"Kita selesai sampai sini", ujarmu yang tengah dibalut emosi
"Iya", jawabku tanpa basa basi, aku lelah mendengarmu yang selalu ingin putus, selalu ingin pergi, selalu, ketika kau marah.
Aku pergi meninggalkanmu yang seolah ingin menahanku, sejenak aku menoleh ke arahmu dan matamu mulai memancarkan kesedihan. Namun aku terus berjalan dan pulang, menenggelamkan kepalaku dalam bantal hingga sesak tak lagi ku rasa.
"May.. Maya, buka may, aku minta ma'af"
Aku tersentak, pagi sekali pintuku diketuk pelan, dan suara itu sangat aku kenal.
"Kamu ngapain kesini? Ayok turun, turun", ucapku sembari mendorong pelan tubuhnya untuk pergi ke beranda rumah.
"Aku minta ma'af, aku gak akan ngulangin lagi, aku khilaf, aku takut kamu pergi, aku takut may", ia menumpahkan semua air matanya, aku diam.
"May ma'afin aku, aku mau nurutin semua yang kamu mau may, may please", lanjutnya, dan aku masih diam, bingung. Aku juga terluka, keluargaku sudah terlanjur kecewa.
May masih sayang Rey.
"Aku belum bisa", akhirnya kalimat itu terucap, aku belum bisa menerima kamu lagi, keluargaku masih meradang, tidak rela anak wanitanya diputus dan dikatain seperti itu.
"Kenapa? Aku takut kehilangan kamu may", lanjutnya lagi masih dengan terisak
"Iya gak bisa rey, lakukan seperti yang biasa kamu lakukan, kamu ingin bebas kan? Kamu bisa lakukan seperti sebelum-sebelumnya, terluka, patah, kemudian mencari yang lain lagi", jelasku, "kamu pulang ya, aku mau kerja, nanti terlambat".
May masih sayang Rey, tapi keluarga May lebih penting bagi May.
"Assalamualaikum may, may ada apa? Kenapa Rey pulang-pulang seperti ini? Ada masalah? Cerita sama Ibu", ucap wanita disebrang sana, iya Ibu Rey.
"Tidak apa-apa ibu", jawabku seadanya, menahan isak di ruangan biasa tempat aku konsultasi.
"Gakpapa gimana? Rey pulang kayak gitu keadaannya, kenapa? Cerita ke Ibu. Rey ngatain kamu apa? Masalahnya apa?"
Aku tetap tidak menjelekkan namamu didepan Ibu, biar saja Ibu mengira aku wanita jahat.
"Kenapa gak cerita dari kemaren-kemaren May, kalau Ibu tau masalahnya, Ibu sudah selesaikan masalahnya. Kenapa Ibu kamu yang duluan tau? Kalau sudah begini kami gak bisa apa-apa, kecuali May yang membujuk keluarga May. May rencananya 4 bulan lagi kami mau ke rumah May, ketemu keluarga May. Rey itu sayang sama kamu May", jelas Ibu Rey panjang lebar, mataku memanas dan aku hanya menangis dan meminta ma'af. Telpon itu pun akhirnya mati. Aku menangis sejadi-jadinya. Belum bisa, belum bisa kembali, kecewa sudah terlanjur.
May sayang Rey.
***
"Sore bisa ketemu may?", tanya Rey
"Mau kemana?", jawabku
"Kemana pun kamu mau", jawabnya
***
"May aku di bawah"
Aku membuka pintu mobil dan masih saja diam, menunggu apa yang mau dia bicarakan. Rey kembali menumpahkan air matanya, Rey lagi-lagi meminta kembali. Rey menghentikan mobilnya, memandangiku yang seketika terlelap disebelahnya, disandarkan kepalaku di bahunya. Aku tidak benar-benar tertidur, aku hanya terpejam, lelah seharian bekerja dan menangis. Kurasakan tangannya membelai lembut pipiku, dan membenarkan letak rambutku.
Ahh May sayang Rey!!!!
Teriakku dalam hati.
Seketika aku terbangun, ada harap dalam tatap Rey. Aku memeluknya erat, Rey balas memelukku erat.
"Aku takut May, aku takut hati kamu sudah tertutup, aku takut kamu pergi, aku sayang kamu May", ujarnya.
May juga sayang Rey. Ucapku dalam hati.
Tidak bisa Rey untuk sekarang, bagaimanapun sayangnya aku sama kamu Rey, keluarga tetap paling penting, restu mereka paling penting.
"Makasih ya May", ucapnya sebelum aku benar-benar turun dari mobilnya.
***
Aku masih mengiriminya pesan, begitupun dia. Tugasku hanya supaya ia kembali makan dan kembali bisa tidur nyenyak.
Sabtu ini aku pergi dengan pria yang selalu kau cemburui, padahal jelas-jelas aku tidak menaruh perasaan apa-apa padanya. Rupanya kau masih sakit, kau cerita pada Ibumu. Aku kembali di telpon oleh Ibumu.
Minggu pun begitu, perkara aku pergi jalan dan kau masih tidak mau makan.
"Ibu kasian sama anak Ibu, May. Tolonglah. Dia nggak mau makan, dia di dalam kamar terus, mau jadi apa dia May?! Ibu kasian sama anak Ibu. Jangan-jangan kamu juga punya perasaan sama cowok itu? Kalau sudah gak mau sama Rey, Yasudah!!, nggak usah bilang Rey kalau kamu jalan. Kalau Rey gak terikat kontrak, sudah Ibu suruh keluar dia May", ucap ibu, "jangan kasih tau Rey kalau Ibu telpon kamu, nanti dia marah sama Ibu".
Aku meremas handphone ku dan membantingnya.
Ibuku saja tidak pernah mengomeli dia ketika Ibu mendengarku menangis dibalik telpon, ketika tau dia berulang kali pergi bersama orang lain. Ibuku tidak pernah memojokkan siapapun. Kamu masih enak Rey, di rumah, menangismu masih ditemani keluargamu. Aku? Aku sendirian, tanpa keluarga, dan kau memanjakan emosimu memarahiku waktu itu. Dan apa? Kali ini seolah aku yang bermain belakang, seolah aku yang salah, seolah aku yang memutuskan?
Tidak terbaca sedikitpun apa arti aku selama ini, memberitahunya kalau aku pergi bersama yang lain bukan berarti aku sudah selesai dengan perasaanku, sedangkan setiap malam aku masih terisak, mengirimi atau membalas pesannya dengan singkat, aku masih belum rela kamu pergi Rey, masih ada harap, tapi apa, kamu tidak mengerti.
Kalau bukan begini ceritanya Rey, aku masih ingin kembali berapa lamapun aku berfikir dan meyakinkan keluargaku.
Cukup. Aku benar-benar tidak bisa kembali.
Tapi rasaku belum benar-benar selesai, aku masih suka mencemburui kamu ketika dekat wanita lain, yang orang lihat aku sudah membaik, berhaha-hihi dengan pria lain, bersenda gurau seperti tidak ada apa-apa, padahal hati suka meneriakkan kalau aku cemburu, dan sesak itu masih ada.
Aku mengingat semua kalimat-kalimat manis membicarakan lamaran, membicarakan pre-wedd, membicarakan resepsi, membicarakan nama anak, mebicarakan rumah idaman, membicarakan mobil idaman, membicarakan sweet escape yang akan kita wujudkan.
Sayangnya ketika kalimat itu menari-nari difikiranku, aku membuka lini masamu, fotoku sudah tidak ada, namun ada foto wanita lain disana. Rasaku belum tuntas, tapi sudah kau pangkas.
Aku mendengus sebal, dengan kasar aku menekan tombol back pada layar ponselku, aku kembali terisak di ruang kerjaku, cengeng! Cukup!! Sepertinya kau telah pulih, dan keadaanku belum kunjung membaik.
Bulan berganti, bulan baru. Aku sempat berharap Tuhan masih menyimpan hatinya untukku, ternyata rencana Tuhan berbeda, Tuhan menunjukkan apa yang aku butuhkan, bukan apa yang aku inginkan. Terimakasih Rey, ucapku sembari mengusap foto kau sedang tersenyum lebar dan dengan bebasnya menaruh tanganmu pada pundakku.
May bukan milik Rey.
KAMU SEDANG MEMBACA
MayRey
Short StoryDitinggal ketika sayang, atau masih sayang namun tidak bisa kembali?