Home Is In Your Eyes.

71 5 2
                                    

YUKI

Eksistensi.

Sebuah kata yang mungkin terdengar krusial bagi sebagian orang yang memilih untuk bergaul dengan dirinya sendiri ketimbang memilih ukuran pertemanan sosial yang luas.

Mungkin bagiku itu terdengar sangat biasa meskipun aku termasuk kategori penjelasan diatas.

Bagiku seluruh tanggal di kalender, hari-hari yang berlalu dan setiap detik yang kumiliki adalah sebuah pencapaian monoton. Setiap saat selalu ada tekanan yang sama, entah dari orang lain maupun batinku sendiri. Terkadang perdebatan mental ini berhubungan dengan kondisi di sekitarku, oleh karena itu aku tak pernah benar-benar bersosialisasi dengan orang lain. Hal itu hanya akan membuatku menimbang-nimbang apa yang harus kukatakan. Terlebih lagi memikirkan hal selanjutnya akan sangat melelahkan.

Namaku Nakashi Yuki. Gadis biasa yang menurut kakak sepupuku- Karma- akan populer jika aku menghilangkan kebiasaan menyendiri ini. Namun bagiku semua itu tak ada gunanya untuk menajamin hidupku akan lebih tenang. Bukankah dikerubungi banyak orang akan sangat melelahkan? Kurasa itu hanya berlaku bagi kalangan introvert sepertiku. Karena itu, menyendiri dan berfilosofi sendiri dengan pikiranku akan menumbuhkan kembali energi yang sudah kuhabiskan bersama orang-orang yang berjalan hilir mudik di sekitar.

Aku hanya tahu betapa luasnya dunia, namun, dunia yang kukenal sangatlah sempit. Imajinasi dan seluruh opini diam ini seolah telah mengurung diriku sendiri dalam suatu tempat yang kecil, namun sangat menyenangkan untuk ditinggali. Karena itu, tenggelam dalam imajinasi semu adalah sebuah kesenangan tersendiri, bahkan sejenak menjauhkanku dari keributan dunia nyata.

Namun aku tak pernah merasa delusional terhadap hal ini.

Dunia yang kukenal, adalah rumah dimana aku mendapat semua yang tidak kuinginkan tanpa merasa terbuang. Seperti rumah yang kutinggali di kehidupanku sekarang.

Bersama ibu yang tak bisa mengontrol emosi dan ayah yang pergi entah kemana.

Saat itu kukira dunia bukanlah tempat yang cocok untukku. Bukankah mati lebih baik daripada hidup dengan penuh ketidakpastian dan terus menerus disiksa oleh takdir?

Saat itu kukira kehidupan adalah sebuah lelucon Tuhan yang tidak lucu.

##

ASANO

Aku menatap gadis itu lagi.

Dia selalu duduk di pojok kanan, dua bangku dari belakang. Lebih tepatnya berada di depan Akabane yang notabene adalah sepupunya. Aku tak terlalu sering mendapati dia berbicara dengan orang lain selain dengan si rambut merah itu. Dia punya wajah yang tidak buruk, sebaliknya di atas rata-rata. Rambut lurus kecoklatan dan mata hijau yang polos. Ren pernah berkata bahwa dia sangat terpukau dengan Nakashi Yuki saat melihatnya, sayang sekali dia berakhir dengan hidung berdarah sebelum berhasil menggoda gadis itu. Namun, bukan berarti semua mata jeli melihatnya, selalu terlihat menunduk dan pendiam adalah karakter yang menutupi semua keindahan itu. Peringkatnya juga tak masalah, posisi ke-5 di SMA Kunugigaoka. Pencapaian yang bahkan terdengar sangat mustahil bagi seorang siswi biasa (aku masih mengingat betapa murkanya Seo saat peringkatnya diambil).

Selama ini dia selalu terlihat muram. Menjauh dari keramaian dan terkadang terlihat seperti merenungi sesuatu.

Namun, setiap pagi dia selalu datang dengan mata sembab. Meski disembunyikan, terkadang aku menangkap memar di bagian kulit yang dia coba tutupi.

Barangkali dia hanya terjatuh.

Namun terjatuh bukan suatu kebiasaan, bukan?

Karena itu, beberapa hari yang lalu aku mencoba untuk mengatakannya.

Home Is In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang