Keping 1 : Brianna

47 7 0
                                    

"Ugh, yakin nih uda mau MPLS aja? Cepet banget!", hal itu yang selalu terlintas dalam benak Brianna.

Seminggu sebelum pengenalan lingkungan SMA, ia hanya terdiam dengan tatapan kosong, dengan jemari yang menari diatas panel lcd. Nafas berat berhembus perlahan dari sukmanya, seakan berbisik "ah, cepat sekali waktu berlalu".  Sesekali matanya tertuju pada titik kosong di langit-langit kamar, putih bersih terantuk pendaran cahaya lampu. Angannya semakin terbawa didalam lamunan singkat itu.

SMA, tanda gadis itu akan jarang kembali ke kota pencuri hatinya, Yogyakarta. Berat rasanya memang, membayangkan segala probabilitas yang dapat terjadi kelak.

"Akankah aku berputar dalam ketidakpastian ini terus menerus? Mengapa ketidakpastian itu ada? Berapa besar peluang kebolehjadian yang dapat terjadi dibaliknya?". Segala pertanyaan terlintas begitu saja dalam benaknya.

Perputaran waktu tak terhenti bagai mesin perpetual. Berlalu dan mengalir lembut tak terkecap indra. Hari berlalu, libur akhir semester sudah selesai. Kini remaja labil sudah menjadi gadis dewasa, ya SMA!

Harus ada transformasi diri dan evolusi rasa. Pendewasaan diri dan tanggung jawab dalam menjalani studi lanjutan ini. Jurusan telah ia pilih dengan berbagai keraguan, "Apa aku sungguh siap dengan dunia baru ini?".

Persiapan pengenalan lingkungan sekolah baru telah disiapkan sehari sebelumnya, sedemikian rupa, tinggal satu lagi, nametag!

"Duh bodoh, kok bisa-bisanya lupa hal penting begitu sih!!", gumam jengkel dalam hatinya.

Bergegas ia melihat format dari panduan, terpampang jelas bahwa wajib terdapat nama panggilannya disana. Apa yang harus dituliskan? Bri? Anna? Nama Brianna tercetak tebal diatas kertas A5 bertali hijau tua.

"Ma, beneran nih besok Bria masuk? Barang-barang buat PLS udah siap terus sekarang Bri ngapain?", tanya dengan nada jenuh.

"Iyaa dong Bri, kamu besok udah SMA sayang,  Mama bangga sama kamu! Nah, sekarang kamu istirahat gih, udah malem banget ini", jawab mama hangat sambil mengusap rambutnya.

Kamar hangat yang menyambut lembut tubuhnya, penuh ketenangan bagai sosok yang telah lama dirindukan. Tiap sudut kamar ditatap mendalam, kembali terputar gambaran stori lama. Seakan mengajak khayalnya lebih jauh terbawa dalam kenangan pembangkit rasa yang terlarut.

Malam itu terasa beda, rasa enggan selalu membayangi hatinya. Entah esok hari akan seperti apa, lagipula "apa sulitnya datang dan sekedar pura-pura paham omongan orang-orang itu kan?". 

Selalu saja terjadi silang pendapat antar pikiran dan hati nya, entah mengapa. Dibalik selimut biru tipis, cahaya lampu memaksa masuk melalu tiap masing celah untaian benangnya. Malam liburan terakhir berlalu sesingkat itu.

Pagi menjemput dengan sayup udara dingin fajar. 04:30, jam dinding berdetik dengan pasti telah menunjukkan hari baru telah tiba. Tatapan hangat mama memancarkan kasih dan semangat tersendiri terlihat dari kisi pintu kamar, senyuman tipis yang membangkitkan badannya. 

"Bri, ayo bangun cepetan kalo ngga nanti kamu kesiangan loh, belom juga aktif jadi siswi masa uda dihukum sih, malu-maluin ajah. Cepet sana mandi!!", teriak mama dari luar kamar.

"AH MAA, masa harus sepagi ini sih? Mimpi Bria kepotong kan gara-gara mama nih!"

"Biarin biar kamu kebiasa bangun pagi Bri! Mending mimpi yang kepotong apa uang jajan kamu yang mama potong??"

Tawa kecil menutup dialog itu. Basuhan air dingin menyentuh tiap inci tubuhnya, merinding rasanya. Seragam biru putih yang dikenakan serapih mungkin, sebelum menjadi penghuni abadi lemari kayu tua. Berkemas dengan gegas, dengan selapis roti cokelat tergantung di sisi mulutnya. Ciuman hangat di pipi menjadi pembuka hari ini.

"Ayo, yang semangat ya Bri! Jangan cemberut gitu dong, mama cium lagi nihhh", pelukan erat dari sosok mama, tanda ia harus pergi dengan segera.

Tetes embun pagi, mengecap lembut tiap lembaran daun. Jalanan terasa begitu sepi, suara seliwer kendaraan lain yang masih dapat dihitung jemari. Ditemani percakapan sayup penyiar radio. Tidak ada yang begitu menarik dari perjalanan itu. Mentari bersemu kemerahan, seolah enggan menampakkan cahaya, perlahan menyingsing dari Timur.

Di depan gerbang, ban mobil berdecit beradu dengan aspal dan perlahan melamban.

"Bri, nanti kamu balik sendiri ya, papa gabisa jemput. Udah sana turun masuk ke dalem". Dari kejauhan, perlahan namun pasti bayang mobil menghilang dari pandangan.

Gerbang besi tua berwarna putih yang perlahan melapuk karat dari tepinya, menyambut semua peserta didik baru. SMA Garuda terpampang jelas berlatar biru tua. Inilah SMA barunya, tempat berdinamika selama 3 tahun ke depan.

Terdapat beberapa kakak kelas menyapa ceria seluruh murid baru.

"Pagi de, selamat datang,kita semua kumpul di lapangan tengah yaa!". Ungkapan bersambut dari kakak OSIS menyambut kedatangan calon adik kelasnya.

Bria hanya terdiam dan berjalan sambil menunduk, tatapnya tertuju pada konblok sepanjang jalan. Opini pribadi seolah beragumentasi sendiri, berkecamuk dalam pikirannya sepanjang perjalanan itu. Pagi yang indah terasa begitu berat baginya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bayang MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang