"Halo aku Serena, adiknya Bang Arya." Kala itu aku tersenyum, mengulurkan tangan pada Abam --temannya Bang Arya.
"Abam," lelaki itu menjabat tanganku sambil berkata singkat, canggung dan malu-malu.
"Udah Ren, jangan lama-lama salamannya!" Bang Arya, dengan songongnya misahin telapak tanganku dan Abam yang saling menempel. Bukannya merasa canggung, aku menyengir lebar menatap Abam tanpa putus.
♧♧ ♧♧ ♧♧
Jam ternyata sudah menunjukan pukul tujuh malam. Hari ini aku pulang telat bukan karena kerja lembur melainkan nongkrong dulu bareng temen-temen kantor, lumayan ada yang ngadain traktiran.
Usiaku 23 tahun, sudah kerja dua tahun belakangan ini. Memang setelah lulus S1 aku langsung milih kerja dibandingkan ngikutin jejak Bang Arya yang dulunya ambil S2 sambil menjalankan usaha. Entahlah, pikirku ingin cepet-cepet fokus kerja cari duit. Aku anak bungsu, Abangku Arya sudah menikah dan punya anak yang sialnya lucu kebangetan bikin gemes, namanya Jelita.
"Baru pulang Ren?" Aku mengerjap menatap Mbak Ruri, istrinya Bang Arya.
"Ke sini kapan Mamut? Bareng jelita sama Bang Arya?" Mamah muda - Mahmud - Mamut. Iya, aku memanggilnya demikian, toh Mbak Ruri nggak keberatan.
"Tadi sore. Abang sama Jelita di dalem, lagi nonton tv. Ayo masuk," setelah memungut mainan tak jauh dari teras rumah --yang aku yakini itu milik Jelita-- Mbak Ruri mengajakku untuk masuk ke dalam.
Dan benar, ruang keluarga ramai sekali. Kumpul. Ada mama, papa, Bang Arya dan Jelita di sana lagi nonton tv. Aku buru-buru naik ke lantai dua untuk membersihkan diri, sebelum nantinya ikut bergabung bersama mereka.
"Jelitaaaa, sayangku. Onti kangen," aku memeluk Jelita erat-erat sampai bapaknya meraung.
"Wey, anak abang kegenjet!"
Aku mendengus sebelum melepaskan pelukan hangatku dari Jelita. Jelita ini duplikatnya Bang Arya, sampai kadang nyebelinnya pun sama. Yang bedain cuma Jelita memang lebih lucu dan terkontrol aja, berkat Mamut Jelita agak lebih kalem.
"Kan kangen aku tuh," aku merengut. Nggak sadar apa ya, rumah Bang Arya sekarang agak jauhan, bikin aku dan Jelita jadi jarang ketemu. Mereka pindah dari rumah sebelumnya, rumah lama dijual sebab Jelita nggak betah dan nangis terus-terusan, katanya sih ada penunggu yang suka jailin keponakanku.
"Iya tau kangen, tapi nggak usah pakai lebay!" Bang Arya menarikku, lalu leherku diapit menggunakan keteknya. Seperti kebiasaan lama, Bang Arya memang semenyebalkan ini.
"Ih bau!" Aku memukul paha Bang Arya agak keras membuatnya mengaduh dan melepaskan jepitannya pada leherku.
"Nitip Jelita ya, besok. Abang sama Mbak Riri mau ke luar kota ngurus cabang baru."
Aku menganggukan kepala, sama sekali nggak menolak untuk main sama Jelita seharian penuh. Adanya Jelita bikin aku punya alasan untuk keluar rumah di hari libur, karena biasanya aku males nggak ketolong. Dan biasanya setelah jagain Jelita tabunganku akan terisi karena memang Bang Arya dan Mbak Ruri ringan tangan untuk memberi aku uang jajan skin care tambahan (baca; duit upah jagain Jelita). Memang makin ke sini Bang Arya makin kaya, cabang restoran ada di mana-mana, selain itu Bang Arya juga buka beberapa kosan elit di daerah strategis sana deket kampus dan perkantoran, jangan lupakan hotel bintang lima keluarga yang dikelolanya juga ada di mana-mana.
"Abang udah tajir melintir sekarang, temennya juga pasti orang-orang yang kalau keringetan ngelapnya pakai duit. Kenalin satu dong bang, aku tiba-tiba pengen nikah nih."