Dari triliunan kata yang telah kubaca.
Kau tidak ingin tahu betapa mudahnya mereka menyimpan perasaannya.
Terutama aku.
[INDONESIA - ENGLISH]
Out of billion words that I've read.
You do not want to know how easy people covering their emotions.
part...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nyalinya tidak berasa. Aku menatap jengah pada seseorang di sampingku. Gadis seumuran denganku yang dari dulu memang selalu bersamaku. Teman dekatku. Sahabatku. Namanya Sandra. Sandra Candice. Gadis muda yang periang, selalu jujur padaku, dan menceritakan detail perasaannya padaku. Aku merasa dia menganggapku seperti bubu harian. Aku bisa mengingat semua yang dia ceritakan setiap harinya dari belasan tahun silam. Katakan saja jika aku terlalu mengenalnya lebih dari sang ibu mengenal dirinya. Aku tidak menyebut dari dia mengenal dirinya, karena tidak ada orang yang benar-benar bisa mengenal diri mereka sendiri.
"Kau dengar, tidak? Jadi, aku mengatakan tidak. Dia tidak percaya. Huft ... aku mulai bosan jika seperti ini." Dia kembali bercerita panjang. Mengenai kisahnya dengan sang kekasih yang kuketahui namanya Dino. Dia tidak begitu buruk. Tergolong tampan dan bisa diandalkan. Dan kali ini Dino sedikit mempermasalahkan saat kemarin Sandra dan aku pergi ke pusat perbelanjaan tanpa bisa dihubungi.
Mereka aneh. Jika memang saling percaya, kenapa harus curiga?
"Menurutmu dia masih menyukaiku?" tanyanya dengan ekspresi jengkel.
"Masih," jawabku singkat.
"Tapi dia seperti," ucapannya terpotong. Berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "berubah. Dia sangat posesif sekarang ini."
Aku menatapnya. Menyeruput lemon dingin di depanku dengan santai. "Dia menyayangimu, maka dari itu dia posesif," jelasku hanya mengeluarkan apa yang ada di otakku.
Dia menyuap satu sendok pasta keju ke mulutnya dengan penuh. Mengunyahnya sebelum kembali berkata jengkel, "tapi dia tidak sepert itu dulu. Dulu dia selalu membebaskanku," lanjutnya, "ini menyebalkan. Sangat menyebalkan."
Aku menghela nafas. Gadis ini memang terlalu banyak bicara. Namun, mau bagaimana pun dia tetap temanku, jadi aku harus mendengarkannya dan memberinya solusi, atau penerangan. Jadi, aku berkata, "dulu dia tidak menyayangimu."
"Maksudmu?" tanyanya curiga.
"Dulu dia hanya menyukaimu." Perkataanku membuatnya terdiam. Aku tahu dia sedikit menyadari itu. Kulihat setelahnya dia hanya menyantap pasta yang tinggal setengah dengan lahap. Sedangkan aku hanya memesan es lemon yang sekarang tinggal seperempat gelas.
Hari ini tidak ada yang berubah dengan keadaan kampus. Semua sama. Membosankan. Aku hanya masuk kelas seperti biasa dan istirahat di kantin untuk memasuki kelas yang lain. Sampai akhirnya jam menunjukan pukul 2 dan kelasku berakhir untuk hari ini.
Aku yang masih bersama Sandra menuju parkiran di mana aku memarkir mobil. Camry berwarna hitam yang mengilat, karena aku rajin membersihkannya. Sandra memang selalu menggunakan mobilku. Di samping dia tidak dapat mengendarai kendaraan apapun, jam kelas yang setiap hari kami datangi juga sama. Jadi, tidak masalah bagiku jika dia selalu menumpang. Hanya saja, kami tidak dalam satu gedung apartemen. Hanya berjarak 3 blok dari apartemenku.
"Kau akan datang?" suara Sandra terdengar dari kursi penumpang di sebelahku.
Aku melirik sekilas dan kembali fokus pada jalanan di depan. "Tidak."
Kudengar Sandra menghela nafas kecewa, sebelum akhirnya berkata dengan rajukan, "ayolah, tidak setiap tahun mereka mengadakannya. Apa kau tidak merindukan mereka?" tanyanya.
"Tidak."
"Kau tidak penasaran bagaimana rupa mereka sekarang?"
"Tidak."
"Kau tidak ingin melihat prince charming mu yang dulu?"
"Tidak."
"Jangan bilang kau tidak ingat mereka?"
"Tidak."
"Oh ... Ayolah!" Sandra mengerang kesal sambil memukul kecil lenganku. "Kau memangnya tidak ingin bertemu mereka?"
"Tidak."
"Navela!!!" teriaknya kesal.
Aku menghela nafas lalu berkata, "hanya Giordano yang aku ingat dari mereka," lanjutku, "dan hanya Mr. Dimo yang membuatku pensaran."
Kurasakan hawa dingin yang langsung menusuk dari Sandra yang menegang. Perkataanku berhasil membuat gadis itu bungkam hingga perjalanan pulang kali ini berakhir. Giordano. Giordano Alvindo. Aku yakin dari seluruh angkatan High School-ku dulu, tidak akan ada yang lupa dengan nama itu. Nama terkutuk. Nama yang menakutkan. Nama yang membuat beberapa anak lainnya meregang nyawa mereka.
Saat itu, sekolahku berasa seperti neraka bagi mereka, para korban. Tidak damai. Sangat menekan dan menguras mental. Diikuti dengan Mr. Dimo yang sampai saat ini masih menjadi tersangka yang tidak terbukti. Maksudku, tidak ada yang tahu bagaimana mereka terbunuh dan apakah benar Mr. Dimo adalah tersangkanya. Hanya saja, mereka percaya bahwa Mr. Dimo adalah pelakunya.