CINTA TERTINGGAL

Lima

Acara berlalu dengan khidmat. Nasihat-nasihat yang diberikan membuat suasana disentuh rasa haru. Ardiman merasa ada air tipis yang menyelimuti bola matanya, ia menunduk mencuri kesempatan untuk menghapus air tipis itu. Seluruh keluarga tersenyum lega dan bahagia ketika Nevan menyematkan cincin ke jari manis Shanessa.

Shanessa menjadi orang paling bahagia hari itu. Sepertinya walau tidak memakai blush on, pipinya tetap akan memerah sepanjang hari.

Selama acara, Gantari tidak terlihat dan tidak ada juga yang menyadari.

Acara terakhir adalah makan-makan. Semua lalu lalang menyicipi hidangan. Para bapak-bapak bersenda gurau disela santapannya dan pihak ibu-ibu tak kalah heboh menggoda Shanessa. Hanya Tiwi yang mendadak jadi pendiam.

"Apa kabar, Dihyan?"

Gantari tersentak dan menoleh mendapati Om Fikri sudah berdiri di belakangnya. Ia tersenyum dan mencium tangan laki-laki itu.

"Papa sehat?"

Fikri tersenyum, lantas mengangguk. Tatapannya hangat sekali.

"Papa masih menunggu jawaban dari tawaran papa."

Gantari menunduk.

"Jangan merasa tertekan. Lakukan yang menurutmu benar. Ayo, masuk." Fikri memegang pundak Gantari kemudian melangkah pergi, memasuki kembali rumah.

***

"Mana Dihyan?"

Kakek muda celingak celinguk baru menyadari jika cucunya hilang satu. Beberapa yang mendengar ikut mengedarkan pandang.

Gantari muncul dengan langkah malas. Dia mendekati Kakek muda sebelum sang kakek makin keras menyebut namanya.

Kakek muda mengerling. "Ini dia putri tidur. Baru bangun, ya?" Godanya.

Mata Kakek muda menyipit dengan kening berkerut. "Itu bibir kenapa?"

Ia mendekat untuk menelisik wajah Gantari lebih jelas. Tatapannya berubah jadi tak suka.

Terimakasih untuk kedua kalinya karena suara Kakek muda berhasil mengambil alih perhatian.

Ardiman ikut mendekat.

"Sariawan, kek," jawab Gantari dengan suara pelan. Berharap tidak menambah masa.

Jawaban Gantari barusan membuat kakek muda makin membelalakkan mata. "Bohong, lagi."

Ya Tuhan.

Gantari sigap mengamit lengan sang kakek dan menariknya pergi dari sana. Ardiman menatapnya khawatir, sedangkan Fikri langsung menoleh pada Tiwi.

Acara berakhir dan keluarga Nevan sudah setengah jam yang lalu pamit pulang. Ardiman yang masih penasaran langsung mencari Gantari untuk menanyakan keadaannya. Rupanya Gantari masih bersama kakek muda, diintrogasi. Ardiman mundur lagi.

"Mas?"

Kakek muda mendekati Kakek yang sedang duduk di sofa. Rupanya sesi interogasi sudah usai. Para pelayan catering juga sudah selesai berbenah dan pamit undur diri. Ardiman menyelesaikan semuanya, kemudian kembali lagi berkumpul di ruang keluarga. Pakde dan bude sudah pulang  lebih dulu, meski sebelumnya sudah diminta untuk menginap.

Kakek muda sudah duduk di hadapan kakek. Wajahnya tumben-tumbennya serius.

"Biar Dihyan ikut denganku saja, Mas."

Baru sampai dan Ardiman langsung dikejutkan dengan permintaan kakek muda. Dia duduk dan memperhatikan.

Kakek mendecih. "Kamu kira dia barang?"

Entah kenapa Gantari ikut mendecih pelan mendengar ucapan kakek barusan.

"Mas kan tau aku nggak punya anak cewek. Cucu cewek juga belum ada. Disini sudah ada Shaness. Biarlah Dihyan denganku aja," kakek muda mencoba nego.

"Kamu ini ngomong apa? Tari nggak akan kemana-mana," balas kakek tegas.

Hilman mengusap punggung sang ayah, berharap tidak memperpanjang masalah.

"Nggak kasihan sama cucu sendiri? Dia bisa mati kalau tetap disini," sengit Kakek muda.

"Handoko!"

Ardiman berdiri dan mencoba menenangkan sang ayah. "Memangnya Tari kenapa lek?"

"Nggak usah pura-pura nggak tau. Harusnya kamu lebih tau dari paklekmu ini." Sang rocker sudah mulai memanas. Semua dilibas.

Ardiman mengatup mulutnya. Dia tau ini tidak ada hubungannya dengan sekedar darah disudut bibir Gantari.

Shanessa menatap tak habis pikir, kenapa bisa ada pertengkaran dihari bahagianya.

"Kapan sih masalah ini selesai? Kenapa diungkit terus?" Shanessa berteriak frustasi. Dia menangis sejadi-jadinya.

"Pulanglah," kakek bersuara lagi kali ini mulai pelan.

Kakek muda memandang Shanessa dengan rasa bersalah, lantas berdiri. Dia beralih menatap Gantari yang balas menatapnya. "Mungkin lain kali," ucap Gantari tersenyum getir.

Kakek muda memeluk Gantari dan dibalas Gantari dengan gumaman terimakasih.

Harusnya Ardiwinata tahu, kalau Handoko Wijaya pasti punya maksud lain. Dia bukan tipe orang yang mau hadir sekedar hanya untuk menghadiri sebuah perayaan.

***

"Jangan keterlaluan."

Rupanya dikediaman Nevan tak kalah tegang. Sang putra sudah masuk kamar, tinggallah dua orang tua yang duduk berdampingan di depan televisi yang tak menyala.

Tiwi menatap tak suka pada suaminya yang baru saja mengatakan hal yang tidak ingin ia dengar.

"Kamu tau semuanya, kan?"

Fikri diam saja. Ia justru menatap layar hitam televisi.

"Bagaimana bisa wanita sial itu jadi keluarga Ardiwinata?" Tiwi menjambak rambutnya sendiri. "Dia anak pungut, kan? Ah, sial. Dasar wanita licik," tatapannya menyalang marah. Dia sangat yakin dengan terkaanya. "Dia pasti pura-pura menderita, sampai keluarga itu tertipu."

Fikri tertawa mengejek. Dia tidak menyangka, pikiran wanita yang ia nikahi hampir 25 tahun itu sangat konyol. Tawanya terhenti ketika Tiwi menatapnya sengit.

"Dia anak Irawan."

Tiga kata dari Fikri barusan mampu mengosongkan pikiran Tiwi. Tubuhnya mendadak lemas. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Dia menatap sang suami tak percaya, berharap ini hanya lelucon kampung.

Fikri membalas tatapan Tiwi sebentar kemudian mengangguk pelan. Senyum tipis tersungging di bibirnya. "Anak dari laki-laki yang menolak dijodohkan dan rela meninggalkan keluarga demi cinta."

Gantari Dihyan Irawan.

Nama lengkap Dihyan mengawang dipikirannya. Anak yatim miskin yang dinikahi putranya enam tahun yang lalu adalah anak Irawan? Tiwi terhenyak dengan pikirannya sendiri.

"Kalau dia tidak kabur, kamu yang jadi istrinya, kan?" Fikri enteng melanjutkan, tidak peduli dengan tatapan tak suka yang dilayangkan sang istri. Dia merenggangkan ototnya tak acuh, kemudian berlalu menuju kamar.

Air mata Tiwi akhirnya menetes. Kenapa takdir terlalu kejam padanya? Lelaki yang ia cintai pergi meninggalkannya demi wanita lain. Dan suaminya? Ketika ia mulai berhasil menumbuhkan rasa cinta, Fikri justru sudah menyerah.

***

Cukup lama mengumpulkan mood menulis. Hari ini, selagi mood itu muncul sekalian aja published dua bagian. Happy reading, dear.