Aku tahu aku sering memikirkannya. Menempatkan dia menjadi sosok yang sering tiba-tiba hadir di pusat pikiranku. Kehadirannya begitu istimewa. Mengisi celah-celah ruang yang sudah tak terisi oleh rasa yang indah. Semua cinta hilang hingga akhirnya dia datang. Menjadi seseorang yang memberi pencerahan pada pola pikirku. Dia mengedit seluruh sistem yang terancang pada saraf pusatku. Menjadikan semuanya berubah. Dan akhirnya, rasa itu ada. Tanpa aku jelaskan maknanya.
“Aku…aku mestinya bilang ini dari dulu. Dari awal…” suaranya terdengar datar.
“Bilang…bilang kalau…” aku turut menekan suaraku.
Aku mengubah posisi dudukku. Aku sedikit menjauh. Mengambil beberapa jarak. Aku tahu dia tidak nyaman jika kami sedekat ini. Aku bisa leluasa mengamati setiap sudut wajahnya. Aku bisa menjajah mimik yang dia gambarkan nyata tanpa dibuat-buat.
“kenapa menjauh?” dia terlihat bingung dan gugup. Dia memang orang yang ekspresif. Amat mudah menggambarkan apa yang dia rasakan.
“aku cuma ngerasa kamu nggak nyaman…bukankah begitu?” jawabanku rupanya tidak dia hiraukan.
Ternyata, tadi hanya pertanyaan retoris. Tidak butuh jawaban. Sambil membenahi posisi duduknya agar sama seperti kedudukan semula dia berkata,
“aku bingung”
“aku tahu. Tapi, aku nggak tahu alasannya. Apa susah buat dijelasin?” aku berusaha menekannya. Agar kami tidak terlalu basa-basi. Aku sudah terlalu lelah. Menunggunya 30 menit untuk sekedar diam-diaman.
“susah…” dia leih gugup dari sebelumnya. Lebih dari berpuluh menit yang lalu.
“mungkin, memang kamu nggak pengen bilang apa-apa. Aku tahu. Terlalun susah kan? Dan, jangan dibuat lebih susah lagi. Sudah, jangan dilanjutin. Aku nggak mungkin maksa kamu buat ngomong kan?” nada bicara kelewat tinggi dari yang ku pikirkan. Dan, ekspresiku nyaris seperti orang yang baru saja di-PHK tanpa alasan. Aku bangkit dari kursiku dan tak mau lagi menahan diri pada sudut yang sama.
“aku capek. Aku pulang.” Inilah kejujuranku. Yang mungkin perih didengar. Tapi, ini kebenaranya. Aku kecewa. Dia terlalu bertele-tele. Dari awal perteman kami, dia hanya berbicara beberapa patah kata. Selebihnya, kami bersama dalam kekosongan. Tapi, wajahnya begitu lekat di pelupukku. Mengisi sebinar cahaya yang lama tak ku tangkap. Kebahagiaan.
“jangan…” dia menahanku. Jemarinya meraih jemariku. Tangannya dingin dan berkeringat. Kegugupannya ternyata melebihi kapasitas kegugupanku.
“aku…aku suka…suka kamu…” dia melepas genggamannya. Terbata-bata kalimat itu di lontarkan. Ini menjadi babak yang sempurna yang ku tunggu. Sudah lama ingin ku dengar. Akhirnya, ini sukses mengakhiri penantian panjangku.
Aku memblikkan badan, “aku mungkin juga sama kayak kamu…” aku menatap matanya. Ternyata, aku jauh lebih berani. Pandangan kami bertabrakan. Aku nyaris terbius. Makin menikmatinya.
“tapi, ini nggak mungkin. Aku nggak pantas buat kamu. Kamu berhak mendapatkan yang jauh lebih baik.” Dia langsung menjauh.
“…” aku Cuma bisa diam. Antara membenarkan dan memberontak. Lalu, kami kembali pada ingatan lama…
Aku dipertemukan dengan gadis ini ketika keluargaku sudah di ambang kata perpisahan. Mama dan papa yang setiap hari Cuma bisa berteriak, saling menyalahkan, saling lempar tanggung jawab. Mereka egois untuk menyadari kesalahan masing-masing. Muak aku, harus betah mendengar celoteh mereka. Belum lagi, tututan mereka yang terlalu tinggi kepada anak semata wayangnya.
Lalu, gadis ini datang. Dia bukan cewek ingusan yang biasa kutemui di sekolah. Bukan gadis yang baru menginjak masa pubertas.
Cara berpikirnya sungguh luar biasa. Kontradiksi dengan pola pikirku. Kami manusia yang amat berbeda, tapi anehnya kami mudah untuk disatukan.
Dia bagai penyelamat. Bisa menjadi tong sampah ketika aku butuh menumpahkan kepenatan. Bisa menjadi obat ketika aku butuh suntikan motivasi. Bisa menjadi pawang ketika aku butuh diarahkan. Iya, dia benar-benar tampil menjadi sosok bersayap putih.
“kamu luar biasa.” Kataku suatu kali.
“aku begini karena aku pernah mengalami masa-masa seperti kamu. Jauh lebih parah malah.” Karena keteguhannya aku yang sempat tidak percaya pada keindahan mangasihi berubah menjadi seseorang yang percaya bahwa cinta memang ada. Dan, itu pada gadis ini.
Namun, aku sadar, ini pasti tidak mudah. Menyukai gadis ini bukan perkara yang mudah. Aku pasti dicela. Mama, papa, teman-teman. Semua pasti tidak akan menerima. Lalu, dia membuyarkan lamunanku. Dan berkata,
“shani, ini nggak akan mungkin. Kamu tahu itu. Dan aku sadar betul soal ini.”
“iya, tapi ini nggak adil vin. Kenapa? Karena kita sama?” kataku berkilah.
“bukan.”
“jadi? Kamu takut dicela, dihina, dianggap sampah?”
“bukan. Tapi, aku takut kamu nggak bisa mewujudkan mimpimu jadi seorang ibu nomer satu di dunia.”