Jakarta.Lelaki kelahiran 2000 itu diam, namun kericuhan terjadi pada pikirannya. Enggan bergerak pergi meninggalkan handphone berwarna hitam didepannya.
"yatuhan, smartphone apaan nge-charge doang lamanya kebangetan."
"Ini teteh kemana, apa mobilnya masuk kali? Apa teteh nyangkut di tiang lampu merah?" Jaemin bertanya tanya pada dirinya sendiri, heran kemana orang yang ia sebut teteh pergi.
Terakhir kali ia mendapatkan pesan hanya tadi pagi, yang berbunyi.
" Teteh pulang telat hari ini, butik agak rame. Nanti kalau pulang teteh beliin makanan. See you!"
Biasanya walaupun seramai apapun, tetehnya pasti mengabari, walaupun kadang hanya memberi emoticon hati.
Siang berganti malam, kini pancaran sinar rembulan tampak menghiasi permukaan bumi, Lelaki itu gelisah, perempuan yang ia tunggu biasanya tidak pernah pulang malam, sewaktu masih berkuliah pun tetehnya itu pasti menghubungi sekedar untuk ditemani.
"Ini teteh ga takut ada mba yang ketawa ketawa apa ya."
Pikirannya terbang sesekali, namun ditepisnya dengan asumsi tetehnya pasti bisa bela diri seandainya ada yang menghampiri. Tapi kalau mahluk yang tak berkaki bisa bisa tetehnya mati berdiri.
Jaemin bingung, mau pergi tapi handphonenya masih 78% nanti bisa bisa jaemin kehilangan semangat menantang dunia luar kalau kalau saja handphonenya mati.
Jaemin membuka kedua tangannya tiba tiba, bersiap memberi opsi untuk pergi dan berdiam diri.
Pergi ga pergi ga pergi ga pergi.
"Yah, kok pilihannya pergi sih." Raut wajahnya kecewa tapi kakinya tetap melangkah, na jaemin memang sesuatu.
Sebelum benar benar melaju menerobos lalu lintas, jaemin sempatkan berdoa itu ajaran bunda. Jaemin juga tidak lupa mengirimkan pesan seala kadarnya.
" Teh? Aku ke butik ya?"
Sebenarnya jaemin bukan orang yang mengirimkan pesan sesingkat itu, tapi percuma, tetehnya itu malas membaca apalagi saat jam segini, bisa bisa nengaku buta.
Motor hitamnya melaju, menembus lalu lintas ibukota, sekalipun mukanya terkena paparan debu jaemin tetap melaju.
Namun Secepat apapun ia berkendara, namanya Jakarta tidak mungkin ia bisa leluasa, Jakarta itu ramai tak ada hentinya.
Lampu merah, pedahal jaemin sedang marah. Handphonenya bergetar, jadi jaemin mengeceknya sebentar barangkali tetehnya memberi kabar. Tapi nihil, itu hanya notifikasi game biasa yang ia mainkan.
Sebelum memasukkan kesaku jaketnya, jaemin mengetik pesan lagi," Teh, teteh jangan pulang dulu. Aku jemput, aku kena macet, aku marah."
Kedua kalinya pesannya melayang, tapi yang tertera hanya satu centang.
"Besok mending minta beliin sepeda, biar bisa goncengan tapi ga kemacetan." Jaemin bergumam seraya berdecak, lalu lintas apa antrian toko sembako, kalau saja tak penting ya jaemin pasti balik arah.
Waktu berlalu, Kini lampunya hijau, jadi motornya melaju. Seingatnya butik itu sudah tidak jauh, tapi kenapa perasaan khawatirnya malah makin menumpuk seperti tangki yang terisi air penuh.
Jaemin berhenti. Butik itu kini berada didepannya, ruangan tetehnya ditingkat dua, dilihat dari jendela juga ruangannya sudah pasti bisa. Tapi, ruangan yang ia tuju tampaknya gelap, sama sekali tidak ada cahaya, tetehnya ada disana?
Dilangkahkannya kaki panjangnya walaupun takut dan ketidak yakinan menghampiri, barangkali ada suara yang memanggil namanya namun tak ada bentuknya.
Ia naiki anak tangga satu persatu kalau langsung dua, itu gabut namanya. Ruangan dengan pintu berwarna merah muda cerah itu terpampang jelas, hanya saja, benar benar tak ada cahaya dari arah sana. Jaemin takut, saat membuka pintu ada adegan kepala turun dari atas pintu.
Diketuknya sebanyak empat kali, kata bunda, kalau tiga kali nanti tetehnya bisa takut karna mengira hantu yang mendatangi. Tapi tidak ada suara maupun bunyi. Yatuhan, na jaemin sedang frustasi."Teh? Aku masuk ya?" Katanya sembari membuka pintu.
Dibukanya pintu perlahan, senyumnya dipaksakan hanya untuk mereda pertikaian antar pikiran. Namun, yang jaemin temukan hanya gadis dengan kepala yang berada tepat diatas tumpukan buku.
Kakinya melangkah maju, jari telunjuknya menyentuh kepala gadis tersebut, Alhamdulillah kata jaemin dalam hati. Ini masih manusia bukan arwah yang tak diterima dialamnya.
"TETEH BANGUN, SAHUR ATUH." teriak jaemin seraya tersenyum senang puas, mampus.
"Teh. Apa teteh tau perjuangan aku kesini, jalanan macet, hpku lowbat. Mana tadi siang itu si renjun ngajak nonton film hantu, yakan aku kepikiran lah ya. Mana ruangan teteh gelep banget kayak masa depannya mantanku yang pergi ninggalin aku." Jaemin mengoceh, tapi gadis yang tidur itu bahkan tak mendengarkan satu kata sama sekali.
"Yaallah, tidur apa latihan jadi jenazah?" Katanya sesaat melihat tidur yang semakin nyenyak.
Tetehnya mengerjapkan mata beberapa kali, hanya agar matanya kembali berfungsi. "Yang nyuruh jemput siapa atuh na, marah mulu kaya gadis pms." Cibirnya seraya mengambil tas dan melangkah pergi.
Na jaemin ditinggal pergi, lagi.
" Teteh, aku punya dua opsi. Mau beliin martabak sesuka hatiku atau kumusuhin sebulan penuh?" Ancamnya dan berusaha menyesuaikan jalannya.
Gadis itu tak bereaksi, hanya berjalan bak seorang diri. Saat melirik pun, ia hanya tersenyum dan menunjuk telinganya yang dipasangi aerphone dengan volume hampir penuh.
"bunda ngidam apasih, ga bunda ga teteh sama aja!" Lagi lagi ia protes. Dilangkahkannya kakinya sedikit lebih cepat, ia marah tapi siapa yang peduli, gadis cantik itu merasa tidurnya diganggu jadi berhak jika ia ikut aksi seperti jaemin ini.
-🍑
HALO GUYS. Ini aku peachyglossie.Karena ini tulisan yang aku buat selama aku gabut, jadi maklum ya kalau masih berantakan.
Nah, ayo kenalan dulu sama Na jaemin, dan tetehnya.
Na Jaemin, 2000.
Jaemin, tapi tetehnya manggil Nana katanya lucu.
Mina, 1997.
Beda 3 tahun, beda sifat, beda kelakuan. Nama panggilan juga Na, tapi jaemin manggilnya tehna.Ok, guys. See you in next chapter!❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
SIBLINGS [ Na Jaemin ]
Short Story"Teh, tebak. Kenapa aku sayang banget sama teteh?"