Liburan tengah semester mejadi alasan bagi Clau bersama keluarganya berpiknik di daerah terpencil. Yah, suasana tenang dan menyejukkan menjadi alasan Clau meminta Pantai untuk tempatnya liburan. Tak masalah. Gadis itu memang penyuka ketenangan begitupun orang tuanya, jadi tak masalah bagi keluarganya.
Sepuluh jam perjalanan terbayar sudah oleh keindahan dan ketenangan pantai dihadapan Clau bersama keluarganya. Semburat senja menyambut kedatangan gadis tersebut. Sungguh indah. Setelah menikmati senja, Ayah Clau mulai mendirikan tenda, Ibu Clau merapikan barang bawaan mereka lalu mengeluarkan peralatan memasak, dan Clau sendiri membantu pikinik mereka dengan mencari ranting kayu untuk dijadikannya kayu bakar.
Melangkah di keheningan malam bukan masalah besar bagi Clau. Ia sudah terbiasa. Piknik adalah cinta pertamanya. Keheningan, ketenangan adalah sebagian dari dirinya. Tak ada masalah dalam beberapa menit sebelumnya. Hingga angin berhembus kencang menerpa pori-pori kulit Clau menjadikan gadis itu sedikit merinding. Satu, dua, tiga, empat, lima—huh baru sepuluh ranting yang ia dapatkan. Entahlah pertanda apa ini. Biasanya akan sangat mudah mendapatkan ranting pohon. Kakinya sedikit kelelahan, dingin sudah membungkus sebagian kulitnya, ditambah sakit kepala yang iba-tiba menyergap dikala angin berhembus. Ada yang salah. Clau juga tahu itu. Tapi ia bertekad untuk mendapatkan lebih banyak ranting, setidaknya untuk memasak dan api unggun malam ini.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Hingga sepuluh menit berlalu Clau tak mendapatkan ranting lagi. Tanah tempatnya berpijak begitu bersih dari ranting-ranting. Mungkinkah sebelum Clau beserta keluarganya tiba, ada orang lain yang lebih dulu tiba? Lantas hanya menyisakan sepuluh ranting untuk keluarga Clau? Sepertinya terlalu khayalan. Namun, memang keadaanya seperti itu, hingga—Brukk. Clau baru saja menbrak seorang anak laki-laki seusianya. Hei, dari mana datngnya laki-laki ini? "Hai" bisikan itu menyadarkan Clau dari lamunannya sekaligus tersentak sedikit merinding dengan bisikan itu.
Perlahan Clau mengangkat wajahnya menatap laki-laki seusianya dengan raut heran dan sedikit kaget. Laki-laki itu tertawa kecil melihat ekspresi Clau. "Hai" kembali disadarkan oleh bisikan itu. Clau perlahan membuka suaranya dan membalas menyapa. Lagi, laki-laki seusianya itu tertwa kecil. Lalu berkata, "Apa yang kau lakukan disini?". Kalimat pertama setelah dua kali mengatakan 'Hai' dan dua kali tertawa kecil. Clau lagi-lagi tersentak, lalu menjawab "Euhm..a...aku mencari ranting" entah sebab apa Clau berbicara tersendat. Entah karena tatapan selidik laki-laki itu atau angin yang sedari tadi tak berhenti berhembus kencang membuatnya sedikit merinding.
"oh ranting, hei lihat berapa ranting yang kau dapatkan?!" kata laki-laki itu sambil sedikit tertawa. "oh iya kita belum berkenalan bukan? Siapa namamu?". "Claudia" kata Clau singkat, sepertinya akibat angin yang terasa mengerikan membuat Clau sedikit kesulitan mengeluarkan suaranya. "Claudia? Oh baiklah aku Ten" katanya sambil tersenyum kearah Clau. Ada yang berbeda sedari tadi. Biasanya jika Clau bertemu seseorang dalam pikniknya—apalagi dalam kegelapan, ia akan merasakan sedikit tenang. Namun semenjak bertemu dengana laki-laki seusianya yang sampai sekrang masih berdiri di hadapnnya, tidak membuatnya merasa tenang namun sebaliknya. Clau sedikit gelisah dan—takut.
Tak ada respon lain dari Clau selain tersenyum canggung lantas mengangguk pelan. "Hei Clau apakah kau tidak ingin kembali ke kemahmu di pinggir pantai? Kau sudah berdiri di sini selama delapan menit, sementara langit makin malam, kembalilah aku juga harus kembali, bye-bye Laudia" kata-kata itu—lebih tepanya bisikan itu serasa mendengung hebat di telinga Clau. Seperti ada yang membuat kesadarannya hilang lantas bebarapa detik kemudian gadis itu berbalik mencari kemana gerangan anak laki-laki tadi yang mengaku bernama Ten. Tidak ada. Tepatnya Ten sudah menghilang bak ditelan keheninga malam.
Angin kembali berhembus. Kali ini sedikit lebih pelan. Menyisir pelan rambut Clau lantas membuat si empunya merinding. Tak ingin berlama-lama, Clau segera beranjak lalu melangkah terburu-buru kembali ke pesisir pantai. Puh, raasanya sangat lega ketika matanya memandang kearah Ayah dan Ibunya yang sedarii tadi menungg kedatangnnya. "Clau, Where have you been?" suara Ibu Clau menjadi sambutan Clau. Clau hanya menganngguk dan tersenyum lalu menunjukkan sepuluh ranting yang ia bawa. "Clau, ibumu sangat khawatir, kenapa terlalu lama?" kali ini suara Ayahnya memecah kesunyian. Clau hanya menjawab dengan singkat serta senyum samar, "Let me worry about myself mom". Hanya itu yang bisa ia katakana. Entahlah suaranya seperti terkuras.
Perlahan ibu Clau melangkah mendekati gadis itu yang masih terlihat kaget serta ekspresi bingungnya. "Kemarikan rantingnya, sayang" pinta Ibu Clau. Seperti ada sesuatu didalam benak Clau yang dirampas secara paksa. Seperti robot gadis itu memberikan sepuluh ranting yang sejak tadi ia peluk. Kemudian melangkah mengikuti ibunya yang tengah menyiapkan makan malam. Setelah makan malam dan sedikit berkemas, Clau memasuki tendanya. Ia tidur sendiri—tentu.
Deru napas tertahan tak beraturan menjadi awal Clau bangun pagi itu,. Masih dengan napas terssengal Clau melirik jam di lengannya '01:00' menandakan ia baru saja tidur empat jam. Gadis itu menghembuskan napas pelan, jika diingat ini adalah kali keduanya tidur begitu singkat pada saat berpiknik. Setelah kejadian lima tahun silam tepat kali pertama gadis itu tidak bisa tidur—pertama kali tidur sendirian pada saat piknik.
Perlahan kakinya melangkah keluar tenda, lalu menuju bibir pantai. Tepat ketika ombak kecil menerpa jari jemarinya, angin disusul lolongan anjing malam membuat ketenangan gadis itu lenyap. Ia melirik ke kanan dan kirinya, lalu mengusap tengkuknya—ia seperti tengah diawasi. Oh Lord, ini kali pertamanya tidak menikmati pikniknya bersama orang tuanya.
Tak terasa, matahari mulai menduduki singgasananya, angin pagi membawa aura positif sedikit membuat Clau tenang. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah belakangnya. Ketika gadis itu berbalik—oh Lord, lihatlah kedua orang tuanya bergaya seperti---uh entahlah, yang pastinya mereka sangat aneh. Lalu cengiran ibu disertai kalimatnya menjawab tingkah aneh mereka "Uhm.mm..sepertinya kita ketahuan,hehehe" katanya seraya melirik Ayah Clau. Lalu ayah dan ibu Clau melangkah mendekati anak gadisnya yang masih kelihatan tidak sesemangat kemarin. Ayah Clau menepuk pundak anak gadisnya seraya berkata, "Hey Clau Good Morning, rise and shine! Ok?" tak lupa mengepalkan sebelah tangannya lalu meninju udara. Clau sedikit tenang oleh sikap orang tuanya, perlahan gadis itu tersenyum lantas berkata, "Good morning"
Setelah semangat gadis itu kembali, ia mulai melangkah—kembali, kedalam hutan untuk mencari ranting. Satu, dua, tiga,—puhh lai lagi hanya sepuluh ranting yang ia dapatkan. Rasa gelisah mulai menyerang batin gadis itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, gadis itu mempercepat langkahnya kembali ke area perkemahannya bersama ayah dan ibunya—tentu. Namun belum sempat berjalan tiba-tiba tubuhnya seperti ditabrak. Gadis itu sangat kaget telihat dari rauut wajahnya yang begitu tegang. "Hai Laudia" belum reda raut kageetnya kini harus bertambah pada saat bisikan itu seakan menyapu pelan tengkuknya hingga ia merinding. Saat berbalik gadis itu menemukan Ten berdiri sambil tersenyum. "Hai Laudia, ranting—lagi?" tebak Ten disusul tawa kecil. Clau masih belum bisa meredam rasa kagetnya, hingga membuat Ten lagi-lagi tertawa kecil. "Hm, Laudia mau mampir dirumahku? Nenekku sangat penasaran padamu saat aku menceritakan dirimu, mau?" tak ada respon yang ditunjukkan Clau saat itu. "Hai Laudia, kau kenapa?" Tanya Te sekali lagi, dan kini mendapat respon dari Clau berupa gelengan pelan. "Hufftt...baiklah Laudia, maukah kau bertemu nenekku dirumah?" Tanya Ten sekali lagi. Walau ragu Clau menerima ajakan Ten untuk bertamu dirumahnya.
Langkah kaki Ten menyusuri hutan lebih dalam. Hingga menghabiskan beberapa menit untuk sampai di rumah yang Ten maksud. Clau memandang rumah itu dengan tatapan heran. Entah, dipikiran Clau rumah Ten seperti—aneh. Oh Lord, tapi Clau sendiri tidak paham apa yang berbeda—aneh dari rumah Ten ini. "Hai Laudia" lagi-lagi bisikan tersebut menghentar Clau kembali sadar dali lamunannya. Beberapa langkah didepannya, berdiri seorang wanita tua berpakaian—aduh bahkan Clau berani bertaruh takkan ada yang tau pakaian apa yang tengah wanita tua itu pakai. "Hai Laudia, senang bertemu denganmu, ayo masuklah" ajak wanita tua—yang tidak Clau tahu namanya. Saat pijakan pertama Clau loloskan ke dalam rumah Ten, ada gelayar aneh di tubuhnya. Merinding menyelimuti seluruh tubuh Clau
Tak ada yang tahu, tepat saat Clau memijakkan kakinya ke dalam rumah itu, saat itu juga hari ke sepuluh Clau hilang di dalam pulau tersebut. Orang tuanya mencari bantuan warga kampung yang hanya beberapa rumah. Mencari Clau yang hilang saat mencari ranting. Saat malam menyambut, orang tua Clau bersama warga menemukan Clau terbaring di sebuah gundukan tanah dengan keadaan mengenaskan—entah apakah masih bernyawa ataukah tidak.
Seketika suara tangis histeris Ibu Clau menjadi sambutan ditemukannya Clau dalam keadaan tak bernyawa. Satu hal yang semua orang tahu pada saat itu, Clau pergi bersama dengan misteri sepuluh menit mencari ranting, sepuluh ranting, sepuluh hari di gundukan tanah, dan tepat jam sepuluh malam gadis itu dinyatakan sudah tak bernyawa. Karena semua orang tahu, pulau Sepuluh adalah pulau keramat dengan semua awalan sepuluh.
Bersama dengan iringan angin kencang berhembus, suara lolongan hewan malam, suara tangis pilu, beserta suara-suara alam lainnya menjadi penghantar kematian seorang gadis bernama Claudia Tenita.