Rissa mengencangkan pegangannya pada tali tas ransel yang ia kenakan. Memandang takjub pada rumah bergaya Eropa nan megah di hadapannya. Empat pilar berdiri tegak di bagian depan rumah, membuatnya seperti rumah yang sering ia lihat di dalam sinetron ataupun FTV.
"Bismillahirrahmanirrahim." Ucapnya lirih. Entah salah atau benar ia mengucapkan kalimat itu. Karena ia pun ragu dengan apa yang akan ia lakukan. Namun mengingat Tuhan sebelum memulai apapun itu wajib kan, ya meski apa yang dilakukan bukan perbuatan terpuji.
Menekan bel satu kali, jantungnya kian berdebar. Satu detik, dua detik, tiga detik, tidak ada tanda-tanda orang yang membukakan pintu. Sedangkan ia berhasil memasuki gerbang rumah ini karena tidak terkunci dan tidak ada yang menjaga. Aneh juga, rumah sebesar ini tidak memiliki satpam, pikirnya.
Kembali Rissa menekan bel, kemudian menghitung detik yang terlewati. Ia sudah berniat pada detik ke sepuluh nanti jika masih belum ada yang membukakan pintu ia akan melakukan gerakan balik kanan, lalu mengambil langkah seribu. Biarlah ia akan mengambil semua resikonya.
Rissa sudah memajukan kaki kanannya, lalu menggerakkan tubuhnya menghadap kiri lalu ke kiri satu kali lagi, diikuti oleh kakinya. Seperti gerakan baris berbaris yang sedikit ia ingat, pada saat mengikuti ekskul Pramuka saat SMP. Meyakinkan diri, Rissa pun melangkahkan kaki untuk segera berlari keluar dari jalan rumah itu.
"Mbak, mau kemana?"
Ya, langkahnya terhenti kala ia merasakan tepukan pada pundaknya. Rissa memilih untuk tidak menoleh, dan mencoba kabur dari sana. Namun, kembali satu tangan bertengger di pundak sebelahnya, tentu untuk menahan Rissa agar tidak kabur.
"Mbak Arissa ya? Mau kemana mbak? Masuk dulu, duduk dan minum dulu."
Akhirnya Rissa pasrah, ia menoleh pada sumber suara. Sesuai dengan suaranya, seorang wanita paruh baya kini sedang bersedekap memandangnya sengit. Namun melihat pakaiannya yang khas pembantu tentu tidak membuat nyali Rissa ciut.
"Maaf saya salah alamat Bu. Saya pamit."
"Mbak Arissa Aghni Wulansari junior staff keuangan PT. Megah Raya Antajaya." Sahut wanita itu datar.
Rissa membulatkan matanya, kaget kala mbok-mbok tua di depannya mengetahui siapa dirinya.
"Apa? Sekarang salah nama?" Tanyanya judes. "Saya Mirna, Asisten rumah tangga senior disini. Panggil saja Bi Mirna. Silahkan masuk." Ucapnya kemudian lalu melangkah masuk ke dalam.
Rissa tiba-tiba menjadi kikuk, dan terpaksa mengikuti kemana arah Mirna berjalan. Melihat dalam rumahnya, Rissa semakin takjub hingga tanpa sadar kini ia sudah berada di luar rumah lagi, namun di bagian belakang.
Terdapat bangunan terpisah, tidak jauh dari rumah. Seperti rumah kecil namun hanya memiliki satu ruangan. Di sampingnya terdapat kolam renang, ayunan, dan taman bunga mini dan pohon pohon berukuran sedang yang membuatnya terlihat semakin asri.
"Kalau begitu saya tinggal dulu, silahkan." Ucap Mirna namun nadanya berubah, kali ini terdengar begitu lembut.
Arissa sempat merasa aneh, terus memandangi punggung Bi Mirna yang kembali ke dalam rumah. Lalu menoleh lagi ke arah taman. Dan mulai berpikir ingin kabur lagi dari sana.
***
"Halo Mas Arraz, perkenalkan saya Rissa." Ucap Rissa memperkenalkan diri seraya mengulurkan telapak tangannya mencoba bersikap santai, meski dalam dadanya sedang berdentum kuat.
Si pemilik nama Arraz tidak kunjung menyambut uluran tangan Rissa, membuat Rissa bingung di buatnya.
"Hallo Mas Arraz, perkenalkan." Ucap Rissa lagi. Namun pria dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya sama sekali tak bergeming. Alis tebal, rambut potongan masa kini, serta rahang tegasnya membuat Rissa agak terpana. Sayang sekali ia tak bisa melihat matanya, pasti pria di depannya ini memiliki mata yang indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arissa For Arrazi ✔ (PINDAH KE UNINOVEL)
RomanceSebuah perintah yang wajib ia jalankan dari sang atasan akibat kecerobohan fatal dalam bekerja. Perintah yang tidak ada sangkut pautnya dalam hal pekerjaan. Arissa harus berurusan dengan laki-laki buta yang tak mau move on bernama Arrazi. "Buat Arra...