurutan terbawah nomor dua. Rain Hadinata. Rainku lulus. Ah ... bahagiaku berlipat ganda. Hingga tak terasa bulir bening menetes di pipi.

"Hei ... kenapa nangis?" Rain menghapus air mataku. Ternyata dia mengamatiku sejak tadi.

"Kita lulus, Jan! Kita lulus!" Aku berseru kegirangan tanpa sadar, kupeluk erat tubuh tingginya. Ini sungguh sebuah keajaiban, Rainku yang pemalas bisa lulus tanpa contekanku meski di urutan terbawah nomor dua.

"Iya, Pao ... kita lulus," lirih Rain serupa gumaman. Kulihat binar bahagia di matanya. Mungkin dia belum sepenuhnya percaya.

***

Kami saling diam, menyelami pikiran masing-masing. Di sini, di bawah pohon rindang taman sekolah. Duduk saling memunggungi, bersandar antara punggungku dan punggungnya. Aku menatap dandelion yang berterbangan, seperti hatiku yang terbang entah kemana.

"Pao, aku putus sama Kania." Rain membuka kebisuan.

"Kenapa?" tanyaku heran. Ada sesuatu yang meletup-letup di hati.

"Ternyata aku cuma kagum padanya, nggak lebih dan aku nggak mau dibohongi perasaan sendiri terus menerus."

Aku hanya diam. Menatap nanar kedepan. Merasa tak percaya sekaligus mencerna apa yang dia ucapkan baru saja.

"Pao?"

"Ya."

"Aku, mau kuliah di luar kota." Ia terlihat menarik napas dalam. Seperti ada beban berat di sana, takut kehilangan.

"Jangan lupain aku, ya. Semoga suatu saat kita bisa ketemu lagi," sambungnya.

Aku hanya mengangguk. Tak dapat lagi berucap, rasanya seperti patah hati dua kali pada orang yang sama. Baru saja aku bahagia karena kelulusan kami, kini dia mengungkapkan sesuatu yang tepat menancap ke dadaku.

Bulir bening tak dapat lagi kutahan, aku terisak di balik punggungnya. Sedang Rain kudengar mengembuskan napas dalam berulang-ulang. Dia berbalik, memutar tubuhku agar dapat bersitatap dengannya. Aku menunduk, tak mampu rasanya meski hanya menatap wajah Rain. Rain mengangkat wajahku perlahan, dihapusnya bulir bening yang membasahi wajah ini.

"Jangan nangis, Ra. Aku pasti kembali," lirihnya di telinga. Kami sama-sama menangis, diiringi hujan lebat yang mengguyur bumi.

Biarkan rasa ini tetap ada, bukankah jodoh adalah rahasia-Nya? Ku serahkan hati ini pada-Nya, sang maha membolak-balikkan hati. Jika memang Rain, takdirku. Kuyakin suatu saat kami bisa berjumpa kembali.

Cinta Dalam HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang