Gerimis

18 1 1
                                    


Tiba-tiba sudah September, lagi. Langit kadang tampak seperti merajuk, tak jelas mau hujan atau tidak. Kadang gerimis datang sekadar memberi harapan palsu pada para petani sawah tadah hujan. Atau harapan baru bagi petani rumput laut. Atau dalam kasusku September ini, gerimis membuat suatu aroma anyir yang ganjil menjejal melalui pembauku, lalu tanpa ampun mengaduk-aduk pikiran. Tak peduli ke tempat sebersih apapun orang tuaku memindahkanku, rasanya bau amis terus mengganggu. Juga potongan gambar-gambar menayang dalam kepala. Aku tidak suka, tapi suka. Ah, sudah jadi gila betul aku ini, batinku sambil menatap ke luar kaca mobil. Kami akan punya perjalanan lagi.

Perjalanan pertama yang mengawali sedemikian panjang cerita kegilaan ini mungkin awal bulan sebelas tahun lalu, aku tidak ingat tepatnya. Ayah dan Ibu membawaku mengunjungi tempat-tempat asing dan aneh. Bertemu dengan orang-orang aneh yang suka sekali memerintah ini itu.

Di luar gerimis, dengan cepat Ibu menutup kaca mobil sepenuhnya. Berusaha melihat wajahku, tapi aku berpaling. Sungguh, aku ingin tampak baik-baik saja. Tapi apa, bau amis itu begitu menyengat. Tanganku mulai gemetar dan seluruh tubuh berkeringat hebat. Lalu muntah. Membuat Ibu meneriaki Ayah, menyuruhnya membawa laju mobil ini lebih cepat. Kututup mataku sebisanya, berharap segera tidur. Hei, bantu aku tidur saja, ini semakin menyusahkan. Batinku. Lagi.

"Kevin, paman tidak tahu harus berterima kasih atau mengeluh padamu." Kata Ayah di kursi kemudi.

"Hus.. Tania mungkin belum tidur. Jangan seperti itu, sayang." Saran Ibu.

"Tapi ini tidak menjadi semakin baik. Begitu menyakitkan hanya dengan mendengar suaranya muntah."

"Kalau begitu ayo terus kita cari cara atau orang atau apapun. Tania kita akan kembali, aku yakin."

"Aku tahu."

Aku menelan ludah. Ternyata bentul, tidak menjadi semakin baik. Aku gila. Tidak bisa mengenal dan mengendalikan diriku sendiri. Lihat, mendengar nama itu saja membuatku mandi keringat saat situasi sebetulnya membaik perlahan setelah muntah karena melihat gerimis. Sekarang menutup mata seperti orang tidur. Membiarkan kepalaku sibuk memutar film. Kesekian kalinya untuk hari ini.

Remaja tanggung. Atau lebih tua sedikit. Seragam putih abu-abu. Pemenang duta wisata kabupaten. Temannya banyak, di mana-mana. Orang tahu siapa tanpa menyebut nama.

Tahun lalu seperti sekarang ini, awal September sibuk dengan iklim ragu-ragunya. Keluar dari gerbang sekolah dengan berlari-lari kecil di bawah gerimis, bersama beberapa teman. Bercanda di jalan, normal sekali. Awalnya selusin, lalu berkurang satu demi satu di setiap seratus meter. Akhirnya sisa tiga. Seorang laki-laki dan dua perempuan. Mereka ini hanya anak-anak pulang sekolah. Apa yang salah?

Adalah penjual jagung rebus. Hangat, menggoda tiga anak itu. Membuat perjalanan pulang mereka berhenti semenit. Tapi, apa salahnya makan jagung rebus bersama teman saat gerimis?

Waktunya terlalu tepat. Terlalu tepat dengan tiga orang lain yang berjalan di gang itu. Sialnya ini tidak cukup baik disebut orang. Menggoda gadis yang minggu lalu masuk koran lokal, satu dari tiga anak itu. Mereka hanya terus berjalan, mengganggap orang-orang itu berniat mengatai saja. Tidak penting.

Tapi untuk inilah pencibir ini tidak layak disebut manusia. Tak terima diabaikan, mereka berani lebih. Mengejar. Sial betul hari itu, bahkan penjual jagung tadi sudah tidak ada bekasnya.

Anak-anak ini lari dengan keyakinan akan sampai di rumah dan selamat. Pikiran mereka sederhana, menganggap ini hanya gangguan kecil di perjalanan pulang sekolah yang besok akan diceritakan kepada teman-teman untuk sampingan makan kuaci. Mereka berlari tak begitu kencang, sambil mengejek ke belakang. Meneriaki paman-paman yang tak terlihat baik dalam berlari.

Kevin terlambat sadar bahwa ini bukan perkara kecil. Dua teman perempuannya tertangkap dan diseret dengan cepat ke gang lain. Meninggalkannya begitu saja.

Tapi ternyata anak ini pun masih tak cukup pandai. Mengikuti tanpa berpikir. Terus berlari mengejar hingga ke tempat itu. Sepi, gulita, dan kotor. Rumah tua tak berpenghuni. Si bodoh ini malah berakhir dengan tertangkap. Lalu dipaksa membuat tontonan asik bagi paman-paman tadi. Mereka terbahak sambil berkali-kali menenggak minuman keras, menikmati bioskop di hadapan mereka. Fantasi, kata, hingga tingkah laku mereka lebih buruk dari anjing mabuk. Sedang Kevin, masih dipaksa seorang dari mereka menyakiti Gea, teman dekatnya. Dengan cara yang menjijikkan. Bejat. Anak ini hanya remaja tanggung, tapi dia laki-laki. Dipaksa pula.

Kemudian para penonton ikut mengambil peran. Kevin di lempar pada Tania, teman perempuannya yang lain. Dia melakukan pekerjaan berat dengan seorang dari paman itu sementara dua yang lain mengerjakan Gea. Membabi buta. Bombardir tanpa ampun.

Gerimis jadi hujan. Sepi jadi berisik. Orang lebih memilih diam di rumah dan minum teh panas atau kopi. Tidak ada yang mendengar, tak peduli sekeras apa gadis-gadis itu berteriak.

Kevin dibuang, karena dinilai tak pandai bekerja mengimbangi Tania yang sangat bagus. Dibiarkan duduk lemas untuk memperjelas kebodohannya.

Kemudian anjing-anjing ini menyadari, Gea juga bukan yang terbaik. Duta wisata kabupaten tetap tampak lebih bagus. Ditinggalkan merekalah dia, lalu membuat Tania menghadapi ketiganya seorang diri.

Tak ada yang bisa berpikir lagi, baik mereka yang bekerja, Gea maupun Kevin. Apalagi Tania. Hanya, Gea melihat sedetik luang akan menyelamatkannya. Dia berlari, tak peduli apa. Detik itu juga Kevin menimpa tengkuk seorang yang sedang di atas Tania dengan satu batu besar. Menarik tangan sang duta wisata, lalu mendorong sekuatnya tak peduli apakah gadis itu sudah berdiri dengan baik. Membebaskan Tania.

Si remaja tanggung. Atau lebih tua sedikit. Seragam putih abu-abu yang banyak sekali sobeknya. Pemenang duta wisata kabupaten. Temannya banyak, di mana-mana. Orang tahu siapa tanpa dia menyebut nama. Tania. Aku.

Apa pekerjaan sore itu akhirnya membuatku begini? Aku rasa tidak. Rasa sakitnya hilang sama sekali setelah sebulan, apalagi ini sudah setahun. Orang bilang ini karena jiwaku yang sakit. Aku gila atau apa, aku tidak paham. Tapi untuk urusan inipun, mereka tidak sepenuhnya benar.

Adalah rangkaian gambar-gambar. Gea dibaringkan dan semua yang dilakukan kepadanya tertangkap oleh mataku. Kevin menangis keras, tak berdaya saat dipaksa menyakiti kami.

Gea yang akhirnya bebas berlari. Masih dengan kedua mata yang sama, aku menangkap bagaimana ketakutan menghapus kewaspadaan dan keberuntungannya. Kendaraan besar menggilas tanpa ampun setelah berlari sampai di badan jalan.

Kevin, malaikat yang menyelamatkan aku dengan mencurahkan darah orang. Dia mendorongku dengan sangat kuat hingga aku terguling-guling di permukaan menurun, mempercepat terciptanya jarak. Lalu aku bangkit dan mencoba berjalan. Aku tak bisa berlari seperti Gea. Berkali-kali berhenti, berusaha memasok udara ke paru-paruku untuk bertahan hidup, sambil menunggu Kevin menyusul.

Tapi dia tidak menyusul. Saat aku menoleh, mataku hanya menangkap matanya masih menatap ke arahku. Tengkurap. Wajahnya basah kuyup oleh darah. Tangan kanannya mengisyarat untuk aku terus lari saja. Tersenyum sedetik sebelum batu yang tadi dipegangnya berakhir menimpa kepalanya.

Ya, kepala itu kutempeleng sejam sebelumnya karena dia menyembur jagung rebus ke wajahku. Kepala yang kemudian remuk di depan mataku.

Ah, mulai lagi. Batinku. Aku sudah mandi keringat. Lagi. Juga sedikit kejang. Ibu meneriaki Ayah semakin keras sambil memelukku. Dadaku terasa berat, hidungku seperti tak ada gunanya. Sedikit mengantuk. 

Malas peduli dengan Ayah dan Ibu, aku melirik ke luar kaca mobil. Gambar di luar tampak lebih baik sekarang, karena gerimis sudah usai.

Tunggu, aku melihat seseorang di seberang. Pandanganku rabun entah sejak kapan, tapi aku cukup bisa mengenali orang itu. Itu Kevin.

GerimisWhere stories live. Discover now