Gelap. Aku terkapar, sedangkan kau tak beranjak. Deru nafas demi nafas membanjiri sunyi. Kadang riuh memang sediam itu.
Aku sadar bahwa kau butuh dipeluk, seberjarak itu punggungmu dengan kalbuku. Kutangkap abstraksimu yang meleleh dari air mata yang diam-diam membulir ke pembaringan. Kau sesenggukan, membelakangi emosi yang tak pernah bisa kauterjemahkan itu apa.
Aku adalah lelaki yang alpa soal membaca jiwa, meski ragamu kucoba ajak bicara. Barangkali satu hal kecil yang pernah dikatakan pepatah, bahwa cobalah kaupeluk perempuanmu meski ia ingin memukulmu sebab semakin kencang pukulannya, semakin dalam ia mencintaimu. Pepatah itu masuk akalkah atau tidak, entah. Pula aku tak ingin mengadu utas-utas tanya yang bernada kenapa.
Hanya saja, aku tak kuat. Kucoba mendekapmu lewat peluk yang semoga itu damai bagi setiap resah yang mengunci lisanmu. Ada sebab barangkali benak perempuan diciptakan dalam benang-benang perasa yang karut marut menggebuk dalam impuls menuju detak jantungnya, sedang logikanya sudah tumbang dengan seputih-putihnya kibar bendera yang menyampaikan bahwa hatinya sudah menyerah sejak semula. Perempuan tahu, segalanya pun pasti akan diberikannya bila sudah jatuh cinta.
"Kamu ngga pergi, kan?" keluhmu.
Kenapa resahmu mengundang tanya yang membuat rasa iba sekaligus amarahku seakan bersatu? Maksudmu apa, apakah aku lelaki gampangan?
Sebab setiap jiwa dan raga yang takdirnya menyatu adalah sebuah sakramen yang meluruhkan setiap tangga ragu demi ragu. Pula aku disini bukanlah jalang yang ketukan pintunya tak kauizinkan masuk. Berpilih-pilin pikiranku mencari jawab yang paling mujarab, pun hendak kucoba lempar setiap amarah yang seringkali membuatku kalah. Aku ingin menang, lalu menjadi dirigen yang mampu menguasai keseluruhan opera afeksi ini.
Tak ada jawab yang kulantunkan lewat bibir, sebab jawabnya adalah dekapku yang makin erat. Semoga kau tahu, bahwa dengan cara itulah aku melayangkan maklumat ; bahkan, mencoba lepas darimu saja aku merasa berat.
— miftahulfk, Opera Afeksi