BAB 1

17.4K 881 9
                                    

Hujan rintik mulai turun membasahi tanah siang itu. Sebuah mobil menerjang rintik hujan dan menuju parkiran basement sebuah gedung perkantoran tempat pemiliknya bekerja. Setelah mobil itu terhenti, seorang wanita turun membawa tas dan beberapa berkasnya. Suasana sepi basement gedung perkantoran hanya berisi suara hentakan stiletonya dan suara wanita itu yang sedang berbicara di telepon. Air mukanya yang suram menunjukkan bahwa terjadi sesuatu yang membuatnya sebal setengah mati.

"Ibu yakin dia resign?" ulangnya lagi untuk ketiga kalinya kepada orang di seberang sambungan telepon.

Dia mengacak rambutnya yang dicapit jedai. Buru-buru wanita itu berlari memasuki lift yang terbuka dan memencet lantai 5. Sesekali matanya menatap jam tangannya yang menunjukkan jam 2 siang. Begitu lift yang dinaikinya terbuka di lantai 5 dan langkah kakinya mendekati pintu kantornya, terdengar suara ribut-ribut.

"Kamu jangan bercanda, Di! Masa kamu mau resign di saat seperti ini sih?" protes seseorang.

"Yah, saya nggak bercanda. Saya udah taken kontrak kerja baru saya. Kan juga masih dua minggu lagi" balas suara lainnya.

"Mas, tolong dipertimbangakan lagi. Jangan gegabah," suara pelan lainnya menasehati.

"Kamu beneran resign, Di?" tanya Asmara yang baru saja berdiri di tengah keributan yang dihasilkan Adi setelah memasuki ruangan kantornya.

Adi yang sedang diserang beberapa orang karena keinginan resign mendadaknya itu menatap Asmara yang terlihat berantakan dengan rambut yang tidak terjapit sempurna. Dengan pandangan yakin, Adi mengangguk pelan. Semua orang menatap muka Asmara yang terlihat memerah.

"Bisa kita ngobrol dulu?" pinta Asmara.

Adi mengangguk dan berjalan mengikuti Asmara ke library kantor mereka. Terjadi diam lama antara mereka di ruang kedap suara itu. Asmara, si wanita, sengang berusaha mengontrol emosinya agar apa yang disampaikannya tidak mengandung emosi yang berlebihan yang diduganya bisa makin membuat suasana tidak nyaman.

"Kenapa resign?" tanya Asmara datar.

"Aku dapet offer yang lebih bagus, settle, dan dekat sama anak istri, Ra" jawab Adi

"Tapi gimana tender kita?" tanya Asmara dengan nada tinggi yang menunjukkan usahanya menekan emosi tadi tak berhasil.

Adi menghela napasnya, "Seharusnya kamu tahu kalau cepat atau lambat aku akan resign, Ra. Bahkan kamu tahu kan aku sudah menyampaikan ini semenjak beberapa bulan lalu? Apa yang mengejutkan?"

"Aku pikir kamu nggak serius," gumam Asmara sambil menyandarkan dua siku di meja dan meletakkan kepala di telapak tangannya.

Asmara buntu seketika. Saat ini, baginya, tidak ada yang lebih penting dari memenangkan tender yang sudah diincarnya. Salah satu tender besar yang bisa membantu menutup targetnya tahun ini. Kepergian Adi dari perusahaan tentulah kabar buruk untuk rencana itu, sudah bisa dipastikan rencana itu gagal total.

"Kamu benar-benar nggak bisa menunda, Di?" Asmara mengangkat kepala dan menatap Adi dengan seksama, "Bayangkan, kalau kita berhasil mendapat tender itu, nama seorang Adi Cahya akan makin naik. Bahkan aku yakin lebih banyak lagi perusahaan bagus yang melamarmu, Di."

Melihat kegigihan Asmara, Adi menyengir lebar. Kalau mereka belum lama mengenal, pasti Adi sudah akan terjebak rayuan marketing senior di Mediteran Advertising itu.

"Well, bener sih. Tapi belum tentu di Surabaya, padahal itu syarat utama yang kuinginkan, Asmara. Aku kan sudah bilang ingin dekat istri dan anakku?"

Mengejar Asmara [PINDAH PLATFORM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang