Tak semua benih tumbuh dengan kesamaan antara satu dengan lainnya.
Tak selamanya cinta muncul tepat pada masa yang kau sebut dengan remaja.
Tak semua hati menerima sosok pesinggah dan menjamu dengan ramah.
Aku bukan salah satunya, semenjak...dia
Senin, 23 Juli
Sekolah dibuka kembali yang artinya awal tahun pelajaran dimulai. Teman sekelas baru akan dipertemukan. Kepemilikan bangku akan segera dilakukan, "Kubu rebahan segera penuhi bangku belakang" katanya. Berdesakan saat antre di kantin dinantikan, para pembeli setia yang ditunggu-tunggu. Lapangan tak akan sepi, dentuman bola basket akan terdengar kembali dengan tawa dan tetesan keringat yang mengikuti.
Dan disitulah aku akan melihat kembali, kamu.
Yang diharap, selama libur sekolah berlangsung.
Yang ditunggu.
Jam masih menunjukan pukul setengah tujuh kurang. Keadaan kelas saat ini masihlah sepi. Hanya ada beberapa murid yang setengah diantaranya aku kenal. Sebentar menyapa dan berkenalan pada mereka yang sialnya tahun ini sekelas denganku. Diriku bukanlah Si Pintar maupun Rebahan Club, jadi kuputuskan untuk menduduki bangku barisan tengah lurus dengan papan tulis. Setelah menyapa kembali teman kelas dan mengobrol sebentar aku pamit untuk pergi keluar kelas. Pergi menuju Aula, diam-diam kudekati papan pengumuman pembagian kelas awal tahun pelajaran ini. Hanya ada beberapa orang yang berdiri di depan papan 1×1,5 meter itu. Mataku secara perlahan menelusuri setiap baris nama pada beberapa lembar kertas yang tertempel berderet di atas papan itu sampai akhirnya kutemukan...dia.
"Engga jauh" cicitku.
Kutelan kembali senyumku saat sadar dibelakangku ada beberapa murid lain yang sedang mencari kelasnya di papan pengumuman. Perlahan mundur lalu menjauh, kali ini aku mengambil jalan yang berlawanan dari arah aku datang. Kemana lagi jika bukan kelasnya kan?
Selama perjalanan menuju kelasnya senyum-senyum merekah dan tak bisa kutahan, seakan otot-otot pipiku bersatu melawan kehendak otakku. Sesampainya kuintip sebentar isi kelasnya melalui celah pintu yang terbuka. Masih dengan sikap was-was siapa tau aku dikira penguntit-walau sepertinya begitu. Bahu lebar dengan surai hitam acak-acakkan kutemukan. Duduk dibarisan paling depan sambil earphone terpasang dikedua telinganya. Kedua matanya ia edarkan ke langit-langit kelas.
"Met? Cari siapa?" sebuah suara diikuti tepukan pelan pada pundakku membuatku terkaget sejenak. Kutolehkan wajahku bertanya-tanya siapa yang secara gamblang memergokiku mencuri pandang dengan salah satu makhluk dikelas ini.
"Oh si mas-mas basket kita? mau aku panggilkan?"
"Eh, Wan...bukan kok"
"Engga dipanggil juga kesini kok anaknya"
Seketika itu juga tubuhku mematung, rasanya susah sekali leherku untuk sekedar menengokkan kepala. Dahiku mengerut tanda mempertanyakan kebenaran dari pernyataan Wandi tadi.
"Wan, sekelas kita?" ah, suara itu.
"Kelas sebelah, nih di cari Meta. Gua duluan"
"Meta?" tepat saat namaku terpanggil olehnya, badanku berhasil menghadap kearahnya.
"Assalamualaikum Farren, hehe" kekehanku keluar begitu saja menutupi kegugupanku.
"Kita engga sekelas kan?"
"Engga" ah untunglah pemahaman mas-mas basket milik Wandi berbeda denganku.
"Oiya, Bunda bilang hp nya lagi rusak jadi tolong sampaikan ke mamahmu untuk sementara kalau ada apa-apa ngehubungin lewat telfon rumah aja ya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya, | Ineffablewamen
Teen FictionGedung sekolah nampaknya berubah, terlihat jelas hasil renovasi sana-sini dibeberapa sudutnya. Begitupula dengan kami yang datang sekedar melepas rindu, bertemu mereka yang dulu suka melucu, menebar tawa, menyumbangkan tawa. Mereka yang satu persatu...