Penasaran

25 3 2
                                    


Isak tangis menggema terdengar dari bangunan besar bercat cokelat putih tersebut. Busana hitam hitam nampak jelas berlalu lalang. Aku menatap bingung bercampur penasaran pada isi banguna bercat cokelat putih tersebut. Apakah gerangan yang telah terjadi? Lantas, mengapa puluhan manusia berbusana hitam hitam nampak berlalu lalang? Serta isak tangis menyedihkan terdengar pilu? Hei, lihatlah bukankah itu Ibu, Ayah dan Adikku? Mengapa mereka menangis? Duduk mengelilingi seenggok manusia pucat kaku sambil menangis? Mengapa mereka ada disana sedangkan aku masih berdiri disini? Tunggu, ini seperti rumahku, apa yang salah? Ada yang tertarik menjawab pertanyaanku? Aku begitu penasaran. Tidakkah kalian juga penasaran? Ingin tahu kebenarannya? Aku juga. Kalau begitu maukah kamu bersamaku beberapa menit kedepan untuk membongkar rasa penasaran ini?

***

Semua bermula pada saat sekolahku menjalankan program tahunannya 'Tour ke tempat bersejarah' Awalnya aku tidak tertarik dengan program tahunan ini. Sama sekali tidak. Sayangnya, sekolah tak menerima alasan tak tertarik pada program ini. Oh iya, sebenarnya aku begitu lancang bukan? Bercerita tanpa berkenalan, hehehe. Mau berkenalan denganku? Baiklah, jika kalian sedikit memaksa. Perkenalkan namaku Adhea Achandra, orang-orang memangilku Dhea. Hm, sebenarnya namaku tak penting dalam cerita ini. Karena yang terpenting adalah mengungkap misteri ini. 

Ku rasa kalian sedikit bosan dengan cerita ini yang masih ini ini saja. Baiklah, akan aku ceritakan sedikit demi sedikit. Bersabarlah, karena sabar adalah sebuah kunci kehidupan. Jangan sampai terlambat belajar bersabar, seperti aku yang begitu terlambat memahami makna kata 'Sabar'

Pagi itu, di lapangan sekolah beberapa bus sudah berbaris siap berangkat menuju tujuan dalam program tahunan ini. Beberapa temanku juga baru sampai di sekolah sama sepertiku yang masih berada di dalam mobil bersama keluargaku. Yah, mereka mengantarku ke sekolah kali ini. "Dhe, ingat ya jangan terpisah nantinya" suara ibuku mengisi keheningan yang sempat tercipta. Aku hanya membalas dengan anggukan serta seulas senyum samar. Entahlah, aku masih tidak bersemangat mengingat aku tidak tertarik pada program ini.

Aku begegas turun dari mobil dan mengambil barang-barangku di bagasi mobil. Tak lupa berpamitan pada Ayah, Ibu dan Adikku. Aku berjalan menyusuri rumput-rumpt basah akibat embun. Huh, rasanya langkahku sangat berat, seandainya saja aku bisa merasakan langkah yang sangat ringan bagaikan hembusan angin. "Hei Dhea bergegaslah" itu suara guruku. Sangat tidak sabaran bukan? Huh, aku menghembuskan napas pelan lalu melangkah menaiki pijakan bus yang akan ku tumpangi. "Hai" aku berbalik mendengar sapaan tersebut, oh rupanya teman sekelasku yang nantinya akan menjadi teman sebangku ku dalam beberapa jam kedepan. Aku hanya memberikannya seulas senyum sebagai ganti sapaannya. Lalu kuletakkan tasku di depan kaki ku, lantas perlahan ku letakkan badanku di atas kursi. Rasanya sangat lelah padahal perjalanan belum mulai.

Perlahan bus yang ku tumpangi mulai bergerak meninggalkan sekolah. Kulihat adik dan ibuku melambaikan tangan meski tak melihatku sebab kaca bus yang gelap. Beberapa menit pertama kuhabiskan dengan memandang langit-langit bus. Selanjutnya memikirkan apa yang akan kulakukan disana jika semangat ingin pergi saja tidak ada. Beberapa menit berikutnya, aku mulai bosan, ku putuskan mengambil novel yang sengaja kuselipkan di dalam tasku.

Entahlah, berapa menit yang kuhabiskan membaca novel ini. Kepalaku pening. Perlahan ku pejamkan mataku. Entah berapa lama, karena pada saat aku membuka mata bus yang ku tumpangi perlahan mengurangi kecepatan. Lalu, guru-guruku mulai berdiri dan mengatakan bahwa kami telah sampai. Ku regangkan otot tubuhku, puuhh sangat membosankan. Aku pun mengambil tasku lalu melangkah turun dari bus.

Pijakan pertama aku disambut oleh semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku. Aroma khas hujan masih tersisa pada tanah menandakan hujan baru saja menemani kota ini beberapa menit yang lalu. Aku tidak tahu seberapa lama hujan itu yang pastinya aroma khas nya begitu menenangkan. Aku sedikit melupakan kekesalanku akibat tak bersemangat mengikuti tour ini. Sejauh mata memandang. Pepohonan, suara serangga dan burung, serta jalur yang menanjak nan becek khas tanah lembek diguyur hujan. Ada keheningan yang seperti mengisolasi dan memberi perasaan was-was.

Setelah memastikan tak ada siswa yang masih berada di bus, para guru yang ikut bersama rombongan ini memerintahkan meengikuti jalur menanjak tersebut. Setelah beberapa menit rombonganku perlahan berhenti. Kami disuguhkan hamparan bangunan tua namun unik membuat semangatku yang tadinya redup perlahan bangkit. Aku tercengang, sungguh. Walaupun sudah tua, bangunan ini sangat memukau. Tatanannya, bentuknya, ukurannya, seperti lukisan di dalam kanvas. Sungguh teratur. Tak sadar, langkah kakiku membawaku menuju salah satu bangunan. Pikiranku seperti disedot dan hanya menyisakan satu hal, yaitu melangkah mendekat bangunan tua itu. Tak ada yang menyadariku, dan akupun tak peduli. Satu hal, aku harus mengamati bangunan itu lebih dekat, lebih dekat, lebih dekat lagi, lagi dan lagi. Hingga aku berhadapan dengan pintu salah satu bangunan.

"Hai" aku tersentak saat bisikan itu merambat melalui telingaku. Aku perlahan berbalik, kudapati seorang anak perempuan seusiaku tengah tersenyum kepadaku. Tunggu sebentar, sepertinya ada yang aneh pada wajah perempuan itu. Aduhh, bahkan wajah normal pun seakan pudar dalam ingatanku. Aku membalas senyumnya, entahlah pikiranku kosong. Yang aku tahu dia mengajakku memasuki bangunan dihadapanku. Angin berhembus pelan, sangat pelan membuatku sedikit merinding. Perlahan tapi pasti kakiku memijak pada lantai—oh tidak, pada tanah becek. Setelah tubuhku benar-benar memasuki banguan tua tersebut, suara derit pintu tertutup terdengar menggema di dalam bangunan ini. Ku pandangi sudut demi sudut bangunan tua ini, sekali lagi aku tercengang. Bangunan ini—kosong melompong. Adduh, sekali lagi aku tak peduli, kalian tahu? Pikiranku benar-benar kosong sekarang. Lupakan nasihat ibu pada saat masih didalam mobil. Lupakan arahan guru agar tak terpisah dari rombongan. Dan lupakan tentang tour ini. Yang pasti aku hanya mengikuti arah anak perempuan seusiaku tadi—yang bahkan tidak kuketahui namanya.

Gelap, semakin dalam kakiku melangkah tak ada satu pun cahaya menerangi. Entahlah, sejauh mana kakiku melangkah seakan tak berkesudahan. Tepat diakhir kalimat tadi, kakiku berhenti melangkah. Hei, ada apa? Sudah sampaikah? Tiba-tiba angin kencang berhembus disusul cahaya yang menyilaukan mata seakan merasa terganggu oleh kedatanganku. Beberapa menit setelahnya, angin disusul cahaya yang menyialukan perlahan berhenti digantikan keheningan dan cahaya remang-remang. Perlahan ku buka kedua mataku yang sempat terpejam. Tidak ada apa-apa. Lagi-lagi kosong. Ku tajamkan penglihatanku. Oh tidak, bagaimana mungkin mataku sempat tak melihat apa pun padahal disekelilingku begitu banyak makhluk hidup yang memandangku dengan—tatapan aneh?

Hei aku merasa ada yang janggal pada orang-orang tersebut. Entahlah, aku seakan lupa pada rupa wajah manusia normal seperti apa. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat de—salah satu diantara mereka melangkah mendekatiku—bukan gadis seusiaku tadi. Perlahan wajahnya nampak jelas dimataku dan—hei dia tersenyum? Percayalah jika kalian yang melihatnya mungkin tak paham apa yang ia lakukan. Senyumnya—jika itu memang senyuman, sangat aneh. Benar-benar aneh.

Dia berhenti tepat dua langkah didepanku. "Hai" lagi-lagi aku tersentak saat bisikan itu merambat tepat di telingaku. Sepertinya aku harus membiasakan diri. Dia tertawa kecil—hei apa ada yang lucu?. Kemudian ia menatapku lamat-lamat, lantas mengatakan "Selamat datang, wahai manusia penasaran" Manusia penasaran? Hei apa yang sedang ia katakan? Lupakan pikiran konyolku karena beberapa menit lagi kalian akan mengetahuinya.

"Sungguh, Wahai Manusia penasaran, tidakkah tertarik bergabung dengan kami?" apa yang ia katakan? Bergabung? Bersamanya? Lantas kucoba mengeluarkan suaraku—walau begitu sulit seakan ada yang mengganjalnya. "Siapa kamu? Dan kenapa aku harus bergabung bersama kalian?" kira-kira seperti itu pertanyaanku—kau tahu mengeluarkan suara saat ini sangat sangat sulit. "Sungguh, Wahai. Hidup kami menjanjikan ketenangan abadi. Melangkah bagai angin. Bebas bagaikan air. Dan tenang didalam kegelapan. Bukankah kau ingin seperti itu? Bebas? Sungguh,wahai Manusia Penasaran jika kamu setuju dengan janji alam kami maka terimalah tanganku ini" katanya sambil mengulurkan tangannya.

Sesaat lengang menguasai. Aku bingung namun juga penasaran. Apa yang ia maksud? Melangkah bagai angin? Bebas bagai air? Dan tenang didalam kegelapan? Aduh, jika aku dalam kesadaran penuh, otakku akan berpikir bagaimana bisa? Melangkah bagai angin? Bebas bagai air? Dan tenang didalam kegelapan? Aduh, omomg kosong bagaiman caranya? Namun itu jika aku dalam keadaan sadar. Tapi sekarang? aku seperti amnesia dadakan, yang bahkan berpikir pun seakan lumpuh.

Uh omong kosong. Tanganku langsung terulur kearah tangannya. Menjabat tanpa ragu. Seketika seperti ada hentakan penuh kekuatan didalam tubuhku. Sepersekian detik tubuku luruh bagai air, melayang bagai angin, dan bebas bagai udara.

Aku tak tahu apa yang sedang terjadi sebelumnya. Namun satu yang ku tahu.

AKU SUDAH MATI

Ini CeritakuWhere stories live. Discover now